“Dikhianati suami, ditikam ibu sendiri… masihkah ada tempat bagi Andin untuk bahagia?”
Andin, seorang wanita sederhana, menikah dengan Raka—pria miskin yang dulu ia tolong di jalan. Hidup mereka memang pas-pasan, namun Andin bahagia.
Namun kebahagiaan itu berubah menjadi neraka saat ibunya, Ratna—mantan wanita malam—datang dan tinggal bersama mereka. Andin menerima ibunya dengan hati terbuka, tak tahu bahwa kehadiran itu adalah awal dari kehancurannya sendiri.
Saat Andin mengandung anak pertamanya, Raka dan Ratna diam-diam berselingkuh.
Mampukah Andin menghadapi kenyataan di depannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Tiga hari berlalu sejak kejadian malam itu.
Andin berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua sudah berakhir. Ia kembali ke lokasi syuting, mencoba tersenyum di depan kamera, tapi setiap kali lampu sorot menyorot wajahnya, jantungnya berdegup kencang tanpa sebab.
“Cut! Bagus sekali, Andin,” ujar sutradara. Namun Hans, yang berdiri di belakang layar, bisa melihat tangan Andin masih bergetar.
Ketika semua kru bubar, Andin kembali ke ruang rias. Di meja riasnya, tergeletak sebuah kotak kecil berbalut pita merah.
Tidak ada nama pengirim.
Ia menatapnya lama.
Tangannya sempat ragu, tapi akhirnya membuka pita itu perlahan.
Di dalamnya—ada sebuah lipstik merah. Dan di bagian dalam tutupnya, ada coretan kecil seperti tulisan tangan seseorang:
“Untuk menulis kenanganmu sendiri.”
Andin menjatuhkan kotak itu seketika. Tubuhnya menegang, napasnya memburu.
Lipstik itu… warna dan bentuknya sama persis seperti yang digunakan Clara dulu, di film pertama mereka bersama—film yang berakhir dengan skandal dan kehancuran karier Clara.
Andin buru-buru meninggalkan ruangan, tapi begitu keluar dari studio, teleponnya berdering.
Nomor tak dikenal.
Ia menekan tombol hijau.
“Halo?”
Hening.
Hanya ada suara napas lembut di ujung sana, lalu suara wanita yang berbisik pelan:
“Apa kau merindukanku, Andin?”
Andin menutup telepon itu spontan, napasnya tercekat.
Tapi beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan panggilan, melainkan pesan.
Satu foto muncul di layar:
foto dirinya saat tertidur di tempat tidur rumahnya semalam.
Dunia Andin seolah berhenti berputar. Bagaimana… bagaimana seseorang bisa masuk ke rumahnya tanpa ia sadari?
Dia segera menelpon Hans. Tapi sebelum panggilannya tersambung, layar ponselnya mati. Baterai penuh, tapi tiba-tiba padam.
Andin menatap cermin di depannya.
Matanya sendiri tampak asing—seperti seseorang yang mulai kehilangan kendali.
---
Malam itu, Andin kembali ke rumah dengan pengawalan Hans.
Ia berusaha tetap tenang, tapi matanya selalu menatap ke setiap sudut ruangan.
Hans menginap di ruang tamu, sementara Andin berusaha tidur.
"Tenanglah. Aku ada disini" ujar Hans lembut kepada Andin. Mencoba menenangkan nya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Andin masih terlihat takut, namun kehadiran Hans membuatnya sedikit merasa aman.
Namun sekitar pukul dua dini hari, suara langkah pelan terdengar di lantai bawah.
Andin membuka matanya perlahan, menajamkan telinga.
Langkah itu semakin mendekat… mendekat ke arah kamarnya.
Dengan gemetar, ia mengambil ponsel, mencoba menyalakan senter. Tapi sebelum ia sempat bangkit—pintu kamarnya terbuka sedikit.
Retakan kecil di antara pintu itu menampakkan cahaya remang dari lorong.
Tak ada siapa-siapa. Hanya bayangan samar menari di dinding, seolah seseorang berdiri di sana.
“Andin…”
Sebuah bisikan halus memanggil namanya.
Andin langsung berteriak memanggil Hans.
"Hans......"
Hans berlari ke atas, namun saat ia membuka pintu, lorong itu kosong.
Tidak ada apa-apa selain tirai yang bergerak karena angin dari jendela.
“Andin, ini hanya angin. Kau terlalu lelah,” kata Hans menenangkannya.
Namun Andin tahu, itu bukan angin.
Ia yakin ada seseorang yang terus mengawasinya—seseorang yang tahu setiap langkahnya, bahkan saat ia tertidur.
---
Keesokan paginya, Hans menemukan Andin duduk di balkon, tanpa tidur semalaman.
Di pangkuannya ada foto lama—foto dirinya bersama Raka, di masa awal karier mereka.
“Dia ingin menghancurkanku,” bisik Andin lirih.
“Dan aku yakin. Suara itu. Suara itu mirip sekali dengan suara Clara. Clara ingin aku merasakan apa yang dulu dia rasakan.”
Hans menatapnya dalam diam, lalu berkata pelan.
“Kalau begitu, kita cari tahu dari mana semua ini dimulai.”
Namun jauh dari sana, di sebuah kamar gelap penuh cermin retak, Clara duduk menatap layar laptop.
Di layar itu terpampang gambar CCTV rumah Andin — dari sudut yang tak diketahui siapa pun.
Senyumnya tipis.
“Selamat datang di permainan terakhir kita, Andin.”
.
.
.
Bersambung.