"kamu pembawa sial tidak pantas menikah dengan anakku" ucap Romlah
"aku sudah mempersiapkan pernikahan ini selama 5 tahun, Bagaimana dengan kluargaku" jawab Ratih
"tenang saja Ratih aku sudah mempersiapkan jodohmu" ucap Narti
dan kemudian munculah seorang pria berambut gondrong seperti orang gila
"diakan orang gila yang suka aku kasih makan, masa aku harus menikah dengan dia" jawab Ratih kesal
dan tanpa Ratih tahu kalau Rojali adalah pendekar no 1 di gunung Galunggung
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RR 17
“Ratih… ambilkan air,” ucap Narti, sengaja menyuruh Ratih agar bisa pamer. Ia ingin menunjukkan betapa istimewanya Sinta di depan dua pria dari kabupaten. Dalam hati, Narti berharap Ratih merasa kalah, merasa tak sebanding.
Tak lama kemudian, Ratih keluar membawa nampan berisi gelas dan teko. