Namira, wanita karier yang mandiri dan ambisius terpaksa menjalani pernikahan paksa demi menyelamatkan nama baik dan bisnis keluarganya. Namun pria yang harus dinikahinya bukanlah sosok yang pernah ia bayangkan. Sean, seorang kurir paket sederhana dengan masa lalu yang misterius.
Pernikahan itu terpaksa dijalani, tanpa cinta, tanpa janji. Namun, dibalik kesepakatan dingin itu, perlahan-lahan tumbuh benih-benih perasaan yang tak bisa diabaikan. Dari tumpukan paket hingga rahasia masalalu yang tersembunyi. Hingga menyeret mereka pada permainan kotor orang besar. Namira dan Sean belajar arti sesungguhnya dari sebuah ikatan.
Tapi kalau dunia mulai tau kisah mereka, tekanan dan godaan muncul silih berganti. Bisakah cinta yang berbalut pernikahan paksa ini bertahan? ataukah takdir akan mengirimkan paket lain yang merubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32_Kebenaran Tidak Pernah Mati
Pagi itu matahari tidak bersinar dengan hangat seperti biasanya. Awan kelabu menggantung rendah, seolah ikut menyimpan beban yang tengah dipikul Sean dan yang lainnya. Di sebuah ruangan kecil di kantor hukum yang bersahaja, Sean, Nina, dan Anton duduk berhadapan dengan seorang pria paruh baya berjas abu-abu rapi. Di tangannya, terhampar salinan rekaman CCTV yang memperlihatkan dengan jelas upaya Bima memaksa Namira di lorong hotel maupun rekaman pembicaraan antara Bima dan Sean tempo hari.
Pria itu, Pak Darmawan, adalah pengacara yang pernah membantu keluarga Namira di masa lalu. Kini, dia kembali, kali ini sebagai tameng keadilan.
"Dengan bukti ini, kita memiliki pijakan kuat," ucap Pak Darmawan sembari menyilangkan jari di atas meja.
"Tapi kalian harus bersiap, ini bukan hanya soal hukum. Ini soal melawan kekuatan yang selama ini bersembunyi sembunyi di balik nama besar."
Sean menatap tajam ke arah Pak Darmawan.
"Saya tidak ingin hanya membuktikan kebenaran. Saya ingin menyelamatkan Namira dari semua tekanan ini dan yang terpenting... Saya ingin dunia tahu siapa Bima sebenarnya."
Nina mengangguk.
"Kami sadar ini bukan perkara mudah. Tapi kami juga tidak akan mundur."
Anton menarik napas.
"Kita perlu melibatkan media independen. Mereka yang masih memegang idealisme."
Pak Darmawan tersenyum kecil.
"Saya kenal satu nama. Jurnalis muda, idealis, dan berani. Namanya Defan. Dia mungkin bisa membantu."
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mengatur pertemuan. Sore itu, di sebuah kedai kopi tersembunyi di sudut kota, mereka bertemu dengan Defan. Sosoknya sederhana, tapi tatapan matanya menyimpan kobaran api keadilan.
"Kalian bawa kisah yang berat," ucap Defan setelah menyimak penjelasan mereka.
"Tapi itu justru yang membuat aku tertarik. Ini bukan hanya soal Namira, ini soal sistem. Soal bagaimana kebenaran bisa dibungkam oleh uang dan kekuasaan."
Sean menyerahkan salinan rekaman.
"Tayangkan ini. Tapi bukan hanya rekamannya. Ceritakan latar belakangnya. Tentang Namira. Tentang bagaimana dia dijebak. Tentang ketidakadilan yang terus terjadi."
Defan mengangguk.
"Aku akan pastikan ini sampai ke publik. Tapi kalian juga harus siap. Bima tidak akan tinggal diam."
Benar saja.
Beberapa jam setelah pertemuan itu, Bima menerima kabar tentang pergerakan Sean dan timnya. Wajahnya memucat, lalu berubah menjadi merah padam oleh amarah.
