Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Kecil?
Langit siang itu menyebarkan panas menyengat ke tanah yang tandus, debu menari di udara bersama desau angin kering.
Tiga sosok yang baru meninggalkan Lembah Tiga Gunung dua hari yang lalu, kini berdiri berhadapan dengan belasan bandit yang menutup jalan. Suasana tegang seperti senar kecapi yang ditarik terlalu kencang—sedikit saja tersentuh, ia akan putus.
Anul melangkah maju, sorot matanya menusuk ke arah pria kurus dengan bekas luka melintang di pipi. Aura yang dipancarkan tubuhnya bukan milik seorang pemuda biasa; tenangnya bukan kelemahan, melainkan peringatan.
“Aku hanya ingin lewat,” suara Anul terdengar datar, namun tajam bagaikan bilah pedang yang baru ditempa.
“Mundurlah, sebelum kalian menyesal.”
Para bandit terbahak serentak, tawa mereka kasar dan penuh ejekan. Si pemimpin meludah ke tanah, ujung tombaknya terangkat ke depan.
“Lihat ini, bocah berani sok bicara seperti pendekar! Kau pikir wajah seriusmu bisa menakutiku? Jalan ini milik kami. Kalau ingin lewat, bayar upeti—atau bayar dengan nyawa!”
Biro, yang berdiri agak ke belakang, gemetar sampai lututnya beradu. Tangannya meraih bahu Arum.
“A-Arum… sebaiknya kita lari saja, kan? Ada belasan orang yang membawa senjata… mana mungkin kita bisa menang...” bisiknya, wajahnya pucat pasi.
Arum menahan napas, meski jantungnya juga berdegup kencang. Namun tatapannya tertuju pada Anul, yang sama sekali tidak gentar. Ia tahu Anul tidak akan menghindar.
Bandit-bandit mulai merapat, senjata terhunus. Ada yang membawa pedang karatan, ada yang memegang tombak, bahkan beberapa hanya bersenjatakan tongkat kayu. Meski begitu, jumlah mereka cukup untuk menghabisi kereta sederhana beserta penumpangnya.
Anul menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Pada momen itu, gelombang tipis tak kasat mata menyebar sejauh seratus meter disekelilingnya. Dari kulit kuning langsat menyeruak aura berwarna keperakan dengan sedikit campuran kuning. Tidak ada cahaya aneh, tidak ada ledakan—hanya sedikit perubahan aura: dari seorang pemuda biasa menjadi sosok yang kehadirannya mendominasi seluruh yang ada disekitarnya.
Arum sempat bergidik. “Aura ini…” gumamnya lirih, seakan tubuh Anul bukan lagi manusia biasa, melainkan sebilah pedang tajam yang baru dicabut dari sarungnya. Aura ini berasal dari kekuatan fisiknya yang sudah mencapai tingkat Tubuh Perak yang setengah langkah lagi akan mencapai Tubuh Emas.
Bandit pertama menyerbu, ayunan pedangnya kasar namun cepat, mengincar leher Anul. Tanpa senjata, tanpa perisai, Anul hanya sedikit menggeser tubuh. Gerakan itu nyaris tak terlihat, namun cukup untuk membuat tebasan pedang lewat sejengkal di depan wajahnya.
Sebelum bandit itu sempat bereaksi, tangan Anul bergerak. Satu hentakan telapak ke dada, buugh!—bandit itu terlempar mundur seperti karung jerami, terkapar dengan napas terputus-putus.
Hening...
Sesaat, waktu seolah berhenti.
“Bagaimana mungkin…?!” seru seorang bandit dengan suara gemetar.
Si pemimpin hanya menggeram, wajahnya memerah. “Jangan gentar! Dia hanya seorang bocah! Serang bersama-sama!”
Belasan orang menyerbu serentak. Tanah berguncang oleh derap kaki, senjata berkilat di bawah terik matahari.
Namun bagi Anul, semua itu terasa lambat. Dari tadi ia sudah mengaktifkan indra spiritual nya—mengalirkan energi jiwa yang sudah ia latih selama ribuan siklus perombakan. Tubuhnya ringan, matanya menangkap setiap gerakan. Baginya yang sudah mengaktifkan persepsi jiwa, pergerakan bandit-bandit itu sangatlah lambat.
Satu bandit mengayunkan tombak, Anul merendah, lalu memutar tubuh. Siku kirinya menghantam rusuk penyerang, disusul tendangan ke lutut. Terdengar bunyi patah, jeritan melengking, dan tubuh bandit itu tumbang tak berdaya.
Dari sisi lain, dua pedang menyambar sekaligus. Anul menekuk lutut, meraih lengan salah satu penyerang, lalu memutar tubuhnya menjadi perisai hidup. Pedang bandit itu justru menancap di bahu temannya sendiri. Darah memercik, anyir darah yang pekat menyeruak di udara yang panas.
Biro menjerit ngeri, menutup mata. “Ya ampun, ya ampun… aku tidak sanggup melihat ini!”
