Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
gerbang desa mati
Hampir enam jam telah berlalu sejak mereka meninggalkan rumah Danu. Mobil Bima melaju membelah jalur pegunungan yang sepi, dengan pohon-pohon lebat mengapit sisi kanan-kiri jalan. Sesekali suara burung terdengar dari kejauhan, tapi selebihnya hening. Jalanan mulai menanjak, dan kabut tipis perlahan-lahan merambat turun, menggantung di antara pepohonan.
Di dalam mobil, semua mulai terlihat lelah. Galang sesekali menguap, sementara Danu hanya diam sambil memelototi layar ponselnya yang mulai kehilangan sinyal. Naya yang dari tadi tampak terus fokus pada jalan, tiba-tiba berseru:
"Bim, berhenti!"
Refleks, Bima menginjak rem. Mobil berhenti mendadak, membuat semua sedikit terhentak ke depan.
Bima langsung menoleh, panik, "Ada apa sih, Nay?!"
Naya menunjuk keluar kaca depan, jari telunjuknya sedikit gemetar. "Itu... tanjakan terakhir. Gue inget banget. Dan itu..." matanya menatap tajam ke arah sebuah simpang kecil yang nyaris tertutup semak dan pepohonan lebat. "Itu persimpangan yang kita lewatin dulu. Jalan kecil itu... waktu itu gue pikir bukan jalur utama, tapi ternyata justru dari situ kita mulai nyasar."
Galang ikut maju, mencondongkan tubuh ke tengah, menatap jalan yang ditunjuk Naya. Bima juga menatap ke arah jalan itu. Jalan tanah bercampur batu, hanya selebar satu mobil, dengan semak tinggi di kiri-kanannya. Kabut di ujung jalan itu membuatnya tampak seperti lorong samar menuju tempat lain.
Dari belakang, terdengar suara mobil papa Danu yang ikut berhenti. Danu menarik napas panjang, lalu berkata. "Kita turun dulu. Sekalian diskusikan dengan Papa."
Tanpa banyak bicara, mereka membuka pintu dan melangkah keluar. Udara sejuk khas perhutanan langsung menyapa wajah mereka. Kabut tipis yang menggantung membuat suasana terasa lebih hening dan khidmat. Tak lama, Papa Danu turun duluan, diikuti Mama Danu dan Nadia yang segera menghampiri dengan langkah cepat.
"Ada apa? Kenapa berhenti mendadak? Mobil kalian rusak?" tanya Papa Danu dengan nada khawatir, matanya menatap Bima dan Danu bergantian.
Danu segera menggeleng. "Nggak, Paa. Mobilnya nggak kenapa-kenapa. Tapi kayaknya kita harus hati-hati di titik ini. Naya tadi ingat sesuatu."
Naya maju setengah langkah, menunjuk ke arah tanjakan yang ada di depan. "Itu tanjakan terakhir yang Naya inget sebelum Naya dan Bima tersesat waktu ke sini. Setelah itu kita muter-muter nggak jelas, kayak jalanannya berubah-ubah."
Bima ikut menambahkan, "Dan jalan itu, yang kecil di sana, kayaknya jadi titik yang bikin kami kehilangan arah. Makanya kami pikir, mending diskusi dulu sebelum mutusin lewat situ."
Mama Danu yang sejak tadi diam akhirnya bicara. "Kalau begitu, kita istirahat dulu saja. Sudah hampir siang juga. Kita makan dulu, sambil pikirin langkah selanjutnya."
Semua sepakat. Untungnya tak jauh dari sana, di sisi kanan jalan, ada batang pohon tumbang yang cukup besar. Tempat itu cukup lapang dan sedikit terbuka dari kabut. Mereka pun bergotong royong membawa bekal makan siang dari bagasi mobil Papa Danu. Ada nasi kepal abon, roti lapis isi telur, dan beberapa botol air mineral. Mama Danu bahkan membawa kotak berisi aneka buah potong dan camilan.
Galang dan Bima mengatur posisi duduk di atas batang kayu, sambil menggelar alas kain seadanya. Naya membantu Nadia membuka wadah makanan, sementara Danu dan papanya membawa termos kecil berisi teh manis hangat.
Suasana makan siang itu terasa sederhana, tapi hangat. Di tengah ketegangan yang mulai menyelimuti, makanan memberi jeda yang nyaman. Mereka makan dalam diam beberapa menit, masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
"Tempat ini... tenang ya," gumam Nadia pelan, sambil memandang kabut yang menggantung seperti tirai halus.
"Kadang yang tenang itu justru nyimpan banyak rahasia," jawab Naya lirih, yang hanya terdengar oleh Danu di sebelahnya.
"Yang penting kita saling jaga," sahut Bima memecah keheningan. "Kalau nanti kita lewat jalan itu, kita harus pastikan nggak ada yang tertinggal. Jangan percaya sama suara atau apapun yang aneh. Fokus."
"Setuju," Danu mengangguk. "Dan satu lagi, kalau ada yang merasa aneh... langsung bilang."
