Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
“Anak-anak, ingat yang Mima bilang? Mima datang bersama seseorang. Sekarang beliau ada di sini bersama Mima. Kalian harus bersikap baik padanya, ya.”
Tepat saat itu, Poppy masuk ke ruangan.
“Siapa dia, Mima?” tanya Lea polos.
“Oh, cicit-cicitku!” seru sang nenek sambil langsung memeluk mereka berdua. Anak-anak menatap Dasha dengan bingung.
“Beliau nenek kalian, sayang. Nenek dari Papa kalian. Jadi... beliau juga nenek kalian,” jelas Dasha lembut.
“Benarkah? Anda nenek kami?” seru Lea gembira.
Sementara itu, Leo menatap dengan mata sendu. “Anda nenek Papa kami? Apa Anda tahu kenapa Papa tidak pernah datang? Apakah Papa tidak sayang kami? Atau... Papa sudah punya keluarga lain, jadi tidak mau menemui kami?”
Pertanyaan itu membuat Dasha terpaku. Dari mana anaknya mendengar hal seperti itu?
“Leo! Jangan bicara begitu!” katanya kaget.
Ia menatap Poppy dengan rasa bersalah. “Maaf, Nek. Aku tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Aku sungguh tidak tahu dari mana mereka mendapatkannya.”
Sang nenek hanya tersenyum lembut. “Tidak apa-apa, sayang. Papa kalian tidak punya keluarga lain. Kalian satu-satunya keluarganya. Hanya saja... situasinya rumit, terlalu rumit untuk dijelaskan sekarang. Suatu hari nanti, kalian akan mengerti.”
**
Dasha meninggalkan anak-anak sejenak bersama sang nenek, lalu berjalan ke kantin mencari Malisa. Ia menemukannya duduk di sudut, di kursi dua orang.
Dasha mencium tangan ibunya, lalu duduk di hadapannya.
“Bu, masih ingat hari ketika aku pulang waktu itu?” tanyanya pelan.
Malisa mengangguk. Ia tahu, inilah saat yang sudah lama ia tunggu, pengakuan yang tertahan enam tahun lamanya.
“Sejujurnya, aku tidak tahu bagaimana harus menatap wajah Mama waktu itu. Aku merasa gagal. Aku takut, jadi kupendam semuanya sendiri. Kupikir, saat pulang nanti, aku bisa membanggakan sesuatu. Bahwa keputusanku merantau, kuliah, dan bekerja di Roma adalah keputusan yang benar. Tapi kenyataannya tidak begitu. Aku pulang membawa... dua nyawa kecil dalam perutku.”
Dasha menunduk, menahan tangis. “Maaf, Bu... kalau aku sudah mengecewakan. Aku pengecut. Aku bersembunyi selama enam tahun. Aku tahu Ibu berubah sejak saat itu. Aku hanya ingin semuanya kembali seperti dulu. Aku rindu Ibu. Aku merasa sendirian. Maaf, Bu... maaf.”
Air matanya akhirnya jatuh.
Tapi pelukan hangat membalas tangisnya. Malisa memeluk putrinya erat.
“Sudah lama Ibu memaafkanmu, Nak. Kamu tetap anak Ibu. Ibu tidak pernah benar-benar marah. Mungkin Ibu hanya sedih, karena kamu tidak bisa bercerita tentang bebanmu. Sakit rasanya melihatmu menanggungnya sendiri.”
Mereka berdua menangis di sudut kantin, seperti dua anak kecil yang baru saja berbaikan.
“Maaf, Bu...”
“Shh... apa pun yang terjadi, Ibu selalu ada di sisimu. Ibu tidak akan meninggalkanmu.”
Kata-kata itu membuat tangis Dasha pecah lagi. Setelah beberapa lama, ia akhirnya tenang.
“Bu, Nenek dari pihak ayah anak-anakku datang bersamaku ke sini,” katanya pelan saat mereka duduk di taman rumah sakit.
“Itu bagus. Setidaknya dia bisa melihat cicit-cicitnya. Lalu... di mana Papa mereka sekarang?”
Pertanyaan itu membuat dada Dasha terasa sesak. “Bu, apa aku jahat kalau sampai sekarang belum juga berani bilang pada Issa tentang anak-anak? Aku tahu ini tidak adil, tapi aku takut. Takut pada reaksinya... takut pada semuanya.”
“Hadapi ketakutanmu, Nak. Dia semua berhak tahu kebenarannya. Apa pun yang terjadi, Ibu akan tetap di sisimu.”
Dasha tersenyum getir. “Semoga nanti, saat waktunya tiba, semuanya akan baik-baik saja.”
Ia sudah memutuskan. Begitu kembali ke Roma, ia akan mengatakan semuanya pada Issa apa pun akibatnya.
Ia hanya berharap... mereka semua bisa memaafkan keegoisan yang telah ia simpan selama ini.