Malam itu, suasana rumah Kinan begitu mencekam. Ayah tirinya, Dody, menariknya keluar dari kamar. Kinan meronta memanggil ibunya, berharap wanita itu mau membelanya.
Namun, sang ibu hanya berdiri di sudut ruangan, menatap tanpa ekspresi, seolah tidak ada yang bisa ia lakukan.
"Ibu... tolong, Bu!" Suara Kinan serak memohon, air matanya berderai tanpa henti.
la menatap ibunya dengan tatapan penuh harap, namun ibunya tetap diam, memalingkan wajah.
"Berhenti meronta, Kinan!" bentak ayah tirinya sambil mencengkeram tangan nya lebih keras, menyeretnya keluar menuju mobil tua yang menunggu di halaman...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Sore harinya, Dimas yang baru pulang sekolah langsung menuju rumah sakit untuk menjenguk ibunya. Begitu memasuki kamar, ia melihat sosok Kinan. Seketika matanya membesar, dan tanpa ragu ia berlari memeluk kakaknya.
"Mbak Kinan!" serunya, suaranya bergetar menahan tangis.
Ia memeluk Kinan erat, seolah takut kehilangan lagi. Tangis Dimas pecah di bahu kakaknya.
"Kenapa Mbak Kinan tega pergi ninggalin Ibu dan Dimas di sini? Dimas kangen banget, Mbak. Ibu juga selalu nangis mikirin Mbak Kinan," ucapnya dengan isak tangis.
Hati Kinan terasa perih mendengar kata-kata adiknya. Dengan lembut, ia mengelus punggung Dimas, berusaha menenangkan tangis nya.
"Maafkan Mbak, Dimas. Mbak nggak pernah bermaksud ninggalin kalian. Tapi sekarang Mbak sudah kembali, dan Mbak janji nggak akan ninggalin kalian lagi," katanya dengan penuh kesungguhan.
Dimas sedikit tenang, meski air matanya masih menetes. Ia menatap kakaknya dengan mata merah dan berkata,
"Mbak nggak bohong, kan? Dimas nggak mau Mbak pergi lagi."
Kinan tersenyum lembut dan mengangguk. "Mbak nggak akan pergi lagi. Kita akan sama-sama menjaga Ibu dan memulai hidup yang lebih baik."
Kata-kata Kinan membuat Dimas sedikit lega, dan ia memeluk kakaknya lagi, erat, seakan tak ingin melepaskannya.
Di sudut kamar, Bu Yati hanya bisa tersenyum tipis, meskipun matanya juga berkaca-kaca melihat kebersamaan kedua anaknya. la merasa ada harapan baru di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Kinan menatap Dimas dengan lembut, lalu berkata, "Dimas, kamu mau nggak ikut Mbak Kinan ke kota bersama Ibu? Kita pergi dari kampung ini, tinggalin Bapak. Mbak nggak mau kalian terus disiksa sama Bapak. Lebih baik kita mulai hidup baru di kota."
Dimas terdiam, pandangannya bergantian menatap Kinan dan ibunya. Ada kebingungan di wajahnya. la mengalihkan pandangan ke arah Bu Yati, mencari kepastian.
Bu Yati hanya tersenyum kecil dan berkata lembut, "Ibu menurut sama Dimas. Kalau Dimas mau, Ibu juga setuju."
Mendengar itu, Dimas akhirnya tersenyum dan mengangguk ke arah Kinan.
"Dimas setuju, Mbak. Dimas akan ikut ke mana saja Mbak dan Ibu pergi," katanya dengan suara penuh keyakinan.
Kinan merasa lega dan bahagia mendengar jawaban Dimas. Air mata haru menetes di pipinya. Ia langsung memeluk Dimas erat-erat, lalu menatap ibunya.
"Terima kasih, Dimas. Terima kasih, Ibu. Kita akan memulai hidup baru yang lebih baik di kota nanti. Mbak janji, semuanya akan lebih baik," ucapnya dengan suara bergetar penuh emosi.
Di dalam pelukan itu, mereka bertiga merasa seolah beban yang selama ini menekan dada mereka perlahan menghilang. Ada harapan baru yang menyala, membawa keyakinan bahwa kebahagiaan itu mungkin, sejauh mereka saling mendukung dan mencintai.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Malamnya, Kinan mengirim pesan kepada Aryo, hanya sang suami lah yang sekarang bisa menjadi tempatnya berbagi cerita dan meminta bantuan. Dalam pesannya, Kinan menjelaskan rencananya untuk membawa ibu dan adiknya, Dimas, yang masih SMP, ikut ke kota.
"Mas Aryo, boleh kah aku mengajak Ibu dan adikku ke kota? Mereka nggak bisa terus tinggal di sini, Mas. Mereka sering di siksa Bapak tiriku. Dulu aku juga sering mengalami hal yang sama. Aku nggak tega kalau mereka terus hidup dalam kondisi seperti ini," tulis Kinan.
Beberapa menit kemudian, Aryo membalas pesannya penuh dukungan.
"Aku setuju, Kinan. Kamu sudah membuat keputusan yang tepat. Aku akan bantu sebisa mungkin. Aku akan siapkan rumah untuk mereka. Adikmu juga akan aku carikan sekolah terbaik di kota. Jangan khawatir, aku akan membantumu, " balas Aryo.
Mata Kinan berkaca-kaca membaca pesan itu. Ia merasa lega dan bersyukur ada Aryo yang begitu peduli pada dirinya dan keluarganya. Dengan penuh rasa syukur, Kinan membalas,
"Terima kasih, Mas Aryo. Aku nggak tahu harus bilang apa. Aku benar-benar berterima kasih."
Aryo kemudian bertanya,
"Kapan kamu kembali ke kota? Aku merindukanmu, Kinan."
Kinan tersenyum tipis, membayangkan raut wajah Aryo saat menulis pesan itu.
"Menunggu Ibu sembuh dulu, Mas. Setelah itu, Aku akan kembali ke kota bersama Ibu dan Dimas. Sekalian Kinan akan mengurus kepindahan sekolah Dimas."
"Baik, kalau begitu hati-hati. Aku kemarin mendapat laporan dari Joni, Kalau ada laki-laki yang menyerang mu di rumah sakit. Kalau ada apa-apa, segera Panggil Bodyguard dan kabari aku, " balas Aryo, penuh kecemasan.
Kinan merasa hatinya sedikit lebih ringan malam itu. Dengan dukungan Aryo, ia yakin mereka bisa memulai kehidupan baru yang lebih baik di kota. Langkah ini memang tidak mudah, tapi Kinan tahu ia tidak berjalan sendirian.
...🌻🌻🌻🌻🌻...
Setelah tiga hari di rawat, kondisi Ibu Yati sudah membaik, dan dokter mengizinkannya pulang.
Hari ini, Kinan mengantar ibunya pulang ke rumah untuk mengambil barang-barang yang akan mereka bawa ke kota. Dimas yang sedang berada di sekolah, akan di jemput setelah semuanya siap.
Selama Ibu Yati di rawat, Pak Dodi sama sekali tidak menjenguk lagi, bahkan terkesan tidak peduli. Hal ini membuat Kinan semakin mantap untuk membawa ibunya dan Dimas pergi.
Sesampainya di rumah, Kinan dan Ibu Yati segera mulai membereskan barang-barang. Mereka mengambil pakaian dan dokumen penting saja. Kinan bekerja cepat dan penuh semangat, sementara ibunya terlihat agak gelisah, sering kali melirik ke pintu, seolah takut sesuatu akan terjadi.
Ketakutannya terbukti. Tiba-tiba, suara pintu di banting keras terdengar. Pak Dodi muncul dengan wajah penuh amarah.
"Apa yang kalian lakukan?!" bentaknya dengan suara menggelegar, membuat suasana menjadi tegang.
Kinan hanya melirik sekilas, tidak menghiraukannya. Ia tetap fokus membereskan barang-barang ibunya, tidak ingin memberi ruang untuk argumen yang tidak ada gunanya.
Melihat di abaikan, Pak Dodi semakin marah. Ia menghampiri Ibu Yati, merebut tas yang sedang di pegangnya, dan melemparnya ke lantai dengan kasar.
"Kalian berpikir bisa pergi begitu saja dari sini!" serunya dengan nada penuh ancaman.
Ibu Yati terkejut dan mundur ketakutan, sementara Kinan langsung berdiri di depan ibunya, melindunginya.
"Cukup Pak!!" ujar Kinan dengan suara lantang dan tegas.
"Kami tidak akan tinggal di sini lagi. Kami berhak hidup tanpa di siksa dan di tindas. Jadi, sebaiknya Bapak biarkan kami pergi!"
Pak Dodi tertawa sinis, mendekat dengan mata menyala.
"Kau pikir karena sudah memiliki sedikit uang, kamu bisa melawanku, hah?!"
Namun sebelum ia sempat mendekat lebih jauh, langkah cepat terdengar dari luar. Dua bodyguard yang bertugas menjaga Kinan, muncul di ambang pintu. Melihat mereka, Pak Dodi langsung terdiam meskipun wajahnya masih di penuhi amarah.
"Jika Anda menyentuh mereka lagi, kami tidak akan tinggal diam," ujar salah satu bodyguard dengan nada dingin.
Pak Dodi hanya bisa menggerutu, giginya terkatup rapat, Ia kemudian menarik badan Kinan dan berusaha melukainya. Lalu, kedua Bodyguard itu pun dengan cepat menggagalkan aksi Pak Dodi, saat dia mencoba untuk menyerang Kinan..
tunggu klnjutannya,klw bisa up bnyak ya thor
lanjutkan kk..bgus crtanya ini