NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:562
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31: Belum Sampai Sejauh Itu Kan?

   Tiny mengangguk. Satu hal yang ia syukuri. Meski rumah tangganya belum mulus, tapi ia mendapat mertua yang tetap hangat.

   Saat Tiny dan Diva sudah berjalan menjauh, Mama Laura menoleh ke Gery.

   “Nanti Mama sama Papa ke rumah kamu ya, Ger. Mau lihat mantu Mama. Terus ke rumah Layla juga sekalian.”

   “Oke, Ma. Aku pergi dulu, ya,” sahut Gery sambil merapikan lengan kemejanya.

   Mama Laura menggeleng pelan sambil tersenyum. “Baru juga rumah rame, udah pada mau pergi aja anak-anak Mama.”

   Gery nyengir. “Tenang, Ma. Bentar lagi Mama bakal sibuk ngurus cucu. Nambah tiga lagi tuh—satu dari aku, satu dari Layla, satu lagi dari Xion. Haha.”

   Mama Laura langsung menepuk pundak anaknya dengan setengah geli, setengah pasrah. “Jangan ngaco ah, Ger. Nanti beneran, mama ngarep lho punya cucu tiga sekaligus.”

   “Ngarep asal pasti sih nggak apa-apa, Ma. Yang penting bukan pusing biaya popok,” cengir Gery, lalu melenggang keluar rumah dengan gaya santai andalannya.

   Sementara itu, di gerbang depan, Diva sudah duduk manis di atas motor besar miliknya, helm merah terpasang setengah.

   “Tiny! Naik cepat! Kak Alicia tuh kalau tidur siang bisa bablas sampe malam, loh!” serunya.

   Tiny yang baru saja selesai berkaca di spion ikut tertawa kecil, lalu duduk di boncengan. Helm pink pastel ia kenakan dengan posisi agak miring, khas gaya malas dandan tapi tetap niat tampil lucu.

   “Gass,” ujar Tiny sambil memeluk pinggang Diva dari belakang.

  Dan motor pun melaju, membawa dua perempuan muda—satu masih banyak bertanya soal hidup, satu lagi masih banyak ngelawak soal jodoh.

   Mama Laura menatap kepergian tiga anaknya itu dari balik jendela ruang tamu.

   Langkah Gery yang santai, motor Diva yang melaju ringan membawa Tiny di boncengan—semuanya perlahan menghilang di balik pagar besar bercat putih.

   Tanpa disengaja, pandangan Mama Laura bertemu dengan Papa Ali, yang sedang berdiri di dekat gerbang. Mungkin barusan menyapa mereka.

   Tatapan mereka bertemu sebentar. Mama Laura tersipu pelan. Meski sudah puluhan tahun menikah, kadang tatapan suaminya masih bisa membuat wajahnya memerah halus.

   Beberapa menit berlalu, Mama Laura kini duduk di sofa ruang tengah. Papa Ali duduk di sebelahnya, memegang cangkir teh hangat.

   “Xion, sini dulu,” ucap Mama Laura dengan nada lembut.

   Xion yang sedari tadi berdiri di dekat tangga, menoleh. Ia lalu mendekat dengan langkah tenang.

   “Iya, Ma?” sahutnya.

   Papa Ali ikut bicara, nadanya tenang tapi penuh wibawa. “Duduk, Nak. Papa mau ngobrol dikit.”

   Xion pun duduk di seberang mereka, tangannya terlipat di pangkuan. “Kenapa, Pa?”

   Papa Ali menatap istrinya sejenak, lalu menoleh ke Xion. “Tadi Mama cerita… katanya kamu sama Tiny keliatan agak nggak nyaman ya?”

   Xion menyipitkan mata pelan, bingung harus menjawab seperti apa. Ia menatap Mama Laura yang hanya tersenyum tipis—tatapan yang penuh pemahaman.

   Mama Laura berkata pelan, “Soalnya tadi waktu Tiny sama Diva mau pergi, kamu nggak turun. Terus Tiny juga nggak pamit ke kamu. Harusnya kan dia pamit dulu sama kamu.”

   Xion terdiam sesaat.

   “Mama khawatir, bukan mau ikut campur. Mama ngerti, kalian udah rumah tangga sendiri. Tapi tetap aja… kamu anak Mama. Dan Tiny juga Mama anggap anak sendiri.”

   Xion mengangguk pelan. “Iya, Ma… Maaf. Lagi… bingung aja tadi. Tapi nggak ada apa-apa kok.”

   Papa Ali menyesap tehnya pelan.

   “Xion,” ucapnya, “Kalau ada masalah, jangan dibiarkan menggantung. Selesaikan baik-baik. Kamu suaminya. Kamu yang harus bisa bimbing dia.”

   Xion menunduk, mendengarkan dalam diam.

   “Rumah tangga itu bukan soal siapa yang lebih kuat. Tapi siapa yang lebih mau mengalah. Apalagi kamu laki-laki. Harus bisa jadi tempat pulang buat istri dan anak-anak kamu kelak.”

