Virginia Fernandes mencintai Armando Mendoza dengan begitu tulus. Akan tetapi kesalah pahaman yang diciptakan Veronica, adik tirinya membuatnya justru dibenci oleh Armando.
Lima tahun pernikahan, Virginia selalu berusaha menjadi istri yang baik. Namum, semua tak terlihat oleh Armando. Armando selalu bersikap dingin dan memperlakukannya dengan buruk.
Satu insiden terjadi di hari ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. Bukannya membawa Virginia ke rumah sakit, Armando justru membawa Vero yang pura-pura sakit.
Terlambat ditangani, Virginia kehilangan bayi yang tengah dikandungnya. Namun, Armando tetap tak peduli.
Cukup sudah. Kesabaran Virginia sudah berada di ambang batasnya. Ia memilih pergi, tak lagi ingin mengejar cinta Armando.
Armando baru merasa kehilangan setelah Virginia tak lagi berada di sisinya. Pria itu melakukan berbagai upaya agar Virginia kembali.
Apakah itu mungkin?
Apakah Virginia akan kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Semakin berani
Armando pulang dari luar kota setelah beberapa hari. Membuka pintu, masuk ke dalam dan mendorong sendiri kopernya. Mengernyit heran, tak biasanya Ia datang dan Virginia tak membukakan pintu untuknya. Mantel yang tersampir di tangan kiri ia ambil lalu diulurkan ke samping. Di sana biasanya Virginia berdiri menunggu dan akan mengambil paksa mantel itu dari tangannya. Akan tetapi…
Brukkk
Suara mantel yang terjatuh menimpa koper membuat Armando menoleh. Ditatapnya mantel yang tergeletak di lantai dengan menyedihkan. Menatap sekeliling ruang.
“Sayang, akhirnya kamu pulang.” Bayangan Virginia yang menyambutnya dengan ceria dan menerima mantelnya tiba-tiba hadir di depan mata. Setelah itu dengan sigap Virginia meletakkan sandal rumah di depan kakinya.
Tak berhenti sampai di situ. Virginia bergegas ke belakang kembali dengan segelas jus di tangan. “Kamu pasti haus ya? Ini minumlah.”
Mendengus kesal. Untuk pertama kalinya Armando merasa ingin menerima gelas itu, tapi… hilang.
Armando tertegun, dua tangannya yang tadi terulur akhirnya luruh di samping badan. Ternyata yang ia lihat hanya ilusi, tak ada Virginia di hadapannya.
“Matilda…! Matilda…!” Armando berteriak memanggil pelayan.
“Tuan, Anda sudah kembali?” Matilda mendekat ke arahnya dengan senyum ramah dan menunduk hormat.
“Di mana Virginia?” Armando bertanya datar sambil menyimpan dua tangannya di saku celana.
“Nyonya Virginia sudah pergi beberapa hari yang lalu. Saya tidak tahu Kemana perginya,” jawab Matilda. “Maaf, tapi saya sudah mengatakan ini sebelum Anda pergi ke luar kota,” lanjut wanita paruh baya itu.
Armando berdecak lalu memalingkan wajah, mengisyaratkan tangan pada Matilda agar pelayan itu menyingkir dari hadapannya. Dia baru ingat, hari itu, setelah dia menandatangani surat cerai di malam hari, dia memang mendapatkan laporan bahwa malam itu juga Virginia pergi dari rumah. Hanya saja ia tak menyangka Virginia belum kembali hingga saat ini.
Matilda membungkukkan sedikit badannya lalu undur diri. “Aku tidak salah, kan? Dia sudah bertanya sebelumnya dan aku juga sudah menjawabnya.”
Armando menyeret sendiri kopernya. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan semenjak ia menikah dengan Virginia. Selama ini selalu wanita itu yang melakukannya. Terus melangkah hingga kakinya tiba di depan dinding, di mana biasanya ada foto pernikahan besar di sana.
Tampak dalam penglihatannya, Virginia yang sedang membersihkan kaca pada pigura besar tersebut wanita itu tersenyum Naif.
“Foto itu membuatku mual.” ucap Armando.
Senyum di wajah Virginia perlahan pudar berganti dengan mendung menggantung. Armando mendengus kesal. Wajah Virginia benar-benar penuh kepalsuan. Berharap dirinya tunduk? Jangan mimpi!
Armando tersadar dan menatap sinis ke arah tembok yang kini kosong. Tak ada lagi pigura besar di sana.
“Matilda… Matilda…!” Armando berteriak memanggil kembali pelayan yang diusir beberapa menit lalu.
Matilda datang tergopoh. “Tuan membutuhkan sesuatu?” tanyanya.
“Di mana pigura yang ada di sini?” Armando menatap Matilda tajam.
“Maaf, Tuan. Sebelum pergi, Nyonya Virginia menyuruh beberapa pelayan untuk menurunkan pigura.” Matilda menunduk dalam. Foto pernikahan dan beberapa kardus berisi barang kenangan yang terbakar habis berputar-putar di kepalanya, tapi ia tak berani berkata.
Armando mengangguk-anggukkan kepala lalu mengisyaratkan untuk Matilda pergi. Tersenyum miring.