Arum menggenggam erat belati kecil yang ia simpan di pinggang, namun ia tahu tak ada ruang baginya untuk ikut bertarung. Gerakan Anul terlalu cepat, terlalu presisi. Ia hanya bisa menjaga agar Biro tidak lari terbirit-birit.
Bandit-bandit mulai ragu. Satu per satu rekan mereka jatuh, tubuh mereka terlempar, berguling di tanah, atau terkapar sambil memegangi luka.
Hanya si pemimpin yang masih bertahan. Ia melangkah maju, wajahnya garang, urat leher menegang. Tombaknya berputar cepat, mengeluarkan suara menderu di udara.
“Bocah! Jangan kira kau bisa menghina kami seenaknya! Aku akan merobekmu hidup-hidup!”
Dengan teriakan garang, ia menusukkan tombaknya lurus ke arah dada Anul.
Namun Anul tidak bergerak mundur. Justru ia melangkah maju, menangkis dengan telapak tangan kosong.
Trak!
Suara logam bertemu daging, tapi bukannya menembus, tombak itu terhenti, seolah menabrak dinding baja tak terlihat. Anul menggenggam batang tombak, lalu dengan satu tarikan keras, ia merebutnya dari tangan si pemimpin.
Sebelum bandit itu sempat bereaksi, tombak berbalik arah. Ujungnya kini berhenti tepat di depan tenggorokan pemiliknya.
Si pemimpin terdiam, matanya melebar. Peluh dingin menetes di keningnya.
“Pergilah,” suara Anul terdengar pelan, namun dingin. “Jika kalian ingin hidup, jangan pernah muncul lagi di hadapanku.”
Tombak itu ia jatuhkan ke tanah. Bunyi "klentang" membuat bandit itu tersentak mundur.
Beberapa kawannya yang masih sadar segera menyeret pemimpin mereka, mundur tergesa-gesa. Dalam hitungan detik, tanah tandus itu kembali sunyi, hanya menyisakan debu dan tubuh-tubuh yang merintih kesakitan.
Anul berdiri tegak, napasnya tetap stabil meski baru saja menghadapi belasan orang. Matanya menatap jauh ke arah jalan yang semakin tandus. “Ini hanyalah pertarungan kecil.” gumamnya pelan.
"Pertarungan Kecil?" bisik Arum dalam hati.
Arum memang sudah mendengar beberapa versi cerita tentang Anul yang bertarung gagah melawan Ramzi dan para tetua pengkhianat saat terjadi kekacauan besar di desa.
Tapi biar bagaimanapun, semua versi dari cerita-cerita itu terasa sulit untuk diterima oleh logika. Melihat 'pertarungan kecil' ini secara langsung benar-benar membuatnya kagum dengan mata berbinar.
Sementara Biro? Ia selalu percaya dengan sosok pemuda di depannya itu.
Arum melangkah mendekat, menatapnya dengan wajah sulit dibaca. “Anul… kau melawan belasan orang bersenjata seolah mereka hanyalah semut yang sangat lemah. Seberapa besarkah sebenarnya kekuatanmu?”
Anul hanya menggeleng pelan. “Aku masih jauh dari cukup. Dunia di luar sana… jauh lebih berbahaya dari yang bisa kalian bayangkan.”
Sejenak ia teringat saat pertarungannya dua bulan lalu dengan Ramzi. Masih jelas tersimpan di memorinya kekuatan Ramzi yang mengerikan. Pada waktu itu ia bahkan hampir kalah walaupun sudah mengeluarkan semua kekuatannya. Dari jurus terakhir yang digunakan Ramzi, ia bisa tahu bahwa lawannya itu belum lama melatih tenaga dalam dan bahkan belum mencapai penguasaan kecil.
Jika Ramzi sudah mencapai penguasaan kecil dalam kekuatan tenaga dalam, apakah Anul yang waktu itu masih bisa menang? Kemenangannya murni karena keberuntungan. Jika Ramzi yang hanya pesuruh sudah sekuat itu, bagaimana dengan kekuatan orang yang memerintahnya?
Biro akhirnya berani membuka mata, wajahnya masih pucat. “Kalau ini baru awal… aku mulai menyesal ikut perjalanan ini.”
Arum tertawa kecil, menepuk pundaknya. “Kau terlalu banyak mengeluh, Biro. Tapi aku yakin, kau akan belajar sesuatu dari semua ini.”
Biro mendengus. “Yang aku pelajari sejauh ini hanya… aku lebih suka tidur siang di desa daripada mati ketakutan di sini.”
Anul mengangkat tangan, menghentikan percakapan mereka. Matanya menatap ke arah utara, di mana bayangan reruntuhan mulai terlihat. Dinding batu yang retak, bangunan roboh, dan hawa aneh yang menguar dari kejauhan.
“Kota Hantu,” bisiknya. “Kita sudah dekat.”
Debu berterbangan, angin membawa suara-suara samar dari kejauhan, seperti bisikan arwah yang menunggu. Jalan mereka baru saja dimulai, dan bayangan bahaya yang lebih gelap sudah menanti di depan.