NovelToon NovelToon
Tangisan Di Malam Pertama

Tangisan Di Malam Pertama

Status: tamat
Genre:Beda Usia / Selingkuh / Cinta Terlarang / Tamat
Popularitas:15.9k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.


Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.


Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 31

Pagi itu, usai melaksanakan salat Subuh, Naia berjalan perlahan menyusuri jalan kecil di Desa Pulosari.

Udara pagi terasa begitu sejuk menusuk kulit, embun masih menempel di dedaunan dan aroma tanah basah berpadu dengan wangi kayu bakar dari dapur warga.

Ia merapatkan jaket hangatnya sambil tersenyum menyapa para warga yang sudah mulai beraktivitas.

Ada yang menyapu halaman, ada pula yang menuntun anak-anak kecil berangkat mengaji.

Suasana itu selalu membuat hati Naia tenang hangat, sederhana dan penuh kehidupan.

Dari kejauhan, ia melihat seorang gadis kecil mendorong gerobak berisi kue tradisional yang masih mengepul hangat. Aromanya menggoda sekali.

Naia yang memang pecinta jajanan pasar mendekat sambil tersenyum ramah.

“Dik, itu kue cucurnya masih hangat, ya?” tanyanya lembut.

Anak kecil itu mengangguk riang. “Masih hangat, Mbak. Baru digoreng sama ibu di rumah.”

Naia terkekeh pelan. “Wah, wangi sekali. Harganya berapaan, Dik?” katanya sambil berusaha jongkok untuk melihat isi gerobak, namun gerakannya terhenti karena perutnya yang besar sehingga membatasi pergerakannya.

Ia mengusap peluh di keningnya kandungan sembilan bulannya terasa semakin berat.

“Aduh, susah juga kalau mau jongkok dalam keadaan seperti ini,” gumamnya sambil tersenyum kecil.

Namun belum sempat si gadis kecil menjawab, tiba-tiba Naia memegangi perutnya kuat-kuat.

“Argh… Ya Allah, sakit…” serunya tertahan, nafasnya tersengal-sengal.

Keringat dingin mulai bercucuran membasahi pelipisnya. Orang-orang di sekitar yang tadinya sibuk dengan aktivitas masing-masing langsung panik dan berlari menghampiri.

“Naia! Mbak Naia kenapa?” teriak seorang ibu paruh baya yang sedang menjemur pakaian.

“Mbak Naia kayaknya mau lahiran!” ujar si gadis kecil dengan suara gemetar.

“Kata ibu, kalau perut ibu hamil tiba-tiba sakit, itu tandanya dedek bayinya mau keluar!” ujarnya polos.

Beberapa warga segera mencari bantuan. Ada yang memanggil bidan desa, ada pula yang berlari ke rumah Pak Damar untuk memberitahu kabar penting itu.

Naia menahan rasa sakit di perutnya, sambil berusaha tetap tenang. Dalam hatinya, ia berdzikir lirih.

“Ya Allah… tolonglah hamba-Mu ini. Selamatkan anak-anakku jangan biarkan mereka kenapa-kenapa,” cicitnya.

Ia berpegangan pada gerobak kecil itu agar tidak terjatuh, sementara gadis kecil berhijab pink itu memegang tangannya dengan mata berkaca-kaca.

“Mbak, sabar ya… bentar lagi pasti ada yang datang nolongin,” ucap si gadis polos itu dengan suara bergetar.

Naia menatapnya lembut di sela rasa sakitnya. “Makasih ya, Dik, kamu baik sekali,” bisiknya lirih.

Detik itu, pagi di Desa Pulosari yang biasanya tenang, mendadak berubah menjadi hiruk pikuk penuh kepanikan namun juga dipenuhi kepedulian dan kasih sayang warga kepada sosok juragan muda yang telah mereka cintai layaknya keluarga sendiri.

Beberapa menit kemudian, suasana di tepi jalan kecil Desa Pulosari semakin ramai. Teriakan warga yang panik membuat Damar, sang sopir pribadi sekaligus orang yang paling setia mendampingi Naia, berlari tergesa dari arah rumah besar juragan muda itu.

“Mbak Naia! Astaghfirullah… Mbak Naia!” serunya dengan napas terengah, begitu melihat Naia duduk di pinggir jalan sambil menahan perutnya yang semakin kencang.

Leni, sahabat sekaligus pendamping setia Naia selama di desa, juga datang berlari dari arah berlawanan.

Terlihat gurat wajahnya pucat pasi, matanya langsung berkaca-kaca begitu melihat sahabatnya itu meringis kesakitan.

