Rere pikir, jika hanya dia yang mencintai suaminya, maka itu sudah cukup untuk mempertahankan rumah tangga mereka. Karena sebelumnya, dia berpikir bisa membuat suaminya jatuh cinta setelah mereka menikah.
Namum, satu setengah tahun usia pernikahan, Rere baru sadar, jika apa yang ia usahakan tidak sedikitpun membuahkan hasil. Sang suami malah mencintai adik tiri yang hidup bersama Rere sejak masih kecil.
Akankah Rere langsung menyerah setelah mengetahui kenyataan pahit itu? Atau, apa mungkin dia akan memilih melepaskan sang suami begitu saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
'32
"Bagaimana mungkin? Maksudmu, aku tidak bisa memecat kamu meskipun aku mau? Ah! Jangan lupakan satu hal, Amira. Ini kantor, bukan punya keluarga papamu, tapi punya keluarga mamaku. Aku adalah pimpinan di sini. Jadi, apa yang ingin aku lakukan, tentu saja bisa aku lakukan. Karena aku, adalah pemilik yang sesungguhnya."
Amira pun langsung terdiam sesaat atas apa yang baru saja kupingnya dengar. Tapi, saat Rere ingin meninggalkan mereka dengan kembali masuk ke dalam kantor, Amira langsung berucap kembali.
"Oh. Karena ini perusahaan milik mama kamu, jadi kamu bisa bertindak sesuka hati, Rere? Kamu mengusir aku dari kantor ini gara-gara masalah pribadi yang seharusnya tak layak masuk ke dalam urusan pekerjaan."
Rere langsung menghentikan langkah kakinya. Tubuhnya yang sudah membelakangi Amira, kini langsung ia putar kembali agar bisa berhadapan dengan Amira lagi.
Dengan tatapan tajam, Rere menatap Amira yang saat ini ada di sebelah Rohan.
"Dari segi apa kamu bisa bilang tidak layak, Amira? Seorang perusak hidup orang lain, tidak pantas untuk bekerja di perusahaan ini. Jadi, untuk apa aku pertahankan seorang perusak hidup orang. Karena, hidup orang lain saja bisa ia rusak. Apalagi dengan pekerjaan yang ada di kantor ini. Sudah jelas, pasti bisa ia rusak juga, bukan?"
Ucapan dengan suara tenang itu membuat Amira semakin merasa marah. Sedangkan Rohan yang mendengar hal itu, tentu saja tidak akan tinggal diam. Dia pasti akan membantu Amira bagaimanapun caranya. Jikapun harus mengorbankan wajahnya sekalipun.
"Cukup, Re! Amira tidak salah. Yang salah itu aku karena sangat mencintai Amira. Pernikahan kita terjadi memang karena terpaksa. Keluargamu yang memaksa aku buat menikahi kamu. Padahal, aku sangat mencintai Amira sebelum kita bertemu."
Ucapan Rohan sontak langsung menimbulkan gaduh. Semua karyawan yang mendengarkan perkataan itu langsung berbisik-bisik satu sama lain. Sementara Amira, dia langsung tertawa dalam hati karena pukulan Rohan yang tegas barusan. Amira yakin, Rere pasti sangat terluka juga sangat malu akan apa yang baru saja Rohan katakan barusan.
'Mampus kamu, Re. Emangnya enak di bilang terus terang di depan umum? Ah! Pasti rasanya sakit banget, bukan? Orang yang kamu cintai, sama sekali tidak mencintai kamu. Malahan, sudah terang-terangan mengatakan penolakan di depan umum seperti saat ini. Ah ha ha ha ... aku yakin, sekarang, bukan hanya sakit, tapi kamu sangat amat malu, bukan?'
'Makanya, jangan main-main dengan aku. Karena aku tidak sendirian, Rere. Aku punya banyak pendukung yang siap melindungi aku dengan cara apapun.'
Sejujurnya, Rere memang sangat amat kesal dengan apa yang Rohan katakan barusan. Yah, kesal, marah, juga benci. Tapi, tidak ada sedikitpun lagi rasa sakit yang bisa ia rasakan hanya karena penolakan yang Rohan lakukan. Karena rasa sakit atas penolakan itu sudah lama mati. Tepatnya, sejak ia tahu kalau usaha yang ia lakukan selama lebih dari satu tahun tidak berhasil walau secuil pun.
Rere pun langsung mengukir seringai kecil. Dia tatap wajah Rohan sebelum berucap.
