Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siap Dipetik
Malam gelap yang pekat sudah berganti, matahari sudah bersinar cerah. Hingga cahayanya masuk lewat sela jendela kamar ruang rawat inap Agata. Sepertinya hari ini cuaca akan cerah sampai siang, terlihat dari langit yang bersih tanpa awan.
Dira masih tidur di atas sofa, sedangkan Agam. Pria itu sudah bangun sejak tadi pagi buta.
Pria itu kini duduk di samping ranjang Agata, dengan kain basah di tangan. Rupanya, Agam sedang membasuh tubuh Agata.
Tubuh yang lemah itu masih belum siuman juga. Sejak tadi, Agam telaten mengusap kening Agata yang dipenuhi bulir keringat.
Saat Dokter datang untuk mengecek kondisi Agata, Agam beranjak keluar. Setelah memeriksa, pria itu pun mendekati sang dokter.
"Mengapa dia belum siuman, Dok?"
"Kita tunggu saja, Pak Agam."
"Tunggu sampai kapan, Dok? Dari semalam mengapa istri saya masih pingsan juga?" protes Agam.
Dokter dengan balutan jas putih dan stethoscope yang melingkar di lehernya itu pun menepuk pundak Agam, seolah ingin agar keluarga pasien itu tabah dan kuat.
Tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Agam mendekati Agata, istrinya. Dielusnya pipi yang sudah tak kencang lagi itu.
"Bangun, sayang. Bangun Agata ... lalu apa gunanya aku menikah lagi bila kamu seperti ini?"
Agam tidak tahu, Dira yang juga di dalam ruangan itu. Mendengar ucapannya.
Dira yang mendengar kata-kata Agam, seolah menikah dengannya itu tidak berarti bila Agata seperti ini. Hatinya pun mengecil, berkali-kali ia mengingatnya dirinya sendiri. Kehadiran dirinya dalam rumah tangga Agam hanya sebagai alat, yang mana bila tujuan tercapai. Dan alat itu sudah menghasilkan, maka ia akan dibuang.
Tugasnya cuma satu, melahirkan anak untuk Agam dan Agata. Bisa-bisanya hatinya malah tumbuh benih cinta untuk pria tersebut, tidak mampu memendam rasa kecewanya. Dira hanya menangis dalam diam.
Ia mengigit bibirnya dengan erat, agar suara tangis tak terdengar ke telinga Agam. Pria batu itu sangat benci melihatnya menangis. Akan tetapi, mendengar kata-kata Agam barusan, mau tak mau. Bulir bening itu memaksa menyeberang kedua pipinya.
Barulah saat suara derap langkah Agam mengarah ke tempatnya. Dira berusaha menelan kembali pahitnya nasib asamara yang rumit itu. Ia mengatur napas yang semula memburu karena sesak menahan tangis diam-diam.
Begitu tangan Agam menyelimuti kain di atas tubuhnya, Dira lantas berbalik. Tidak ingin bila Agam melihat matanya yang berair.
Tanpa rasa curiga, Agam memutar badan kembali. Dilihatnya secara bergantiian, dua istri yang sama-sama lelap. Yang satu benar-benar tidur panjang, yang satu pura-pura tidur karena hatinya yang terluka.
Satu jam kemudian.
"Dira ... Dira!" Agam membangunkan gadis yang ternyata malah tidur beneran tersebut. Gara-gara pura-pura tidur, Dira malah kebablasan.
Dipegangnya pundak Dira dengan lembut, "Ayo sarapan dulu, nanti kamu sakit!" ucapnya penuh perhatian. Namun Dira sudah terlanjur kecewa.
Ia pun menampakkan senyum palsu pada suaminya itu. Rupanya Dira masih terluka mendengar ucapan Agam tadi pagi, saat ia tidur.
"Saya tidak tahu kamu suka apa, ini saya belikan bubur ayam, nasi uduk dan ntah apa ini ... kamu buka sendiri."
"Dira ngak lapar, Mas." Gadis itu langsung menyibak kain yang semula menyelimuti sebagian tubuhnya. Dira lantas melipat kain itu dan meletakkan benda tersebut di sebelahnya.
"Saya gak mau kamu juga sakit!" tegasnya sambil menaruh makanan itu di atas pangkuan Dira.
