Enam bulan pernikahan Anindia, badai besar datang menerpa biduk rumah tangganya. Kakak sang suami meninggalkan wasiat sebelum meninggal. Wasiat untuk menjaga anak dan juga istrinya dengan baik. Karena istri dari kakak sang suami adalah menantu kesayangan keluarga suaminya, wasiat itu mereka artikan dengan cara untuk menikahkan suami Nindi dengan si kakak ipar.
Apa yang akan terjadi dengan rumah tangga Nindi karena wasiat ini? Akankah Nindi rela membiarkan suaminya menikah lagi karena wasiat tersebut? Atau, malah memilih untuk melepaskan si suami? Ayok! Ikuti kisah Nindi di sini. Di, Wasiat yang Menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#24
"Pergilah sebelum aku berubah pikiran. Sebelum amarah ku tidak lagi bisa aku tahan, sebaiknya, segera tinggalkan tempat ini."
"Tidak, ayah. Aku akan tetap di sini walau ayah akan memukul aku sekalipun. Aku akan tetap tinggal di sini. Aku akan bertahan. Aku akan tetap diam sebelum aku berhasil membawa istriku kembali."
"Sudah aku katakan, anakku tidak layak untuk menjadi istrimu. Anakku tidak cukup baik. Tidak cukup sabar untuk terus bertahan dalam keluarga kamu, Hanafi!"
"Ayah." Afi benar-benar menangis sekarang.
"Ayah."
Suara lembut Anindia mengalihkan perhatian mereka berdua. Afi yang sedang menangis langsung mengukir senyum dalam tangisannya. Sedangkan Roslan, dia terlihat sedikit gugup saat mendengar panggilan lembut dari putrinya barusan.
"Anin, kenapa ke sini?" Roslan melontar pertanyaan dengan wajah sedikit tidak enak.
Sementara itu, Afi terlihat sangat bahagia akan kemunculan Anindia saat ini. "Anindia. Akhirnya, kamu keluar juga, Nin. Aku sangat ingin melihat dirimu, aku sangat cemas, Anin."
Selesai berucap, Afi ingin langsung mendekat. Namun, baru juga Afi ingin beranjak untuk mendekati Nindi, Nindi nya malah langsung mundur. Hal itu sontak langsung mengubah wajah Afi dengan cepat.
"Anin."
"Maaf, Mas. Aku tidak bisa."
"Tidak bisa? Apa maksudnya, Anin?"
"Kita akan berpisah tak lama lagi, Mas Afi. Jadi sebaiknya, kita belajar untuk menjaga jarak satu sama lain. Dengan begitu, nanti setelah berpisah, kita sudah akan terbiasa dengan keadaan ini."
"Apa? Anindia. Kamu-- "
"Jangan bilang kamu lupa dengan perjanjian kita, Mas. Aku mengizinkan kamu menikah dengan mbak Desi dengan syarat, kita langsung bercerai setelah kamu menikah."
"Anin. Tapi-- "
"Jangan buat aku semakin tidak suka sama kamu, Mas Afi. Jangan buat aku membenci dirimu. Ku mohon, tepati janji yang sudah kamu buat. Tolong lepaskan aku. Jangan kamu siksa lagi, Mas. Aku mohon."
Sungguh, hati Afi sangat terhiris sekarang. Luka, rasanya perih bukan kepalang. Dia sudah berniat untuk mempertahankan Anindia, si wanita pujaan hati. Tapi, karena permohonan itu, hatinya malah langsung berubah haluan. Sungguh, Hanafi benar-benar pria yang tidak punya pendirian.
"Anin."
"Mas, tolong, lepaskan aku. Hanya itu yang aku inginkan dari kamu. Kita bisa tidak saling menyakiti dengan cara melepaskan. Tapi, kamu akan sangat menyakiti hatiku jika kamu tetap memilih untuk mempertahankan. Dan, kamu sudah berjanji padaku untuk memenuhi permintaan ku itu. Jangan coba-coba untuk mengingkarinya, Mas. Karena aku akan sangat-sangat benci kamu jika kamu bohong padaku."
"Tidak, Anin. Aku tidak bohong. Aku tidak ... bohong," ucap Afi dengan nada sangat sedih. "Kita akan berpisah. Seperti yang kamu inginkan. Tapi, izinkan aku untuk tetap menjadi suami kamu sampai waktu perceraian berakhir."
"Mas. Aku tidak bisa. Saat kamu menikah, ku pikir aku akan sangat kuat. Tapi sayangnya, tidak. Aku tidak sekuat yang aku bayangkan. Bagaimana aku bisa bertahan nanti saat melihat kamu bersama dengan istri barumu."
"Untuk itu, aku memilih untuk pergi. Menjauh dari kamu sejak hari kamu menikah dengannya."
"Tapi, Anin. Kamu kan sudah janji untuk-- "
"Kamu masih berani membahas soal janji yang anakku buat, Hanafi? Kamu lupa kalau kamu punya janji yang sama sekali tidak bisa kamu tepati?"
"Anakku baru menjadi istrimu selama lebih dari setengah tahun. Tapi, penderitaan yang ia dapatkan sudah sangat banyak. Kamu sungguh tidak pantas di sebut sebagai laki-laki, Hanafi."