Semua mengangguk. Bahkan Papa dan Mama Danu menyimak dengan serius, menyadari bahwa perjalanan ini tidak biasa.
Setelah makan siang usai, mereka beres-beres. Sisa makanan dibuang di kantong plastik yang dibawa kembali ke mobil. Galang sempat menepuk batang pohon itu pelan sebelum berdiri. Seolah mengucapkan terima kasih untuk tempat istirahat singkat yang diberikannya.
Dan kini, hanya satu keputusan tersisa, masuk ke persimpangan kecil itu, menuju Desa Pagarjati dan menghadapi apa pun yang menunggu di sana.
***
Singkat cerita, sekitar satu jam setelah mereka melanjutkan perjalanan dari tempat istirahat tadi, suasana mulai berubah. Jalan beraspal perlahan menyempit, berubah menjadi jalur berbatu yang hanya cukup dilalui satu mobil. Pepohonan semakin rapat, menciptakan lorong alami yang gelap meski hari masih siang. Kabut tipis kembali turun, seolah menyambut mereka memasuki wilayah yang lebih dalam dari hutan.
Hingga akhirnya, mobil Bima yang berada di depan berhenti. Danu yang duduk di belakang bersama Galang langsung mengenali tempat itu.
"Ini tempatnya," ujar Danu cepat, matanya menyapu jalur tanah kecil yang menanjak ke arah hutan. "Mobil nggak bisa lewat lebih jauh dari sini."
Bima memarkirkan mobil di sisi jalan berumput, diikuti oleh mobil Papa Danu yang berhenti tak jauh di belakangnya. Satu per satu, mereka semua turun.
Mama Danu melirik sekeliling dengan raut ragu. Suasana memang tidak bersahabat, hening, sepi, dan dipenuhi suara serangga hutan yang menggema di kejauhan. Dengan tangan terlipat di dada, Mama menatap Danu serius.
"Danu," panggilnya pelan. "Kamu yakin ini jalannya? Kenapa kita sampai di tengah hutan seperti ini? Kamu yakin... desa itu benar-benar ada di balik sini?"
Danu mengangguk cepat, matanya penuh keyakinan. "Iya, Maa. Danu yakin. Pagarjati ada di balik hutan ini. Masih harus jalan kaki beberapa kilo. Tapi tempatnya benar-benar ada. Benar, kan, Lang? Bim? Nay?"
Galang, yang berdiri di sebelahnya, segera mengangguk mantap. "Iya, Tant. Galang masih inget kok, waktu pertama kali ke sini dan memang uni jalurnya. Kita bahkan sempat lihat semacam bekas batu gapura kecil sebelum masuk ke desa."
Namun, Naya tampak ragu. Ia menatap jalur setapak di depan mereka, lalu menoleh ke Bima.
"Nu," katanya, nada suaranya pelan tapi tegas. "Gue nggak tahu kenapa... tapi sekarang gue kayak nggak yakin. Sumpah. Kemarin, pas gue dan Bima balik ke sini, kita nggak nemu jalur ini sama sekali. Padahal kita yakin udah muter di area ini berkali-kali."
Bima mengangguk, ekspresinya serius. "Gue harus jujur, Nu. Kali ini gue sejalan sama Naya. Kemarin kita memang bener-bener nyasar. Kita pikir kita cuma kelewat, tapi jalan ini… kayak hilang begitu aja."
Danu memandang ke arah hutan yang tampak gelap dan tenang. Sekilas, keraguan juga terlintas di wajahnya. Tapi lalu ia berkata, lebih pelan.
"Mungkin jalannya memang nggak bisa selalu dilihat... tapi sekarang terbuka lagi. Mungkin memang ini waktunya."
Semua terdiam sejenak sebelum akhirnya langkah kaki mereka kembali menyusuri jalur setapak yang mulai dipenuhi dedaunan kering dan akar-akar pohon besar yang menonjol dari tanah. Danu berada di barisan terdepan, diikuti Galang yang yang berjalan disamping nya. Naya, Bima, Papa dan Mama Danu, serta Nadia menyusul di belakang. Udara hutan makin terasa dingin, meski matahari siang belum benar-benar tergelincir dari langit.
Mereka telah berjalan hampir setengah jam. Nafas mulai tersengal, namun tak satu pun dari mereka mengeluh. Ada rasa penasaran yang lebih kuat dari lelah yang mereka rasa.
Tiba-tiba langkah Danu terhenti. Senyum lebar menghiasi wajahnya. "Lihat! Benar kan kata ku!"
Semua yang di belakangnya segera melangkah maju, menoleh ke arah yang ditunjuk Danu. Di sana, di antara semak tinggi dan ranting menjulur, berdiri sebuah gapura tua dari batu berlumut, nyaris tersembunyi oleh semak liar yang menjalar.
"Gapura Pagarjati…" lirih Danu. "Kita di jalur yang benar… Tapi…"
Ucapannya menggantung di udara.
