Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Lama
London, The Connaught Hotel - 02.00 GMT
Suasana di dalam suite pribadi Gavin dan Karina jauh dari kata tenang. Hujan London yang tak henti-henti memukul jendela, seirama dengan ketikan jari Karina di atas papan ketik hologram portabelnya.
Gavin berdiri di dekat jendela, memegang gelas scotch yang belum disentuh. Pikirannya melayang pada dokumen tua di meja Lord Sterling. Emas perang. Dosa kakek buyutnya. Jika dokumen itu rilis, bukan hanya bisnis yang hancur, tetapi seluruh narasi moral "Buku Putih" yang baru saja mereka bangun akan runtuh.
Adhitama akan dicap sebagai kolaborator fasis.
"Kita berjalan di atas es yang sangat tipis, Karina," kata Gavin, memecah keheningan.
"Sterling tidak bodoh. Dia akan memeriksa kembali jejaknya. Begitu dia menyadari bahwa YIA tidak memiliki bukti fisik tentang Sierra Leone, dia akan merilis dokumen emas itu. Kita punya waktu mungkin 24 jam."
Karina tidak menoleh. Matanya terpaku pada aliran data yang dikirimkan oleh Naga Ketiga Belas dari server bawah tanah di Jakarta.
"Naga Ketiga Belas menemukan pola pembayaran," gumam Karina. "Setiap tanggal 15 bulan itu, ada transfer kecil dari yayasan amal Lady Victoria ke sebuah LSM di Freetown, Sierra Leone.
LSM itu bernama 'Hope for Diamonds'. Nama yang ironis."
"Apakah itu bukti?" tanya Gavin.
"Belum. Itu hanya circumstantial (tidak langsung). Kita butuh saksi mata.
Atau dokumen," jawab Karina.
"Kita butuh seseorang di lapangan. Di Afrika."
Gavin berbalik.
"Beny tidak bisa ke sana cukup cepat. Dan mengirim tim Phoenix Shadow akan memicu alarm internasional. Kita butuh seseorang yang sudah ada di sana. Seseorang yang tahu cara bermain kotor dan dia membenci Sterling."
Gavin meraih ponsel satelitnya. Dia teringat satu nama dari masa lalunya, bukan masa lalu sebagai pewaris, tetapi masa lalu saat dia menyamar menjadi "orang biasa". Dulu, saat bekerja serabutan, dia pernah bertemu dengan seorang mantan jurnalis investigasi yang "dibungkam" dan lari dari Indonesia.
"Namanya Raka," kata Gavin.
"Dia dulu jurnalis top di Jakarta sampai dia terlalu dekat dengan kasus korupsi tambang yang melibatkan konsorsium Eropa. Dia diburu, dan terakhir aku dengar, dia menjadi fixer (perantara) bagi jurnalis asing di Afrika Barat."
"Apakah kamu bisa mempercayainya?" tanya Karina.
"Tidak sepenuhnya. Tapi dia membenci orang-orang seperti Sterling lebih dari dia membenci apa pun. Dan dia butuh uang."
Panggilan ke Freetown
Gavin melakukan panggilan terenkripsi. Tiga kali dering, lalu suara serak dan latar belakang musik Afrobeat yang keras terdengar.
"Siapa ini? Jika kau penagih hutang, aku sedang di Liberia," suara Raka terdengar waspada.
"Ini Gavin. Si Pecundang yang dulu sering kau traktir kopi murah di Jakarta Selatan," jawab Gavin.
Hening sejenak. "Gavin? Si menantu sampah? Aku dengar kau sekarang jadi Raja Asia. Apa yang kau inginkan dari tikus got sepertiku?"
"Aku butuh matamu di Freetown, Sierra Leone. Sekarang," kata Gavin to the point.
"Aku butuh kau menyelidiki LSM bernama 'Hope for Diamonds'. Aku ingin tahu siapa yang sebenarnya mereka bayar. Aku ingin nama komandan milisinya."
"Kau gila, Gavin. Itu wilayah berbahaya. Itu wilayah Blood Diamond lama," tolak Raka.
"Aku akan membayarmu $1 juta. Setengah sekarang, setengah saat kau kirim bukti. Dan aku akan memberimu tiket pulang aman ke Indonesia, plus pembersihan nama baikmu melalui Yayasan Integritas Adhitama. Kau bisa jadi jurnalis lagi."
Tawaran itu terlalu bagus untuk ditolak oleh seorang buangan.
"Sialan kau, orang kaya," gerutu Raka. "Kirimi aku koordinatnya. Beri aku waktu 6 jam."
Sementara Raka bergerak di Afrika, Gavin dan Karina menghadapi ancaman fisik di London.
Pagi harinya, mereka berencana untuk bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Inggris, mencari perlindungan diplomatik sementara. Namun, saat mereka melangkah keluar dari townhouse sewaan mereka, Gavin merasakan ada yang salah.
Jalanan Mayfair yang biasanya sibuk tampak terlalu sepi di sekitar blok mereka. Pengawal pribadi mereka, yang biasanya siaga di depan pintu, tidak terlihat.
"Masuk kembali!" teriak Gavin, mendorong Karina kembali ke dalam lobi.
DOR!
Sebuah peluru senapan runduk (sniper) menghantam kusen pintu, hanya beberapa inci dari kepala Gavin. Serpihan kayu berhamburan.
Gavin dan Karina jatuh ke lantai marmer lobi. Beny segera muncul dari ruang dalam dengan senjata terhunus, menarik mereka menjauh dari pintu kaca.
"Kita diserang!" lapor Beny melalui radio.
"Penembak jitu di atap gedung seberang. Pengawal depan dilumpuhkan!"