   Suasana kembali tenang. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.

   Xion akhirnya berkata pelan, “Iya, Pa… Aku ngerti.”

   Mama Laura memandangi putranya yang masih diam. Matanya menelisik, bukan untuk menghakimi, tapi ingin memahami lebih dalam.

   “Xion,” ucapnya pelan, “Mama tau kamu nikah sama Tiny karena empati, kan? Karena kasihan?”

   Xion menunduk. Tak ada kata yang keluar, hanya anggukan pelan dan sangat singkat.

   Tentu saja ibunya tahu. Selalu tahu. Bahkan sebelum ia sendiri sadar alasan terdalamnya dulu.

   Mama Laura menghela napas lembut, lalu berkata lagi, “Nah, kalau memang sekarang kamu sama Tiny sama-sama nggak nyaman… Lebih baik, kalian pisah aja.”

   Xion menoleh cepat. Matanya membulat, seolah tak percaya ibunya mengucapkan kata itu.

   Tapi Mama Laura melanjutkan, tetap dengan nada halus, “Mama nggak bilang itu keputusan terbaik, tapi kalau kalian malah saling menyakiti… buat apa dipaksa?”

   Namun, kini bukan dari pihak Mama Laura. Melainkan dari Papa Ali. Ia menatap Xion dalam-dalam, lalu bertanya pelan, “Papa yakin, kamu sama Tiny belum sampai sejauh itu kan?”

   Xion tak langsung menjawab. Kepalanya menunduk, bahunya menegang. Dalam hatinya, perasaan bercampur aduk. Ia memang sudah… sejauh itu, bersama Tiny.

   Dan detik itu, Xion merasa seperti anak kecil lagi. Bingung, takut, tak tahu harus menjawab apa.

   Untung saja, sebuah suara dari arah pintu utama memotong ketegangan.

   “Pak Ali,” seru Pak Joko dari ambang pintu. “Ada tamu, Pak.”

   Papa Ali menoleh. “Siapa, Pak?”

   “Rekan kerja Bapak,” sahut Pak Joko.

   Papa Ali bangkit perlahan. “Ra, siapin makanan ya. Biar Papa temui dulu.”

   “Iya,” sahut Mama Laura, berdiri sambil merapikan ujung bajunya. Ia lalu berjalan ke dapur, menyisakan Xion sendirian di ruang tamu.

   Xion menghela napas panjang. Tangannya mencengkeram lutut. Dalam hati, ia merasa… lega. Setidaknya untuk sekarang, ia tak perlu menjawab pertanyaan itu.

°°°°

   Malam merambat pelan, menyelimuti langit dalam keheningan yang ganjil.

   Xion duduk di sisi tempat tidur, masih mengenakan kemeja lengan panjang yang kini sedikit kusut. Kancing bagian atas sudah terbuka, dan rambutnya tampak acak-acakan, seperti terlalu sering disisir pakai tangan karena resah.

   Ia lelah. Entah kenapa. Bukan lelah fisik—meskipun seharian cukup sibuk—tapi lelah di dalam kepala. Lelah yang tak kelihatan, tapi terasa berat di dada.

   Tadi siang, ketika rekan kerja Papa Ali datang, suasana awalnya terasa biasa. Hangat. Santai.

   Tapi begitu mereka membawa serta keluarganya, termasuk seorang gadis muda yang tampak... terlalu akrab untuk ukuran pertemuan perdana, Xion langsung tahu arah percakapan ini akan melelahkan.

   Mereka memang membahas soal proyek dan kerja sama antar perusahaan, tapi gelagatnya—senyum si gadis yang terlalu sering diarahkan padanya, pertanyaan-pertanyaan basa-basi, hingga bisik-bisik kecil dari ibunya—semuanya memberi satu kesimpulan yang jelas: mereka sedang mencoba menjodohkan.

   Xion hanya diam. Tidak tersinggung, tidak juga marah. Tapi… muak.

   Bukan pada gadis itu, tapi pada situasi yang terus menganggap dirinya seperti lembar kosong—bebas diisi siapa saja.

   Untung saja Mama Laura cepat tanggap. Dengan anggun, beliau menegaskan bahwa Xion sudah menikah. Papa Ali pun ikut membenarkan dengan tenang.

   Wajah gadis itu sempat berubah. Sedikit kecewa, mungkin. Tapi tetap tersenyum, mencoba menjaga harga diri.

   Dan Xion… langsung bangkit setelahnya. Mundur dengan sopan, lalu meninggalkan ruang tamu dengan alasan ingin istirahat.

   Kini, di dalam kamar, semuanya terasa hening.

   Tapi kepala Xion masih berisik. Ia memejamkan mata sebentar, mencoba meredam riuh pikirannya yang belum selesai dari siang tadi. Tapi justru makin bergejolak.

   Sampai akhirnya… Sebuah suara pelan terdengar.

   Klik.

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!