“Naia! Ya Allah, kamu kenapa? Kontraksinya udah mulai, ya?” tanya Leni panik sambil berjongkok dan menggenggam tangan Naia erat-erat.

Naia hanya mengangguk pelan, wajahnya menegang menahan nyeri. “Leni… sakit… banget,” ucapnya lirih, berusaha tetap kuat.

Damar segera menunduk, suaranya serak menahan cemas. “Bu, ayo kita bawa ke bidan desa sekarang juga! Mobil sudah siap di depan jalan besar karena kalau langsung ke rumah sakit di kabupaten butuh waktu banyak takutnya Mbak Naia brojol di jalan.”

Beberapa warga membantu memapah Naia yang semakin sulit berdiri. Tubuhnya gemetar, nafasnya terputus-putus.

“Pelan-pelan, tarik napas dalam, ya. Inhale, exhale,” ucap Leni menenangkan, meski suaranya sendiri bergetar.

Gadis kecil penjual kue yang tadi menolong masih berdiri di samping mereka, menggenggam ujung hijabnya sambil menahan tangis.

“Mbak, semoga dedek bayinya sehat, ya…” katanya polos.

Naia menatap anak kecil itu sambil tersenyum lemah di tengah kesakitannya.

“Aamiin… makasih ya, adek cantik…”

Beberapa warga segera membantu membuka jalan. Damar dengan hati-hati mengangkat tubuh Naia ke dalam mobil.

“Leni, tolong dampingi beliau di belakang. Saya langsung tancap gas,” kata Damar tegas namun penuh kehati-hatian.

“Ya, Dam. Naia, tahan ya. Kita ke bidan Bu Ratna, sebentar lagi sampai,” ujar Leni sambil mengelus kepala sahabatnya.

Naia menggenggam tangan Leni kuat-kuat. “Len… kalau aku kenapa-kenapa tolong jaga

anak-anakku…” katanya lirih di sela tangis menahan sakit.

Leni langsung menggeleng dengan air matanya yang jatuh. “Jangan bicara begitu, Naia. Kamu kuat, kamu pasti selamat. Fokus napas, ya…”

Mobil melaju cepat di jalan desa yang mulai ramai oleh warga yang mendoakan. Dari kejauhan, suara azan Dhuha terdengar lirih, seolah menjadi pengiring langkah seorang ibu pejuang yang tengah berjuang antara sakit dan harapan antara hidup dan cinta untuk empat nyawa kecil yang akan segera lahir ke dunia.

Sesampainya di rumah Bidan Ratna, suasana langsung berubah tegang. Damar menurunkan Naia dengan hati-hati, sementara Leni tak berhenti menenangkan sahabatnya yang terus menggeliat menahan sakit. Air ketuban Naia sudah pecah menandakan waktu melahirkan telah tiba.

Namun kondisi Naia tidak seperti ibu hamil biasa. Ia tengah mengandung empat anak kembar, dan hal itu membuat para bidan harus bekerja ekstra hati-hati.

“Ya Allah, semoga Engkau mudahkan proses ini,” ucap Bidan Ratna lirih sambil menatap wajah pucat Naia yang mulai kehilangan tenaga.

“Bidan Ratna, tekanan darahnya naik turun,” lapor salah satu bidan muda dengan wajah cemas.

Naia terbaring di ranjang bersalin sederhana itu, menggenggam kuat tangan Leni. Napasnya ngos-ngosan, wajahnya basah oleh peluh, tapi di matanya masih terpancar keteguhan.

“Ya Allah... kuatkan aku, kuatkan anak-anakku…” lirihnya di antara dzikir yang terus ia ulang dengan sangat pelan.

Bidan Ratna mengelus lembut bahunya. “Naia, dengarkan saya. Kamu luar biasa kuat. Tarik napas dalam, hembuskan perlahan. Bayimu sudah siap melihat dunia.”

Tangisan kecil terdengar di luar kamar bersalin. Warga desa yang berkumpul di halaman ikut menundukkan kepala, memanjatkan doa. Mereka semua tahu, perjuangan Naia bukan perjuangan biasa.

Beberapa menit kemudian, Bu Jannah bidan senior yang dikenal berpengalaman dalam menangani kelahiran sulit datang tergesa dari arah utara desa.

“Bagaimana kondisinya, Ratna?” tanyanya sambil mengenakan sarung tangan steril.

“Air ketuban sudah pecah, Bu. Kontraksi cepat sekali. Tapi anak pertama sudah hampir keluar.”