"Sterling..." desis Gavin. "Dia tidak menunggu 24 jam. Dia ingin menakut-nakuti kita agar kabur dari London."
"Atau dia ingin membunuh kita agar rahasianya tetap aman," tambah Karina, napasnya memburu tapi matanya tetap fokus.
"Dia tahu kita sedang menggali di Afrika."
Gavin menarik Karina menuju pintu belakang.
"Kita tidak bisa tinggal di sini. Tempat ini sudah dikompromikan. Kita harus bergerak ke Safe House darurat."
"Ke mana?"
"Kedutaan terlalu jauh dan terbuka. Kita akan pergi ke satu-satunya tempat di London yang Sterling tidak berani sentuh karena sengketa wilayah," kata Gavin.
"Di mana itu?"
"Canary Wharf. Kantor pusat saingan terberat Sterling yaitu Konsorsium Perbankan China."
Mereka berhasil meloloskan diri melalui jalur bawah tanah yang terhubung ke stasiun kereta, menyamar di tengah kerumunan komuter pagi London, dan akhirnya tiba di kawasan bisnis
Canary Wharf.
Gavin menggunakan koneksi Aliansi 12 Naga khususnya Nyonya Li dari Hong Kong untuk mendapatkan akses ke kantor Bank of Asia cabang London.
Di sana, di lantai 40 yang aman, mereka diterima oleh Mr. Zhang, kepala cabang yang telah menerima instruksi dari Nyonya Li.
"Nyonya Li mengirim salam," kata Mr. Zhang, menyuguhkan teh panas. "Kalian aman di sini.
Wilayah ini adalah kedaulatan ekonomi Asia. Sterling tidak akan berani mengirim pembunuh ke gedung ini kecuali dia ingin memicu perang dagang dengan Beijing."
"Terima kasih, Mr. Zhang," kata Gavin. "Kami butuh pusat komunikasi yang aman."
Sekarang mereka aman secara fisik, tetapi waktu terus berjalan. Sudah 4 jam berlalu. Belum ada kabar dari Raka.
Tepat saat matahari mulai terbenam di London, laptop Gavin berbunyi. Panggilan video masuk dari nomor tak dikenal.
Wajah Raka muncul di layar. Dia tampak berantakan, ada darah kering di pelipisnya, dan dia bersembunyi di balik semak-semak yang gelap.
"Raka! Kau terluka?" tanya Gavin.
"Hanya goresan. Orang-orang di sini tidak ramah pada turis," Raka menyeringai kesakitan.
"Tapi Gavin... kau benar. 'Hope for Diamonds' itu kedok. Aku mengikuti jalur uangnya."
Raka mengarahkan kameranya ke lembah di bawahnya. Meskipun gelap, kamera night vision menangkap aktivitas di sana.
Terlihat sebuah tambang terbuka yang dijaga oleh pria-pria bersenjata berat. Bukan tentara pemerintah, melainkan milisi swasta. Mereka mengawasi ratusan pekerja yang tampak kurus dan dipaksa bekerja di lumpur.
"Itu tambang berlian ilegal," bisik Raka. "Dan lihat benderanya."
Kamera memperbesar gambar (zoom). Di atas tenda komando milisi, berkibar bendera dengan lambang yang aneh, seekor Singa memegang Berlian.
"Itu lambang lama keluarga Sterling," kata Karina, mengenali simbol itu dari riset sejarahnya.
"Dan ini bagian terbaiknya," lanjut Raka.
"Aku berhasil menyusup ke tenda administrasi mereka saat pergantian jaga. Aku mencuri buku log pengiriman. Berlian-berlian ini tidak dijual di pasar terbuka. Mereka dikirim langsung ke London, menggunakan pesawat pribadi atas nama... Yayasan Amal Lady Victoria."
Raka mengangkat sebuah buku catatan kusam ke depan kamera. "Aku punya fotonya. Tanda tangan penerimanya adalah perwakilan Sterling. Mereka menggunakan berlian darah ini untuk mendanai gaya hidup mereka dan menyuap politisi Eropa, sambil berlindung di balik status
'amal'."
"Raka, kau harus keluar dari sana sekarang!" perintah Gavin. "Kirim semua foto itu ke server kami. Sekarang!"
"Sedang mengirim... Selesai," kata Raka. Tiba-tiba terdengar suara teriakan dan gonggongan anjing di latar belakang.
"Sial, mereka menemukanku," mata Raka membelalak. "Gavin, jangan lupa janjimu!
Bersihkan namaku!"
"Raka!"
Sambungan terputus. Layar menjadi hitam.
Gavin menatap layar kosong itu dengan horor. Dia mungkin baru saja mengorbankan teman lamanya.
Tapi kemudian, notifikasi masuk di tablet Karina. "Transfer Data Selesai. 50 Foto Terlampir.
Karina menatap Gavin, matanya berkaca-kaca namun keras.
"Dia tidak berkorban sia-sia, Gavin. Kita punya buktinya. Bukti fisik. Bukan hanya Lady Victoria, tapi seluruh kekayaan Sterling dibangun di atas perbudakan modern."
Gavin berdiri, wajahnya dingin seperti es. Rasa bersalah dan kemarahan bercampur menjadi satu.
"Sterling mencoba membunuh kita pagi ini. Dia mungkin membunuh Raka malam ini. Kita tidak akan hanya menggertak lagi, Karina," kata Gavin.
"Apa rencana kamu?"
Gavin mengambil ponselnya.
"Aku akan menelepon Sterling. Aku ingin bertemu. Malam ini. Bukan di rumahnya. Tapi di tempat netral. Di Tower Bridge."
"Dan dokumen emas kakek buyutmu?" tanya Karina.
"Biarkan dia membawanya," kata Gavin. "Karena aku akan membawa kehancurannya."