Demi harta Dirja rela melakukan pesugihan, pesugihan yang katanya aman. Tak perlu menumbalkan nyawa, hanya perlu menikah lagi saja. Semakin Dirja menikah dengan banyak wanita, maka harta yang dia dapatkan juga akan melimpah.
"Ingat, Dirja! Kamu harus menikah dengan wanita yang memiliki hari spesial, seperti wanita yang lahir pada malam satu suro. Atau, wanita yang lahir pada hari Selasa Kliwon."
"Siap, Ki! Apa pun akan saya lakukan, yang terpenting kehidupan saya akan jadi lebih baik."
Akan seperti apa kehidupan Dirja setelah melakukan pesugihan?
Benarkah pesugihan itu aman tanpa tumbal?
Gas baca, jangan sampai ketinggalan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilangnya Janin
Dea awalnya hanya menangkap titik putih kekuningan yang terlihat samar di depan matanya. Perlahan, titik itu membesar, berubah menjadi gumpalan cahaya yang menyilaukan hingga matanya sulit terbuka.
Cahaya itu seperti sebuah pintu, pintu menuju alam lain yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Dadanya berdebar makin kencang saat bayangan tangan besar berwarna hitam muncul dari balik cahaya tersebut.
Tangan itu menggenggam udara, lalu tiba-tiba menarik tubuh Dea ke dalam pusaran cahaya yang dingin dan menusuk kulit. Jeritan takutnya terpecah di udara, tapi suara itu seakan tenggelam ketika Dea merasa tubuhnya melayang dan berpindah tempat.
Dia membuka mata dan langsung disambut oleh pemandangan asing, istana megah dengan tembok hitam lusuh yang penuh retak. Perabotan di dalamnya berkarat dan berdebu, mengisyaratkan waktu yang lama terabaikan.
Meski begitu, sesekali orang-orang berlalu lalang dengan langkah datar dan tatapan mata kosong, seolah mereka tidak benar-benar sadar akan keberadaan diri mereka sendiri.
Pakaian mereka pun aneh, mengingatkan Dea pada masa lampau atau mungkin dunia lain. Dea menelan ludah, kepalanya penuh dengan kebingungan.
"Sebenarnya aku ini di mana?" tanya Dea dengan suaranya yang bergetar, dia berusaha memahami kenyataan yang menyesakkan ini.
Dea menahan napas, dada sesak seperti hendak meledak. Untuk pertama kalinya, ketakutan itu menyergapnya dengan begitu hebat. Di sekelilingnya hanya kegelapan pekat, tanpa satu titik cahaya pun.
Langit di atasnya tampak aneh, putih pudar seperti kabut tipis yang menggantung, bukan gelap seperti malam biasa. Matanya menatap kosong, matanya itu menyapu warna hitam dan putih yang bertarung dalam pandangannya.
"Ya Tuhan, aku ini ada di mana?" bisiknya dengan kepalanya yang terasa berputar hebat.
Baru kali ini dia merasakan rindu yang begitu dalam terhadap kedua orang tuanya, baru kali ini dia merasakan rindu yang sangat hebat terhadap suaminya. Baru kali ini dia takut kehilangan orang-orang yang dia sayang.
Bahkan, baru kali ini dia berharap ingin bertemu kembali dengan Susi, padahal dia biasanya begitu membenci kakaknya itu. Karena bagi dirinya Susi merupakan seorang penghambat.
"Apa aku harus bertanya kepada orang yang ada di sini?" tanya Dea.
Dea menatap sekeliling dengan ragu. Sosok-sosok di sana tampak asing dan aneh, seperti dari dunia lain. Hatinya mendorong untuk mendekat, walau dada masih terasa sesak.
Dia butuh jawaban atas semua pertanyaan yang muncul di otaknya, dia tidak bisa hanya diam saja menunggu diberitahu oleh orang lain. Karena Sepertinya dia tidak akan menemukan jawaban tanpa bertanya.
"Permisi, maaf. Apa aku boleh tanya?"
Suaranya bergetar karena keraguan, tapi dia mencoba meyakinkan diri. Dia mencoba meyakinkan diri kalau wanita yang ada di hadapannya bisa memberikan jawaban atas semua pertanyaannya.
Perempuan cantik berwajah pucat itu menoleh sekilas, matanya dingin tanpa kehangatan. Sekali pandang saja, setelah itu ia kembali ke aktivitasnya, meraih air jernih dari sungai kecil di halaman istana megah itu.
Dea mengerutkan kening, dia merasa aneh dengan sikap dari wanita itu. Begitu dingin dan seperti menjaga jarak dengan dirinya, tetapi dia mencoba untuk mengumpulkan keberanian lagi.
"Mbak, aku serius, tolong jawab. Sebenarnya aku ini ada di mana?"
Wanita itu menoleh sebentar, tak menjawab, air yang diambilnya mengalir deras membasahi tubuhnya yang hanya diselimuti selembar kain tipis. Lekuk tulang di bawah kulitnya tampak jelas, membuat Dea menahan geli tak nyaman.
"Aku--- ehm! Maksudnya kita ini di mana, sih?" tanya Dea lagi, suaranya semakin bergetar, dia menunggu jawaban yang entah datang atau tidak.
"Di sebuah tempat yang mungkin akan membuat kamu tersesat dan tidak bisa menemukan jalan pulang," jawabnya dengan tatapan kosong.
"Maksudnya?" tanya Dea bingung.
Bukannya menjawab apa yang ditanyakan oleh Dea, wanita itu malah pergi begitu saja. Dea kesal, tetapi dia tidak bisa marah. Alhasil dia mencari orang lain lagi yang ada di sana, dia kembali bertanya dengan keberadaannya di mana.
