NovelToon NovelToon
Rumah Hantu Batavia

Rumah Hantu Batavia

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Action / Misteri
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: J Star

Dion hanya ingin menuntaskan misinya di Rumah Hantu Batavia, tapi malam pertamanya di penginapan tua itu berubah menjadi teror yang nyata. Keranda tua terparkir di depan pintu, suara langkah basah menggema di lorong, keran bocor, pintu bergetar, dan bayangan aneh mengintai dari balik celah.

Saat ponselnya akhirnya tersambung, suara pemilik penginapan tidak kunjung menjawab, hanya dengkuran berat dan derit pintu yang menyeret ketakutan lebih dalam. Sebuah pesan misterius muncul, “Hantu-hantu yang terbangun oleh panggilan tengah malam, mereka telah menemukanmu.”

Kini Dion hanya bisa bersembunyi, menggenggam golok dan menahan napas, sementara langkah-langkah menyeramkan mendekat dan suara berat itu memanggil namanya.

”Dion...”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Wajah Tak Dikenal

“Delapan?”

“Jangan bercanda!”

Ucapan Rian membuat jantung semua orang berdetak kencang, cahaya di dalam skenario Pembunuhan Tengah Malam begitu redup. Kelompok itu saling berpandangan, tubuh mereka kaku bagai membeku.

“Di mana orang kedelapan?”

“Jangan panik!” perintah Zeno sambil mengeluarkan ponselnya. Namun saat ia hendak menyalakannya, suara rantai dari ujung koridor tiba-tiba berbunyi lebih cepat.

“Seseorang datang!”

Tepat ketika Zeno membuka kunci ponselnya, sosok monster berlumuran darah berbelok di tikungan. Waktu kemunculannya seolah telah diperhitungkan, seakan ia sudah mengetahui keberadaan mereka.

“Apa itu?!”

Di balik jubah dokter yang berlumuran darah, tampak rantai panjang yang menyeret dirinya sendiri di sepanjang lantai. Kepala monster itu menunduk, sementara palu besar di tangannya meneteskan darah segar. Semua orang mulai panik, hanya Zeno yang berusaha tetap tenang. Mengabaikan peringatan Dion sebelumnya, ia menyalakan senter ponselnya di dalam Rumah Hantu itu.

Cahaya menembus koridor panjang, menyinari tubuh mengerikan sang monster. Pandangan itu segera menarik perhatian makhluk tersebut, perlahan ia memutar kepala, menatap mereka dari balik tirai rambut panjang yang kusut.

Dalam sekejap, bulu kuduk para mahasiswa kedokteran itu berdiri. Monster itu memiliki wajah yang dijahit dari potongan-potongan wajah pria berbeda. Jahitan pada topeng daging itu terlihat jelas meski dari kejauhan.

Makhluk itu tampaknya sangat sensitif terhadap cahaya, begitu sinar menyorotinya, ia meraung marah, lalu menyerbu ke arah koridor sambil mengayunkan palu dengan liar di udara.

Rantai panjang itu menghantam dinding, sementara langkah kaki beratnya menggema di lorong sempit. Saat monster itu semakin dekat, tidak diketahui siapa yang pertama kali bergerak, namun kepanikan menyebar bagaikan domino. Seketika, kelompok mahasiswa itu tercerai-berai menyelamatkan diri.

Ada yang bersembunyi di kamar terdekat, sebagian berlari menuruni tangga menuju lantai dua, dan sisanya langsung melarikan diri ke lantai satu.

Kemunculan monster yang mendadak membuat semua orang kehilangan kendali. Derap langkah mengejar dan dentingan rantai yang terus memburu membuat mereka dilanda teror. Dalam menghadapi ancaman mematikan, otak manusia hanya punya dua pilihan, melawan atau melarikan diri. Namun ketika sadar bahwa perlawanan sia-sia, naluri mereka serentak memilih untuk kabur.

Sinta yang berdiri paling dekat dengan tangga, merasakan tubuhnya kaku saat monster itu menyerbu. Pria di sampingnya tiba-tiba berbalik arah, berlari menuruni tangga. Tanpa sempat berpikir, otak Sinta yang diliputi ketakutan langsung memaksanya mengejar pria itu. Nalurinya hanya berbisik satu hal, yaitu menjauh dari monster itu.

Ponsel yang tadi digunakan Zeno tergeletak tidak berguna di sudut, terlupakan. Ketenangan kelompok itu hancur seketika, dan jeritan panik memenuhi koridor, menyerupai kawanan ayam yang tercerai-berai.

Saat Sinta mengikuti langkah pria itu ke lantai satu, jeritan dari lantai tiga masih menggema. Lalu suara rantai terdengar lagi, kali ini dengan irama berat menuruni anak tangga, dan monster itu turun mengejar mereka.

Sinta mempercepat langkahnya, sama sekali tidak berani menoleh ke belakang. Ia terus mendekat pada pria di depannya, takut ditinggalkan sendirian. Musik menyeramkan bercampur dengan jeritan rekan-rekannya membuat rasa takut semakin dalam. Kengerian itu justru menumbuhkan kebutuhan akan kebersamaan.

Ia mengejar bayangan di depannya seolah hidupnya bergantung padanya. Bayangan itu menjadi satu-satunya sandaran di tengah kegelapan Rumah Hantu.