Afi terpaku sesaat. Detik berikutnya, dia dengan bibir yang sangat berat mengucapkan beberapa patah kata dengan nada yang sangat sedih. "Ayah, maaf. Aku sudah mengecewakan ayah dan Anindia. Aku pantas untuk di hukum. Maafkan aku."
Suasana hening selama beberapa saat. Hanya angin lalu yang terasa cukup sejuk menyentuh kulit. Namun, suana itu tidak sama dengan pikiran mereka bertiga. Pikiran itu sibuk dengan pokok pembahasan mereka masing-masing.
'Mas Afi, maafkan aku. Aku tidak bisa tetap tinggal lagi sekarang. Rasanya sangat sakit. Tubuhku juga tidak bisa terus menerima sentuhan dari kamu nantinya. Karena entah kenapa, aku merasa sangat jijik dengan dirimu sekarang,' ucap Nindi dalam hati.
Beberapa saat waktu berlalu, ayah Anindia pun
kembali angkat bicara. "Pergilah! Biarkan Nindi kembali padaku mulai dari sekarang. Aku akan memaafkan kamu atas apa yang telah kamu lakukan padanya. Tapi dengan syarat, tolong, jangan ganggu anakku lagi. Biarkan dia bebas dari belenggu yang kamu dan keluarga mu buat."
Afi dengan mata berkaca-kaca langsung menatap lekat wajah ayah Nindi. Sungguh, hatinya sangat amat tidak rela. Tapi, itu mungkin adalah jalan terbaik. Jika saja dia punya pilihan, maka dia akan memilih pilihan yang lain. Tepatnya, selain pilihan untuk meninggalkan Anindia di rumah orang tuanya. Alis, mengembalikan wanita yang dulunya dia dapatkan dengan susah payah pada orang yang sudah membesarkan wanita itu sejak kecil.
"Ayah. Maaf."
"Aku sudah memaafkan dirimu. Tapi dengan syarat, kamu jangan ganggu putriku. Jadi sekarang, pergilah sebelum aku berubah pikiran."
Mata Afi langsung beralih ke arah Nindi.
"Anin, kamu benar-benar ingin tetap di sini? Tidak ingin pulang bersama ku untuk memenuhi janji yang kamu buat? Maksud ku, tidak ingin memberikan aku belas kasihan sedikitpun, Anin?"
"Jawabannya sudah jelas, Mas. Maafkan aku. Aku tidak bisa. Tolong, maafkan aku yang tidak mampu untuk memenuhi janjiku padamu."
Afi tersenyum pahit. Senyum yang datang bersama air mata yang jatuh perlahan melintasi pipi. "Baiklah, Anindia. Aku akan melepaskan dirimu sekarang. Tapi sebelum itu, izinkan aku mencium kamu satu kali saja."
Nindi terdiam sesaat. Terlalu berat untuk hatinya menerima permintaan itu. Entah karena apa, hatinya sangat tidak suka pada Afi sekarang. Perasaan jijik itu terlalu kuat. Setiap kali Afi ingin mendekat, dia malah langsung terbayang akan hubungan suami istri antara Hanafi dengan Desi. Sungguh sangat menyakitkan dan membuatnya terasa mual.
"Anin."
Panggilan itu menyadarkan Nindi akan apa yang sedang ada dalam pikirannya. Nindi pun langsung melirik sang ayah. Sayangnya, ayah Nindi langsung menundukkan wajah. Sepertinya, si ayah tidak ingin anaknya meminta pendapat akan apa yang akan anaknya putuskan. Karena itu, dia langsung mengalihkan pandangan dengan cepat.
"Anindia."
"Baiklah. Aku mengizinkannya. Silahkan."
Hanafi pun beranjak semakin mendekat. Tubuh Nindi langsung mematung. Saat Afi sudah sangat dekat, isi perut Nindi langsung bergolak. Bayangan Afi yang sedang bermesraan dengan Desi membuat hatinya sakit. Pikirannya kacau. Lalu, rasa mual menyerang dengan sangat hebat.
Susah payah Nindi menahan diri agar bisa tetap tenang. Tapi sayangnya, tubuh menolak. Tubuh yang memberikan perlawanan dengan sangat keras akhirnya menang. Lalu ....
"Agh!" Nindi menjauh sebelum Afi sempat mencium dahinya.
Seketika, suasana yang damai berubah drastis. Wajah terkejut langsung terlihat. Namun, saat itu terjadi, pikiran Afi malah terarah pada sesuatu. "Anin, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja? Kita ke rumah sakit sekarang."
anak selingkuhan desy..
kmu pasti bisa melewatix ,ad x
dukungan ayah mu nin...
sdh gk layak dipertahan kan rmh tangga mu nin...
tinggalkan afi .sdh gk ad yg pantas
pertahan kan ,jangan paksakan untuk
melewati kerikil2 itu ...
semoga pd menyesal ntt x setelah pisah sma nindi...biar tau rasa
itu karma mu.desi enak kan, dah rahim rusak gk bisa punya anak pelakor lagi. iuhh amit amit.
mnikah diatas derita wanita lain kok mau bhgia, nyadar lah kau itu pelakor.