"Heh ... pernikahan kita terjadi bukan karena kesalahan dari orang tuaku, mas Rohan. Tapi, karena kesalahan dari kamu sendiri."
"Siapa suruh kamu jadi pria yang lemah. Mempertahankan diri untuk orang yang kamu cintai saja tidak bisa. Malah setuju dengan permintaan dari orang lain buat menikah dengan orang yang tidak kamu cintai."
"Jadinya, kamu tidak hanya menyakiti orang yang kamu cintai akibat kesalahan yang kamu perbuat. Tapi, kamu juga menyakiti orang yang kamu nikahi. Orang yang tidak tahu apa-apa tentang penolakan kamu yang tidak kamu ungkapkan itu."
Kali ini, para karyawan yang mendengarkan ucapan Rere barusan langsung membenarkan perkataan tersebut. Mereka sangat setuju dengan apa yang Rere katakan. Mereka menyayangkan kelemahan Rohan yang tidak bisa bertindak tegas. Yang malahan berselingkuh di belakang istri karena rasa tidak suka.
"Kalau aku jadi mas Rohan, aku pasti akan berkata jujur pada wanita yang aku nikahi. Karena dengan begitu, pernikahan yang aku jalani tidak jadi sia-sia." Salah seorang karyawan berucap dengan penuh keyakinan.
"Jika aku pula, aku akan menolak langsung pernikahan itu. Tapi kalau aku tidak bisa menolak, maka aku akan belajar mencintai istri yang sudah aku nikahi. Dengan begitu, aku tidak akan menyakiti banyak hati. Benar tidak?
"Iya. Jadi orang kan nggak boleh serakah. Cukup satu aja udah. Nggak perlu diambil semuanya. Kalo udah seperti ini, yang susahkan pak Rohan juga."
Omongan demi omongan terdengar jelas. Amira yang ada di samping Rohan, tidak ingin tetap diam di tempat tersebut. Ia pun langsung menarik tangan Rohan agar segera meninggalkan kerumunan.
Sementara Rere, dia meminta karyawannya kembali bekerja seperti biasa.
"Semuanya, lupakan semua yang baru saja terjadi di sini. Jangan bawa apa yang sudah terjadi keluar kantor yah. Nggak enak jika di dengar orang. Kalian mengerti kan apa yang aku maksud?"
"Iya, mbak. Mbak Rere tenang saja. Apa yang akan terjadi tidak akan sampai bocor ke luar kok. Kami jamin hal itu, mbak."
"Terima kasih semuanya. Ah! Ya sudah kalo gitu, mari kita lanjut bekerja."
"Aku akan kembali ke ruangan ku sekarang. Ada banyak hal yang harus aku urus," ucap Rere sambil tersenyum.
"Baik, mbak." Beberapa karyawan menjawab serentak.
....
'Kurang ajar kamu, Re. Bisa-bisanya kamu bikin aku dan mas Rohan sangat malu di depan semua karyawan kerja. Awas aja kamu, aku laporin papa kamu, Rere.' Amira berucap dalam hati sambil menahan emosi yang sepertinya sangat ingin lepas.
Rohan yang ada di sebelah Amira, juga ikut terdiam sejak tadi. Di dalam benaknya, ia terus saja teringat akan semua yang Rere katakan.
'Rere memang sangat benar. Aku seharusnya tidak menerima permintaan papa Haris dan ma Lastri waktu itu. Jika aku menolak dengan halus, dan memberikan penjelasan, mungkin hari buruk ini tidak akan terjadi.'
'Maafkan aku, Re. Aku tidak kepikiran sebelumnya, kalau kamu juga terluka dengan hubungan rumit ini.'
Perlahan, Rohan mulai menyadari akan kesalahan yang ia perbuat. Tapi sayangnya, itu sudah terlambat. Dia baru sadar, kalau Rere juga merasakan rasa sakit akibat pernikahan yang mereka jalani. Karena dia tahu, Rere sangat mencintai dirinya selama ini.
"Mas Rohan. Kita ini mau ke mana sih?" Amira yang tidak tahan dengan diamnya Rohan langsung angkat bicara.
Mana mobil berjalan terus tanpa ia ketahui ke mana arah dan tujuan lagi. Ditambah, hatinya yang sangat kesal atas apa yang Rere katakan membuat Amira tidak ingin terus berdiam diri. Sementara Rohan terus mendiamkannya sejak mereka masuk ke dalam mobil beberapa menit yang lalu.
"Aku juga tidak tahu mau ke mana, Mi. Aku tidak punya tujuan lagi sekarang."