’Apa pun yang terjadi, setidaknya kita bisa saling menjaga,’ pikirnya. Ia tidak sanggup membayangkan bila ditinggalkan seorang diri di tempat mengerikan ini. Untuk mencegahnya, ia berlari lebih cepat, bahkan berusaha meraih baju orang di depannya.

Namun suara rantai yang semakin mendekat membuat keputusannya bulat, ia harus bersembunyi. Bersama pria itu, ia masuk ke dalam sebuah lemari. Begitu pintunya tertutup rapat, seolah mereka berpindah ke dunia lain, dunia yang dipenuhi kegelapan pekat dan keheningan. Satu-satunya hal yang menenangkan hati Sinta, setidaknya memiliki seorang teman bersamanya.

Riasan di wajahnya telah luntur oleh keringat, ia menahan napas, lalu mendekat ke celah pintu untuk mengintip ke luar.

Di luar, rantai itu berkilau samar dalam kegelapan. Sosok dokter mengerikan itu berhenti tepat di depan pintu, lalu mengangkat palu dan mengetuknya dengan suara berat. Setelah itu, ia melangkah masuk ke dalam ruangan.

Jantung Sinta berdegup tidak terkendali, seolah hendak meledak. Ia menggigit jarinya, meringkuk semakin dalam ke sudut lemari, sambil berdoa lirih dalam hati, ’Tolong jangan mendekat... tolong jangan mendekat...’

Doanya terkabul, monster itu hanya menoleh sekilas, lalu beranjak pergi tanpa membuka pintu lemari.

Sinta menghela napas panjang, bergetar namun lega, dan perlahan mengguncang lengan orang di sampingnya. “Monster itu tampaknya tidak melihat kita, mari tunggu sebentar lagi, kemudian menyusul yang lain.”

Hanya suara Sinta yang bergema di dalam lemari sempit itu, menunggu respons, tetapi tidak ada jawaban. Dahinya berkerut, firasat buruk mulai mengusik pikirannya, dan perlahan ia menoleh untuk melihat sosok pria di sampingnya.

Pria yang bersembunyi bersamanya memiliki perawakan biasa, tidak terlalu kurus dan tidak pula gemuk.

’Jelas bukan Leon atau Rian, Zeno jauh lebih tinggi, dan tubuh Julian jauh lebih kecil.’ Dengan suara bergetar, Sinta memanggil pelan, “Vano?”

Tetap saja tidak ada jawaban, hatinya mencelos oleh ketegangan. Mendadak ia teringat ucapan Rian sebelumnya, ’Ada anggota kedelapan di antara kita…’

Darahnya serasa membeku, dan napasnya tercekat. Dengan tangan gemetar, Sinta mengeluarkan ponsel dari saku. Perlahan ia menyalakan layar dan memutarnya ke samping. Cahaya dingin berkedip, menerangi ruang sempit itu.

Yang terlihat membuat tubuhnya lumpuh seketika, wajah pucat pasi, seputih mayat, menatap lurus ke arahnya, dan wajah itu sama sekali tidak ia kenal.

Ponselnya terlepas dari genggaman, dua detik keheningan mutlak terasa panjang bagai selamanya. Lalu jeritan melengking memecah ruang sempit itu, menembus koridor dengan suara memekakkan telinga!

Sinta panik, berusaha mundur untuk melarikan diri, tetapi lemari itu terlalu sempit. Dalam keputusasaan, belakang kepalanya membentur dinding kayu dengan keras. Entah karena sakit atau syok yang teramat besar, tubuhnya melemas, lalu ambruk di lantai lemari. Kepalanya terkulai ke samping, membuatnya tampak seolah-olah hampir tidak bernyawa.

“Bukankah aku sudah memperingatkan kalian untuk tidak menggunakan ponsel di dalam Rumah Hantu-ku?”

Suara Dion terdengar dingin, mendorong pintu lemari hingga terbuka, lalu mengambil ponsel yang terjatuh dan menyelipkannya kembali ke saku Sinta. Setelah itu, ia mengeluarkan ponselnya sendiri dan segera menghubungi seseorang. “Dinda, untuk sementara jauhkan mereka dari lantai satu.”

Usai memberi perintah, Dion membungkuk, mengangkat tubuh Sinta dengan hati-hati, lalu membawanya menuju kamar mandi. Ia membuka pintu jebakan tersembunyi di dalam ruangan itu dan melangkah masuk ke lorong pekerja, meninggalkan skenario menyeramkan di belakang.

’Jelas kita kekurangan tenaga di lapangan,’ pikirnya dengan dingin.

Setelah meletakkan selembar handuk hangat di dahi Sinta untuk menurunkan syoknya, Dion kembali ke jalur utama skenario. ’Satu korban telah tumbang, enam orang lainnya masih berkeliaran.’

Ia menutup pintu lorong dengan rapat, kemudian kembali menghubungi Dinda melalui ponsel. “Dinda, di mana posisimu sekarang?”

“Ada seseorang yang bersembunyi di lantai dua, kamar pertama di sebelah kiri tangga,” jawab Dinda tanpa ragu. “Aku akan memaksanya keluar, lalu Mas bisa menyergapnya dengan kejutan dari pintu keluar kanan.”

Dion menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada dingin, “Dinda, kamu sudah benar-benar menakutkan.”

Suara Dinda terdengar tenang namun getir, “Mas, tidak berhak mengatakan itu, semua ini terjadi karenamu.”

1
Gita
Membuat penasaran dan menegangkan.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!