Ia maju perlahan mendekat. Galang juga ikut melangkah, mendongak menatap gapura yang dulu sempat mereka lewati. Namun kini, tampilannya sungguh berbeda. Rerumputan liar hampir sepenuhnya menutupi tulisan "Pagarjati". Lumut dan akar gantung menjalar dari atas ke bawah, menutupi sebagian besar permukaan batu. Ada bekas pahatan yang sudah terkelupas, retak di beberapa bagian. Seolah tempat itu telah terabaikan sangat lama, bukan satu dua tahun, tapi mungkin puluhan tahun lamanya.
"Lang…" bisik Danu, pelan. "Dulu tempat ini nggak kayak gini, kan?"
Galang menelan ludah, raut wajahnya berubah tegang. "Nggak, Nu. Nggak sama sekali…"
Sunyi.
Tak ada angin, tak ada suara burung, jangankan cicak atau serangga. Hutan di sekitar mereka terasa membeku dalam kesunyian yang mencengkeram. Rasanya tidak wajar.
Papa Danu akhirnya melangkah ke depan, memecah ketegangan. "Kalau memang ini jalannya, ayo lanjutkan. Kalau benar ada desa di balik sini, kita akan temukan."
Perlahan, mereka melanjutkan perjalanan, melintasi gapura tua yang menjulang bagai penjaga bisu. Dan ketika mereka akhirnya sampai di mulut desa, Danu berhenti. Sekujur tubuhnya terasa dingin.
"A-apa ini?...." bisik Galang, matanya membesar.
Naya mendekat dari sisi kanan, dan begitu ia melihat apa yang terhampar di hadapannya, ia langsung menutup mulutnya dengan tangan, seolah menahan napas terkejut.
"Nu… Apa ini? Kenapa desa ini… berubah gini?”"
Danu tidak menjawab.
Ia hanya menatap lurus ke depan. Desa yang dulu ia kenal tempat Nyai Laras tinggal, tempat ia pertama kali bertemu wanita tua itu, kini nyaris tak bersisa. Jalan tanah yang dulu membelah desa kini ditumbuhi rerumputan tinggi dan semak liar. Beberapa bangunan yang masih berdiri tampak nyaris roboh, dengan atap berlumut dan dinding yang mengelupas. Sementara lainnya hanyalah kerangka lapuk, sebagian bahkan sudah rata dengan tanah. Di beberapa sudut, akar-akar pohon besar menembus lantai dan dinding rumah, seolah mengambil alih tempat yang ditinggalkan manusia entah sejak kapan.
Tidak ada asap dapur. Tidak ada suara ayam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
"Ini… kayak desa mati…" ujar Bima dengan suara berat.
Galang melangkah maju, menajamkan pandangan. "Mata gue nggak minus, kan? Tapi… beneran, ini bukan cuma berubah, ini... kayak udah ditinggal puluhan tahun."
Danu masih berdiri di tempat, tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Padahal, waktu terakhir ia ke sini… semua masih hidup. Banyak warga menyambutnya datang. Ada aroma bunga melati, ada suara gending yang samar terdengar dari kejauhan. Semua terasa nyata.
Tapi kini, semua itu seolah hanya mimpi.
Papa dan Mama Danu berjalan mendekat. Bukannya bertanya, mereka justru langsung berdiri di samping Danu dan merangkul pundaknya. Begitu pula dengan teman-teman lainnya. Tak satu pun dari mereka mengucap sepatah kata. Semuanya terpaku oleh pemandangan yang begitu absurd, seolah mereka melangkah ke masa lalu. Atau… ke semacam bayangan dunia lain.
Danu maju beberapa langkah, menyusuri jalan setapak yang dulu ia kenal. Ia menatap bangunan yang seharusnya menjadi rumah Nyai Laras. Kini hanya tersisa rangka kayu dan fondasi yang setengah terkubur tanah. Sementara bagian lain sepenuhnya ditelan belukar.
"Enggak mungkin…" gumamnya lirih. “Enggak mungkin segini rusaknya. Aku ke sini belum lama…"
Naya memeluk lengannya sendiri, tubuhnya mulai menggigil bukan karena dingin, tapi karena perasaan tidak nyaman yang tak bisa dijelaskan.
"Nu… waktu kita ke sini kemarin pun bentuknya nggak begini. Ini makin nggak masuk akal."
Bima menambahkan, "Kayak… desa ini muncul dan hilang sesuai kehendaknya."
Mereka berdiri lama di sana, menyapu pandang pada satu persatu reruntuhan yang tak bersuara. Di kejauhan, terdapat bekas sumur yang kini tertutup daun kering. Sebuah ayunan tua bergoyang pelan karena angin, seolah masih menyimpan kenangan seorang anak yang pernah bermain di sana.
Danu menunduk. Otaknya penuh pertanyaan. Apakah ini semua memang nyata? Apakah tempat ini benar-benar pernah hidup? Lalu kenapa sekarang… seolah mati sejak lama?
Mama Danu perlahan mendekat, memegang bahunya dengan lembut. "Nu… kalau kamu yakin desa ini dulu ada, mungkin memang ada sesuatu di tempat ini yang belum kita pahami."
Papa Danu menambahkan, "Dan mungkin… itu alasan kamu harus kembali ke sini."