“Virginia, kamu jadi semakin berani. Benar-benar akting yang sempurna bahkan foto pernikahan favoritmu juga kau bawa pergi. Mau berpura-pura untuk melepaskanku, apa kau ingin aku menghubungimu? Itu adalah sesuatu yang tidak mungkin. Tunggulah sampai kamu mati dan aku takkan pernah datang.” Armando tersenyum miring.
*
*
*
Malam telah larut, Armando bergerak gelisah dalam tidurnya. Mendekap tubuh yang terasa dingin, terbangun ketika menyadari sisi ranjangnya kosong. Menyeret punggung, bersandar pada head board ranjang, mengambil kacamata dari atas nakas, lalu memakainya.
Ada sesuatu yang aneh ia tak bisa tidur dengan lelap. Menatap ke arah nakas, biasanya ada botol kristal kecil dengan hiasan aroma terapi di sana, tapi sekarang kosong.
“Matilda… Matilda…!” Entah berapa kali Armando berteriak memanggil pelayan hari ini. Sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan. Entah apa pria itu sadar atau tidak. Selama ini, apa pun yang ia butuhkan selalu siap sebelum ia berteriak.
“Matilda…!” Armando berteriak lagi dengan suara yang makin membahana karena yang dipanggil.tak juga datang.
“Anda memanggil saya, Tuan?” tanya Matilda yang datang tergopoh. Mengucek matanya sambil menguap. Tampaknya wanita itu telah tertidur sebelumnya, dan terbangun akibat suara teriakan sang majikan.
“Di mana aromaterapi yang biasa di atas nakas? Apa kau tidak tahu aku tidak bisa tidur jika tanpa aroma terapi?” bentak Armando.
Matilda menunduk dengan tubuh bergetar. Dalam hati ia menyesali kenapa sang nyonya harus pergi dari rumah. “Maaf, Tuan,” ucapnya. “Aroma terapi yang biasa dipakai selama ini adalah racikan khusus yang dibuat sendiri oleh Nyonya Virginia. Tadi saya ingin memasangnya untuk Anda, tapi minyaknya sudah tidak ada.” Matilda menjelaskan situasi yang sebenarnya.
Mendengus kesal, Armando mengisyaratkan agar Matilda pergi dari kamarnya. Pelayan tua itu pun hanya bisa menunduk hormat kemudian berlalu.
Armando menyandarkan tubuhnya head board ranjang lalu tersenyum miring. “Rupanya kamu ingin memaksa aku agar menemuimu ya? Bahkan minyak aroma terapi yang bisa biasa aku pakai pun kamu bawa pergi. Baiklah itu justru sesuatu yang bagus. Aku tidak akan pernah bergantung padamu. Hanya minyak aroma terapi saja, apa hebatnya. Aku bisa membeli sekalian dengan pabriknya kalau aku mau. Ayo kita lihat, siapa yang menang pada akhirnya?”
Armando kembali membaringkan tubuhnya, dan mencoba untuk tidur. Bergerak ke sana kemari. Gelisah, tak bisa juga lena. “Pasti hanya karena aku terlalu lelah.” Enggan mengakui ketiadaan Virginia dan aroma terapi adalah penyebab dirinya tak jua terlelap.
*
*
*
Matahari bersinar cerah. Cahayanya yang menyilaukan menembus dinding kaca sebuah kamar. Menerpa wajah yang masih pulas. Entah jam berapa semalam dia baru bisa tidur. Mungkin beberapa saat sebelum matahari terbit.
Armando menggeliat menggerakkan badan yang terasa kaku. Mengucek matanya yang terasa lengket. Silau cahaya membuatnya mengerjap.
“Jam berapa ini?” Tangannya yang pegal meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Matanya yang baru bisa terbuka sempurna menatap penunjuk waktu.
“Jam sembilan?” Tersentak dengan mata terbelalak. Hari ini ada meeting penting dan dia kesiangan.
“Virginia…! Kenapa tidak membangunkan? Dasar istri tidak berguna!” Sambil bergerak cepat menuju kamar mandi, Armando terus berteriak dan memaki.
Hanya beberapa menit, keluar dari kamar mandi dengan tubuh berbalut jubah mandi. Entah dia mandi dengan benar atau tidak. Mungkin bahkan dia lupa gosok gigi, hanya dia yang tahu. Matanya menatap sisi ranjang yang kosong. Tak ada baju ganti di sana.
Berdiri kesal dan berkacak pinggang. “Virginia…! Virginia…!”
Satu menit, dua menit, tak ada yang datang.
"Virginia...!" suaranya menggelegar.
Ceklek
Pintu kamar terbuka dan menampilkan wajah ketakutan Matilda.
“Mana Virginia? Kenapa tidak menyiapkan baju ganti?” Armando berteriak berang.
“Maaf, Tuan.” Matilda menunduk takut. Tuan Armando tak pernah seperti ini sebelumnya. “Nyonya Virginia sudah tidak tinggal di rumah ini sejak beberapa hari.”
Armando tertegun. Tangannya mengisyaratkan agar Matilda pergi. Terduduk di tepi ranjang. “Virginia, tak ku sangka kamu semakin berani.”
kl ga mh dia mti jg bkln sia2,mna yg jhat msh hdp enk pula.....bls mreka dong buat bkti cnta sm istrimu,biar sma2 mraskn gmna skitnya...