Tidak mau membantah lagi, karena sorot mata Agam juga sudah mulai menajam. Akhirnya Dira ke kamar mandi, cuci muka dan tangan.
Saat kembali dari kamar mandi, Dira sempat melirik ke atas ranjang. Dilihatnya selang yang mengelilingi Agata. Belum lagi ada monitor yang seperti komputer di sebelah wanita itu.
"Sakit apa istri Mas Agam ini?" batinnya sambil terus berjalan. Dira pun menuju ke arah Agam, di mana pria itu sudah duduk dengan makanan yang sudah dibeli sebelumnya.
"Makanlah!" Agam menyodokan sepiring bubur ayam ke arah Dira.
Tanpa menatap Dira mengambil piring tersebut, memakannya tanpa suara. Seolah makanan itu tanpa ia kunya.
"Kenapa wajahnya ditekuk begitu?"
Uhuk uhuk, Dira langsung terbatuk. "Ah ... tidak."
Gadis itu pun meraih segelas air yang sudah ada di atas meja.
"Makan pelan-pelan!" seru Agam sambil ia juga makan.
Setelah selesai sarapan, Dira membereskan semua sisa makanan. Kemudian memberanikan diri untuk pamit pada Agam. Ia mau pulang saja, melihat dua sejoli itu, hatinya terasa teriris. Meski ia tak patut merasa sakit, nyatanya hatinya tak mampu ia bendung. Dari pada lama-lama makan hati sendiri, mending Dira sendirian di rumah saja.
"Mas Agam, Dira mau pulang."
"Iya, sebentar. Saya antar."
"Ngak ... Dira naik taksi saja."
"Saya bilang sebentar!"
Mendengar itu, Dira langsung melempem. Oke, suaminya itu memang super duper garang.
Agam pun menjauh dari tempat Dira berada, ia sedang menghubungi sang Mama.
"Hallo, Ma ... bisa ke rumah sakit hari ini?"
"Apa kondisi Agata menurun?"
"Kemarin dia pingsan Ma, pagi ini belum bangun juga."
"Apa? Baik ... baik. Mama ke sana sekarang."
"Terimakasih, Ma."
Setelah bicara di telpon dengan sang Mama, Agam lantas menghampiri Dira kembali.
"Ayo pulang!"
Pria itu pun berjalan mendahului Dira, sementara gadis itu melangkah dengan langkah kecil di belakang suaminya. Mengekor seperti seorang anak yang membuntuti induknya.
Mereka berdua melewati koridor rumah sakit yang pagi ini sudah ramai tidak seperti semalam.
Ketika sampai lobby dan halaman depan, Agam berhenti sejenak. Ia berbalik, menatap Dira yang ketingalan langkah di belakangnya.
"Lamban sekali kamu siput!" gumamnya, namun sudut bibirnya tertarik ke bawah sedikit. Ada senyum tipis yang ia tahan di ujung sana.
"Cepatlah Dira, Saya nanti telat berangkat ke kantor!" teriaknya pada gadis yang kini mempercepat langkah kakinya karena Agam yang sudah mulai bawel.
Saat mereka sudah di dalam mobil, hanya audio di dalam mobil itu yang mengeluarkan suara. Bibir keduanya sama-sama tertutup rapat.
Agam baru membuka suara saat mobil itu sampai di depan rumahnya.
"Istirahtlah, jangan ngapa-ngapain!" titahnya pada Dira yang melepas sabuk pengaman miliknya.
Dira hanya mengangguk, kemudian masuk ke dalam.
"Ada apa dengan anak itu? Mengapa murung sekali?" gumam Agam yang juga menyusul Dira masuk ke dalam rumah.
Setelah ganti baju, dengan pakaian kerja yang rapi. Agam mengetuk pintu kamar Dira.
"Dira!"
"Dira ...!"
Dipanggil berkali-kali namun tak ada jawaban, Agam mencoba membuka pintu kamar itu.
Tidak ada Dira di kamar, namun Agam mendengar percikan air dalam kamar balik mandi.
"Ah, rupanya sedang mandi!" batinnya kemudian berbalik.
Klek
Saat Agam akan keluar kamar, Dira malah keluar dari kamar mandi. Aroma shampoo yang segar langsung menyeruak memenuhi udara di dalam sana.
Reflect, Agam kembali menoleh. Dilihatnya buah ranum yang siap dipetik.
Bersambung.
i