Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Sunyi Seorang Wanita yang Terluka
Langit Batam menggelap, mendung tebal menggantung di atas bangunan tua yang baru saja dibeli Gavin. Pabrik tekstil yang dulunya mati suri kini perlahan berdenyut kembali dalam komando tangan dingin seorang mafia yang tak pernah puas.
“Felix, pastikan semua alat berat datang sebelum malam,” ucap Gavin, berdiri di tengah pabrik yang masih berdebu. Jas hitamnya tetap rapi meski lantai basah dan penuh lumpur.
“Iya, Bos. Tapi yang alat pemintal itu harus impor. Butuh waktu lima hari lagi,” jawab Felix sambil memeriksa tablet di tangannya.
Zidan, si termuda dari ketiganya, mendekat dengan wajah panik. “Bos... kita punya masalah. Salah satu peti dari Singapura nyasar ke gudang lama. Kalau sampai dicek polisi—”
“Zidan.” Gavin menatapnya tajam. “Kalau otakmu dipakai untuk panik, kita semua masuk penjara. Kalau dipakai mikir, kita punya kerajaan baru.”
Raga terkekeh. “Bener juga. Otak lo cuma bagus buat main Mobile Legend, Zan.”
Zidan mendengus. “Eh gue MVP, Bro.”
“Tutup mulut kalian,” potong Gavin dingin. “Kita kerja di bawah radar.Ingat. Kakek nggak boleh tahu soal pabrik ini. Saya capek hidup di bawah bayangan kakek tua itu. Ini bisnis . Rahasia. Paham?”
“Tentu, Bos. Kayak biasa. Mulut kami lebih ketat dari peti mati,” jawab Raga sambil membusungkan dada.
Gavin hanya mengangguk kecil. Namun dalam hatinya, ada gelisah yang tak dia akui—rasa kehilangan akan seseorang yang bahkan dia tak tahu sedang berada begitu dekat: Vanesa.
Sementara itu, di Jakarta, Vanesa duduk di ruangan yang dulu milik desainer utama. Tiara ibu Gavin. Sebenarnya ia takut. Kalau sampai Gavin dirinya masuk ke ruangan ibunya, ia yakin Gavin akan menendangnya dari sana.
Ia menempatinya, namun tanpa nama dan tanpa pengakuan. Matanya menatap layar monitor, memeriksa katalog desain yang segera diproduksi oleh Vanda—merek rahasianya.
Ketukan keras menggema di pintu.
Karin masuk tanpa aba-aba, mengenakan blazer mahal dan aroma parfum yang menusuk.
“Aku ingin bicara denganmu,” katanya sambil meletakkan amplop tebal di meja.
Vanesa menatapnya tenang. “Ada apa, Bu?”
“Ini bayaranmu. Aku bayar di muka karena desainmu bagus. Tapi mulai hari ini, kamu tidak ada hubungan lagi dengan rancangan itu.”
Vanesa mengambil amplop itu. Jari-jarinya menggenggam erat. Ia tahu belum waktunya melawan. Tapi ia juga bukan wanita yang akan menyerah dengan mudah.
“Segini bayaran untuk karya sekelas dunia?” tanyanya datar.
Karin tertawa sinis. “Tanpa nama perusahaanku, baju itu cuma kain murah. Tanpa namaku, kamu bukan siapa-siapa.”
Vanesa menyimpan uang itu dalam laci. “Saya mengerti, Bu.”
Tapi diam-diam, ia menyalakan aplikasi perekam suara di jam tangannya. Satu langkah kecil dalam permainan panjang.
“Bagus. Jangan macam-macam, Vanesa. Aku tahu kamu pernah dekat dengan suamiku. Jangan pikir kamu bisa kembali merebut sesuatu yang bukan milikmu,” desis Karin sebelum berbalik.
Vanesa hanya tersenyum kecil. Ia tak akan merebut,ia akan menciptakan kerajaannya sendiri.
Malam itu, telepon Vanesa berdering.
“Selamat, merek Vanda terpilih jadi mitra kerja sama dengan perusahaan Gavin!” ucap Damian bersemangat.
Jantung Vanesa hampir copot. Ia menggigit bibir, mencoba menyembunyikan senyumnya.