Tak lupa Dea juga bertanya tentang jalan pulang, sayangnya tidak pernah menemukan jawaban. Akhirnya dia melangkah masuk ke dalam istana megah itu, semakin lama dia melangkah semakin dalam kakinya mengantarkan dirinya menuju ruang di mana di sana ada sosok perempuan dan juga laki-laki yang terlihat begitu cantik dan juga tampan.
Jika mengingat dongeng yang pernah dia dengarkan di radio, mungkin kedua makhluk yang ada di hadapannya itu merupakan raja dan juga ratu di istana tersebut. Karena dia melihat ada mahkota di kepala kedua orang itu.
Dea memberanikan diri untuk menghampiri mereka, dia bahkan bersujud dihadapan keduanya sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada.
"Maaf kalau kedatangan saya mengganggu, tetapi sungguh saya ingin tahu jalan pulang. Saya tak tahu saya di mana, apakah kalian bisa menunjukkan aku jalan pulang?"
"Tentu saja bisa, hanya saja ada syaratnya."
"Apa itu, Tuan Raja?" tanya Dea sambil memberanikan diri untuk menatap sosok pria yang begitu tampan di hadapannya itu.
"Harus ada benda bernyawa yang kamu tinggalkan," jawabnya tegas.
"Maksudnya?" tanya Dea bingung.
"Janin itu harus kamu berikan untukku, itu sebagai kunci pintu menuju duniamu."
Dea langsung memegangi perutnya, dia sampai rela melakukan hal itu sebelum menikah agar bisa hamil. Agar bisa mendapatkan restu dari kedua orang tuanya untuk menikah, dia menjadi bingung dibuatnya.
"Apa tidak ada hal lain yang bisa ditukar dengan pintu menuju pulang?"
"Ada, suami kamu."
"Hah?"
"Jika kamu mengizinkan suami kamu untuk menjadi kunci kepulangan kamu, janin yang ada di perut kamu akan selamat."
Dea diam seribu bahasa, dia tidak mau kehilangan Damar ataupun janin yang ada di dalam rahimnya. Karena cita-citanya ingin berumah tangga dengan penuh kebahagiaan dan juga keharmonisan dengan suaminya itu.
"Kalau aku menolak untuk menyerahkan janin ataupun suamiku, apa yang akan aku dapatkan?"
"Kamu tidak akan bisa pulang dan selamanya menjadi abdi di istanaku," jawabnya.
"Berat sekali, aku harus apa?"
"Serahkan salah satunya, jangan lama. Waktu kamu tidak banyak, aku bukan penunggu yang baik."
Dea tetap diam, dia kebingungan. Tatapan matanya nampak kosong, raja yang kini sedang duduk di singgasananya itu nampak marah. Tanpa Dea duga, raja itu nampak menghampiri Dea dan menarik kaki Dea dengan begitu kencang.
"Tolong!" teriak Dea karena merasakan tubuhnya melayang di udara.
Kakinya ada di atas, sedangkan kepalanya berada di bawah. Pusing sekali rasanya, dia merasa kalau langit akan runtuh dan menimpa dirinya.
"Berikan aku pilihan, mau kamu yang menjadi abdi di sini? Atau, janin yang ada di perut kamu?"
Dea berpikir dengan begitu keras, jika janin yang dia berikan, dia berpikir masih bisa hamil lagi. Akhirnya Dea mengatakan kalau raja yang ada di tempat itu boleh mengambil janinnya.
"Ini adalah keinginan kamu, jangan pernah menyesal."
Raja yang tadinya berparas tampan itu berubah menjadi buruk rupa, dia berubah menjadi sosok tinggi besar yang di semua tubuhnya terdapat urat-urat besar yang menonjol berwarna keunguan.
Kulitnya yang dari berwarna putih kini berubah menjadi hitam, mata sosok itu berubah menjadi merah darah. Tangannya membesar dan tatapan matanya menuju inti tubuh Dea.
"Tahan sebentar, sakitnya tidak akan lama."
Dea merasakan ketakutan yang luar biasa, karena tiba-tiba saja tangan pria itu memanjang. Lalu, tangan itu mulai menerobos masuk ke dalam inti tubuhnya. Tangan itu seperti merobek inti tubuhnya sampai ke dalam rahimnya.
"Argh! Tolong! Sakit" teriak Dea dengan keringat dingin yang mulai membasahi tubuhnya.
Tangan itu di rasa mere mas perutnya, tak lama kemudian tangan itu keluar dari dalam inti tubuhnya dengan membawa segumpal darah berwarna merah pekat.
"Sialan! Ini sangat sakit," ujar Dea dengan tubuhnya yang terasa begitu lemas.
"Hahahaha! Nanti juga sembuh," ujarnya dengan suara yang begitu menggema.
Tubuh Dea terus berputar, hingga tidak lama kemudian dia melihat cahaya putih kekuningan seperti saat ia tertarik ke alam itu.
"Argh!" teriak Dea ketika dia merasakan tubuhnya yang dilempar dengan secara sengaja menuju cahaya itu.
punya pikiran tidak sih Dea ini.
Egois, judes dan emosian
iblis kalau di turuti semakin menjadi membawamu makin dalam terperosok dalam kehinaan .
Dirja ,ringkih banget hatimu ,baru di katain begitu kau masukkan ke dalam hati terlalu jauh ,hingga punya pikiran melenyapkan kehidupan insan tidak bersalah yang baru berkembang.
semangat teh Ucu