Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Malam itu langit tampak muram, awan hitam menggantung berat seperti ikut menanggung beban di dada Anisa.
Apartemen yang biasanya ramai oleh suara pertengkaran kini senyap, hanya terdengar detik jam di dinding yang berjalan lambat.
Anisa berdiri di depan cermin. Di sana, bayangannya memantul lemah dengan pipi yang masih sedikit membiru dan tatapan mata yang kosong. Di balik luka luar yang memudar, ada luka batin yang jauh lebih dalam. Luka yang tidak bisa disembuhkan dengan waktu.
Ia menarik napas panjang, menatap sekeliling apartemen yang terasa begitu asing meski sudah ia huni beberapa minggu. Di meja ruang tamu, tergeletak sebuah kertas putih dan pulpen. Dengan tangan bergetar, Anisa mulai menulis setiap hurufnya seperti serpihan perasaan yang selama ini ia pendam,
“Untuk Bima…”
Aku sudah berusaha menjadi istri yang patuh. Aku diam saat kamu marah, aku mencoba memahami ketika kamu menyakiti.
Tapi hari ini, aku sadar… aku hanya boneka dalam rumah ini. Boneka yang tidak pernah kamu pandang, tapi selalu kamu salahkan.
Aku bukan perempuan murahan seperti yang kamu bilang. Aku hanya perempuan yang ingin hidup dengan tenang tanpa luka, tanpa ketakutan setiap malam.
Kamu boleh terus bersama mbak Luna, kamu boleh bahagia dengan caramu, tapi aku juga berhak pergi mencari hidupku sendiri.
Terima kasih sudah memberi ku pelajaran, bahwa aku hanyalah sampah dalam hidup mu, tapi aku melakukan ini demi orang yang aku sayang. Orang yang sudah sangat berjasa untuk hidup ku.
Aku akan kembalikan Villa milik orang tua mu.
Mulai malam ini… aku pergi.
Anisa.
Anisa menatap surat itu lama, sebelum melipatnya dengan hati-hati dan meletakkannya di atas meja, tepat di bawah cincin kawinnya yang sudah ia lepas.
Tangannya sempat bergetar saat melepas cincin itu, namun ia memaksa diri untuk kuat.
“Cukup sampai di sini…Aku juga punya harga diri.” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Dengan langkah perlahan, ia membawa tas kecil berisi beberapa pakaian dan dokumen penting. Ia menatap pintu apartemen terakhir kalinya, lalu menutupnya tanpa suara.
Udara malam langsung menyambutnya begitu ia melangkah keluar. Dingin menusuk kulit, tapi hatinya terasa sedikit lebih ringan. Ia berjalan cepat menyusuri jalanan sepi, menuju halte kecil tempat taksi biasa lewat.
Tujuannya hanya satu panti asuhan tempat Bu Asih dan anak-anaknya.
Beberapa jam kemudian, suara pintu apartemen terdengar terbuka. Bima baru pulang, wajahnya terlihat murung. Ia menatap sekeliling, memanggil pelan,
“Nisa...?”
Tak ada jawaban.
Hanya keheningan.
Ia melihat secarik kertas di atas meja, bersama cincin yang berkilau samar di bawah cahaya lampu.
Bima mendekat, mengambilnya, dan membaca perlahan. Setiap kalimat terasa seperti tamparan keras di wajahnya.
Tangannya mengepal. Matanya bergetar.
“Lo berani ninggalin gue, Nis…Lo berani gagalin rencana gue.” ucapnya pelan, tapi nada suaranya bergetar antara marah dan tak percaya.
Namun entah kenapa, ada sedikit perasaan kosong di dadanya seolah bagian dari dirinya ikut pergi bersama gadis itu.
"Kenapa Beb?"
"Gadis kampung itu pergi."
"Apa?." ucap Luna berpura-pura padahal hatinya sangat senang.
"Akhirnya dia pergi juga." batin Luna.
"Trus kenapa kamu tampak sedih gitu?"
"Bukan sedih Hon, tapi...gimana kalau orang tua aku tau. Aku akan dicoret dari ahli waris. kamu mau hidup miskin?"
"Gak...aku gak mau." jawab Luna cepat.
"Trus gimana sekarang,?"
"Kita harus cari dia, beb."
"Tapi kemana?."
"Kepanti asuhan nya lah beb."
"Kamu bener juga. besok kita cari dia kesana. Enak aja dia mau gagalin rencana aku."