“Terima kasih, Mas. Aku akan hubungi pemiliknya... secepatnya.”
Setelah menutup panggilan, ia langsung menelepon Serli. “Produksi semua model yang aku kirim hari ini. Dalam jumlah besar. Dan pastikan, tidak ada satu pun yang tahu siapa pemilik Vanda.”
“Siap, Bu. Pabrik udah jalan. Semua di bawah kendali.”
Vanesa menatap luar jendela. Kota Jakarta yang semrawut kini menjadi panggung rencananya. Ia tak butuh nama. Ia hanya butuh hasil.
Di sisi lain kota, di gudang produksi, salah satu pengawas sempat bertanya, “Ini pesanan siapa, Mbak? Banyak banget!”
Serli hanya tersenyum. “Kerjakan aja. Anggap ini dari Tuhan.”
Hari peluncuran tiba. Lita wakil direksi yang baru kembali dari Paris pagi itu—berdiri di atas panggung kecil, memperkenalkan lini baru perusahaan. Ia tampak lelah.
“Produk terbaru kami akan menggandeng mitra lokal. Salah satunya... merek baru,” ucap Lita.
Di antara kerumunan, Vanesa berdiri menunduk di balik stan. Ia mengenakan kacamata besar dan masker, menyamar sempurna.
Vanesa menahan napas. Ini bagian dari rencananya. Perlahan, ia menjawab, “Aku cari dulu.”
Ia memutus panggilan dan menelepon Serli. “Langsung drop semua barang ke stan Mahesa textile Corp. Jangan tanya, jangan bocorkan siapa pun. Kita masuk.”
“Siap, Bu. Operasi di mulai.”
Beberapa jam kemudian, produk-produk Vanda menghiasi stan Mahesa Textile. Corp dengan megah. Warna-warna pastel, potongan elegan, dan detail bordir yang khas. Semua mata tertuju.
Damian sendiri sempat berhenti di depan stan itu. Matanya menyipit.
“Desain ini... kenapa terasa familiar?” gumamnya.
Salah seorang karyawan mendekat. “Pak, katanya dari merek Vanda. Pemiliknya nggak pernah muncul.”
Damian mengangguk pelan. Tapi ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Sesuatu yang tak bisa dia jelaskan.
Vanesa mengamati dari kejauhan, berdiri di antara keramaian, diam-diam terharu. Ini kemenangannya. Tapi juga luka terdalamnya. Karena orang yang seharusnya tahu... justru paling tidak tahu.
Wajah Vanesa langsung berbinar. Vanda. Nama itu begitu berarti. Singkatan dari Vanesa Danita. Tidak ada yang tahu merek itu miliknya—bahkan Damian.
Ia segera menelepon Serli. “Produksi semua model yang aku kirim hari ini. Siapkan dalam jumlah besar. Dan ingat, jangan ada yang tahu siapa pemilik Vanda.”
“Siap, Bu. Semua sudah diatur,” jawab Serli tegas.
Toko online milik Vanesa memang masih berjalan seperti biasa. Di tengah masalah yang membelit, bisnisnya tetap berkembang pesat. Bahkan kini, permintaan meningkat tajam. Beruntung Serli adalah kaki tangannya yang paling bisa diandalkan. Tak satu pun pegawai tahu siapa sosok di balik merek laris itu.
Saat Serli menginstruksikan produksi besar-besaran, seorang pengawas pabrik heran. “Ini pesanan siapa, Mbak? Apa ada bazar besar-besaran?”
Serli hanya tersenyum. “Kerjakan saja. Dan satu hal penting—jangan pernah bocorkan siapa pemilik Vanda. Anggap saya yang tanggung jawab penuh.”
Malam hari, Damian kembali ke kantornya. Ia membuka laptop dan mulai menelusuri informasi tentang Vanda. Tidak ada nama pemilik, tidak ada data resmi. Hanya satu hal yang menarik perhatiannya: pola desain yang terasa sangat... familiar.
‘Aku pernah melihat itu di mana ya?’ tanya Damian,.
Ia bahkan tidak tahu kalau Vanesa adalah pemiliknya.
Bersambung
Thor boleh nggak Angga mati aja?
sedih aku 😭