"Bagaimana bisa mereka mendapat rekaman itu?!" bentaknya pada asistennya yang berdiri gemetar di sudut ruangan.
"Maaf, Pak... " jawab sang asisten terbata.
Bima menghempaskan ponselnya ke lantai.
"Kirim pengacara kita untuk menahan siaran itu. Gugat mereka atas pencemaran nama baik!"
Namun, pagi keesokan harinya, saat seluruh kota baru mulai membuka mata, kanal YouTube Defan telah menayangkan dokumenter pendek berjudul Di Balik Senyap: Kebenaran Namira
Dalam hitungan jam, video dan rekama suara Bima itu menyebar cepat. Trending di berbagai platform. Komentar dukungan membanjiri kolom video. Tagar #JusticeForNamira dan #TangkapBima menjadi perbincangan hangat.
Di rumah sakit, Namira yang telah sedikit pulih, menatap layar ponsel yang menampilkan ribuan orang mulai percaya padanya. Air matanya mengalir, bukan karena kesedihan, tapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa dunia mendengarnya.
Sean datang dan duduk di sisinya.
"Lihatlah... kamu tidak sendiri lagi."
Namira menggenggam tangannya.
"Aku takut, Sean... takut semua ini hanya sebentar."
Sean membalas genggamannya.
"Kalau semua ini hanya sementara, maka kita akan terus buat kebenaran itu hidup lebih lama. Bersama."
Sementara itu, di ruang kerja Bima, telepon berdering nyaring. Panggilan dari dewan direksi. Suara di seberang terdengar dingin dan tegas.
Bima, kami akan mengadakan rapat darurat. Saham mulai terjun bebas. Ini sudah bukan hanya masalah pribadi, tapi menyangkut citra perusahaan. Hadir jam dua.
Bima terduduk lesu. Pundaknya terasa berat. Dunia yang dulu ia kuasai kini mulai runtuh satu per satu.
Anton, Nina, dan Sean duduk di ruang tamu apartemen Anton, menonton berita televisi yang mulai mengangkat kembali kasus tersebut. Stasiun-stasiun besar mulai meliput. Beberapa bahkan mengundang pakar hukum untuk memberi analisis.
Nina menatap layar dengan tajam.
"Bima semakin terpojok. Tapi jangan lengah. Dia seperti ular. Bisa menyerang kapan saja."
Anton berdiri.
"Sudah waktunya kita siapkan langkah selanjutnya. Bima mungkin akan menggunakan jalur hukum untuk melawan balik. Kita harus punya pengacara sekuat Pak Darmawan di sisi kita."
Sean berdiri.
"Aku akan siapkan semuanya. Aku juga akan hadapi Bima sekali lagi. Tapi kali ini, bukan sebagai pria yang dulu ia anggap kurir tak berarti. Tapi sebagai seseorang yang punya kebenaran di tangannya."
Dalam dunia yang sering kali menyamarkan kebenaran di balik wajah kekuasaan, suara yang jujur mungkin terdengar pelan. Tapi jika ia terus disuarakan dengan tekad dan keberanian, kebenaran itu akan tumbuh. Menjadi gema yang tak bisa diabaikan dan keberanian bukan hanya tentang melawan orang lain. Tapi juga tentang melawan ketakutan dalam diri sendiri.
***
Di sebuah ruangan gelap, seorang pria mengenakan jas mahal duduk di balik layar monitor. Di hadapannya, rekaman Defan diputar berulang-ulang. Wajahnya tidak menunjukkan kemarahan, tapi senyum tipis yang mencurigakan.
"Kalau ini permainan yang mereka pilih... maka aku akan mainkan sampai akhir," gumamnya.
Kebenaran sudah mulai menemukan jalannya. Tapi permainan baru saja dimulai.
kl kmu sayang ke Namira, kamu harus ekstra sabar dalam menyikapi Namira.