Sementara di apartemen nya Jovan tak bisa tenang. Bayangan wajah Anisa yang memar, suara tangis tertahannya, dan cara perempuan itu tetap berusaha tegar terus menghantui pikirannya.
Ia mengaku pada dirinya sendiri, ini bukan sekadar rasa iba. Ada sesuatu yang lain, sesuatu yang perlahan tumbuh tanpa ia sadari.
Namun, tanpa Jovan ketahui, tepat saat kota mulai terlelap, Anisa melangkah keluar dari apartemen itu dengan langkah pelan. Jaket tipis membungkus tubuhnya, sementara udara malam menusuk kulitnya yang dingin. Tak ada tujuan lain di pikirannya selain satu tempat panti asuhan tempat Bu Asih dan anak-anak menunggunya.
Perjalanan malam itu seolah tanpa akhir. Lampu jalan memantulkan cahaya temaram di wajahnya yang sendu. Di setiap langkah, kenangan pahit bersama Bima dan luka batin yang ditinggalkan Luna terasa makin berat. Tapi hati kecilnya memanggil,
“Pulanglah… ke tempat di mana semua dimulai.”
Ketika Anisa tiba di depan gerbang panti, suasana begitu sepi. Hanya suara jangkrik dan hembusan angin malam yang menemani. Ia mengetuk pelan, hampir ragu.
Tak lama kemudian, suara langkah cepat terdengar dari dalam. Gerbang terbuka, dan tampak Bu Asih, dengan piyama lusuh dan selendang tersampir di bahu, menatapnya dengan terkejut.
“Nisa…? Ya Tuhan, Nak… kamu kenapa datang malam-malam begini? Lihat wajahmu... pasti dingin sekali.”
Anisa tak mampu menahan air matanya. Tubuhnya langsung jatuh dalam pelukan Bu Asih.
Tangisnya pecah, keras namun penuh luka yang selama ini ia tahan.
“Bu… Nisa nggak kuat lagi…” suaranya parau. “Nisa capek, Bu. Semua orang menyalahkan Nisa. Dihina, ditampar, diperlakukan seperti sampah…”
Bu Asih membelai rambutnya lembut, berusaha menenangkan.
“Ssst… sudah, Nak… kamu aman di sini. Ceritakan pelan-pelan ya, biar Ibu tahu semuanya.”
Dalam isak yang tertahan, Anisa menceritakan segalanya...tentang pernikahan kontrak yang ia jalani demi menyelamatkan tempat tinggal yang layak untuk adik-adiknya, tentang Bima yang dulu tampak baik tapi berubah menjadi monster, dan tentang Luna, kekasih Bima, yang tak henti-hentinya menyiksanya.
Bu Asih terdiam lama. Matanya memerah, menahan air mata yang ingin jatuh.
Ia memeluk Anisa lebih erat.
“Ya Tuhan… segitu besar pengorbananmu, Nisa…” bisiknya lirih.
“Kamu rela menjual kebahagiaanmu hanya demi kami, demi anak-anak disini.”
"Aku udah punya uang cukup buat tempat tinggal kita yang baru bu. Besok kita harus pindah."
"Kami dapat uang dari mana?."
"Aku kemaren dapat bonus dari kantor tempat aku magang, karena aku berhasil membantu Bos aku menjalin kerjasama dengan perusahaan besar."
"Syukurlah nak. Setidaknya kita bebas jika tinggal dirumah kita sendiri."
"Iya bu."
Di ambang pintu, beberapa anak panti kecil terbangun. Mereka mengintip dengan mata mengantuk dan wajah polos.
“Kak Nisa…?” salah satu dari mereka memanggil lirih.
Anisa menatap mereka dengan senyum getir.
“Kakak pulang, Dek…” ucapnya pelan. “Kakak pulang.”
Tangis pun pecah lagi, kali ini bukan karena luka, tapi karena rasa rindu dan kelegaan.
"Ya Tuhan...aku sama sekali tak menyangka jika putra Bu Ratna akan memperlakukan anak ku seperti ini. Padahal aku bisa menilai jika Bu Ratna dan Suaminya adalah orang baik. Tapi anaknya seperti monster. Dia tega mempermainkan sebuah pernikahan yang sakral hanya demi harta. Dia sudah bersikap kasar dan menyakiti Fisik Anak ku. Aku gak akan tinggal diam. Aku akan bicarakan ini dengan Bu Ratna besok. Kalaupun kami tinggal di jalanan tidak apa-apa, Asal harga diri anak ku tidak di injak-injak seperti ini." Batin Asih meremas ujung piyama nya.
minta balikan habis ini yahhh lagu lama