Naia menggertakkan gigi, menahan rasa sakit yang luar biasa. Damar berdiri di luar ruangan dengan wajah pucat pasi, menatap pintu yang tertutup sambil terus berdoa dalam hati.

Damar berdiri di luar ruangan bersalin dengan tangan yang terus menggenggam tasbih kecil di sakunya. Wajahnya pucat, matanya tak lepas dari pintu kayu yang tertutup rapat. Dari dalam, terdengar suara teriakan Naia menahan sakit, bercampur dengan suara bidan-bidan yang memberi arahan.

Ia menundukkan kepala, menahan napas yang berat, lalu berdoa dengan suara lirih yang bergetar.

“Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang… lindungilah Bu Naia.

Kuatkan tubuh dan hatinya, dilapangkan jalan kelahirannya, dan selamatkan ia bersama anak-anak yang sedang berjuang lahir ke dunia. Jangan biarkan satupun dari mereka dalam bahaya, ya Rabb.

Kami semua berserah pada-Mu…”

Di sampingnya, Bu Halimah yang tak lain adalah kakak kandungnya mengusap dadanya pelan sambil ikut menengadahkan tangannya ke atas.

Suaranya lembut namun tegas, penuh keikhlasan seorang perempuan yang sudah sering menyaksikan kehidupan dan perjuangan Naia selama hamil hingga proses melahirkan.

“Ya Allah, Engkau yang menciptakan rahim dan menumbuhkan kehidupan di dalamnya. Engkau pula yang berkuasa atas segala urusan di langit dan di bumi.

Selamatkanlah ibu dan anak-anak ini dari segala marabahaya. Jadikan kelahiran ini penuh berkah, lahir dengan tangis bahagia, bukan dengan duka.

Kabulkan doa kami, ya Rahman, ya Rahim…”

Damar mengangguk lirih, menahan air mata yang hampir jatuh.

“Mbak Naia itu orang baik, kakak… dia nggak pantas menderita begini,” ucapnya pelan.

Bu Halimah menatap adiknya dengan pandangan teduh. “Orang baik memang diuji dengan cara yang tak biasa, Dam. Tapi percayalah setiap air mata perempuan yang berjuang melahirkan, akan dibalas oleh Allah dengan cinta dan rahmat yang tak terkira.”

Mereka berdua kembali menunduk, berdzikir pelan. Suara mereka tenggelam di antara lantunan doa warga yang menunggu di luar rumah bidan.

Dan di sela kesunyian itu tangisan bayi pertama akhirnya terdengar, membuat mereka spontan meneteskan air mata syukur.

“Alhamdulillah…” bisik Damar lirih, suaranya serak. “Doa kita didengar, Kak.”

Lalu, dari dalam kamar bersalin terdengar tangisan pertama yang memecah keheningan. Tangisan bayi perempuan yang kuat dan nyaring.

“Alhamdulillah anak pertama lahir normal!” seru Bidan Ratna dengan suara bergetar bahagia.

Leni langsung menangis haru. “Naia, anakmu perempuan, cantik sekali… Lihat, dia mirip kamu matanya sipit bola matanya kayak bule loh.”

Naia hanya bisa tersenyum lemah, air mata mengalir di pipinya. “Namanya Aydena Zahra Dirgantara,” ucapnya lirih.

“Semoga dia jadi cahaya dan pelindung untuk adik-adiknya nanti…”

Namun perjuangan belum usai. Naia masih harus melahirkan tiga bayi lagi. Tubuhnya gemetar, tapi matanya tetap terpejam sambil terus berzikir.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” bisiknya, seiring suara tangisan bayi kedua yang menyusul keluar.

“Kayden Azfar Dirgantara,” ucap Leni dengan suara serak menahan tangis bahagia.

“Laki-laki, Naia. Sehat, kuat dan wajahnya fotocopy kamu loh nggak ada bedanya dengan kamu,” ujarnya.

Beberapa menit kemudian, lahirlah bayi ketiga dan keempat dua putra kembar identik yang membuat semua orang di ruang itu meneteskan air mata haru.

“Zayden Arsya Dirgantara dan Rayden Athar Dirgantara,” kata Bu Halimah dengan senyum penuh kebanggaan.

“Keempatnya lahir selamat. Dan ibunya… Subhanallah, luar biasa kuat.” pujinya bidan Ratna.

Suara azan pun dikumandangkan lembut di telinga bayi-bayi mungil itu. Tangisan mereka bersahut-sahutan, seolah menjadi musik kehidupan baru di rumah kecil itu.

Naia menatap keempat anaknya dengan mata yang mulai berat. “Terima kasih, ya Allah… Engkau titipkan empat nyawa ini padaku…”

Leni menggenggam tangannya erat. “Kamu hebat, Naia. Kamu bukan hanya seorang ibu kamu adalah pejuang.”

Di luar rumah bidan, matahari pagi mulai terbit perlahan. Cahaya keemasan menyusup melalui jendela kayu, menyinari wajah lelah Naia yang tersenyum tenang.

Hari itu, Desa Pulosari menyaksikan keajaiban lahirnya empat permata kecil keluarga Dirgantara, yang datang membawa tangis, harapan, dan cinta tanpa batas dari seorang ibu bernama Naia Seora.

Meskipun tanpa didampingi oleh suaminya tapi, Naia cukup sabar dan ikhlas melahirkan keempat anak-anaknya.

Sedangkan di tempat lain…

“A’a, cepat dong! Jangan lelet bawa mobilnya, aku pengin lihat anak kembarnya Naia!” seru Galuh dengan wajah cemas. Tangannya terus menggenggam ujung jilbabnya, tak sabar menunggu mereka tiba di rumah bidan.

Rasyid melirik sekilas ke arah istrinya lalu kembali fokus ke jalan. “Sabar, Galuh. Aku udah nyetir secepat ini. Kalau lebih ngebut lagi, malah bisa bahaya,” ujarnya berusaha menenangkan.

“Tapi A’a, aku takut terlambat. Aku pengin jadi orang pertama yang melihat bayi mereka,” ucap Galuh, suaranya bergetar antara harap dan panik.

Rasyid hanya tersenyum tipis. “Insya Allah kita sempat. Tenang aja.”

Namun, sebelum kata-kata itu sempat membuat Galuh lega, dari arah berlawanan tiba-tiba muncul sebuah mobil bak terbuka yang melaju dengan kecepatan tinggi, oleng, dan mengambil jalur mereka.

Rasyid spontan membelalakkan mata. “Ya Allah! Galuh, pegangan!”

“Argh—A’a!!” jerit Galuh ketakutan.

Brak!!

1
sunshine wings
Yaaa.. 💪💪💪💪💪
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak 🙏🏻🥰😚
total 1 replies
sunshine wings
❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
🥹🥹🥹🥹🥹
sunshine wings
Kan Lampard.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Yes benar sekali.. Syabas anak buahnya Atharva.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻
sunshine wings
Akan terbongkar juga akhirnya..
Ketahuan kan.. ❤️❤️❤️❤️❤️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: coming soon terbongkarnya kakak 🤭😂
total 1 replies
sunshine wings
Nah.. Nah kaaannn.. Rahsia gak sepenuhnya rahsia..😍😍😍😍😍
sunshine wings
Ya Atharva, instinct mu memang betul.. ❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Ikatan darah itu kan kuat.. ❤️❤️❤️❤️❤️
Uba Muhammad Al-varo
apa pun keadaannya semoga zayden baik' saja.
Uba Muhammad Al-varo
kok bisa zayden kecelakaan,ada apa ini atau 3 saudaranya zayden pada kemana 🤔🤔🤔
sunshine wings
Betul rasanya ya kok aku yg pusing sih author.. ✌️✌️✌️✌️✌️❤️❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Oalaaa.. Kembarannya daddy Atharva rupanya ya.. 🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
Apa kenbarannya mommy Naia ato daddy Atharva??? 🤔🤔🤔🤔🤔
sunshine wings
Uncle ini.. Siapa ya?🤔🤔🤔🤔🤔
Uba Muhammad Al-varo
awal yang baik pertemuan kembar sama Artharva,ayo tuan cepat selidiki dan hasil akhirnya kau akan mendapatkan kebahagiaan tuan
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Amin ya rabbal alamin 🤲🏻🙏🏻
total 1 replies
sunshine wings
Tuan Muda Atharva kok mau dilawan.. Lo yg hancur Claudia.. 😏😏😏😏😏
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: betul-betul kakak 🤣
total 1 replies
sunshine wings
Ya Allah perkenankanlah doa²nya Tuan Muda Arthava.. 🤲🏼🤲🏼🤲🏼🤲🏼❤️
sunshine wings
Sabar ya Naia.. ❤️❤️❤️❤️❤️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: semoga sabar berbuah manis
total 1 replies
sunshine wings
Alhamdulillah ya Allah..🤲🏼🤲🏼🤲🏼🤲🏼🤲🏼❤️❤️❤️❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!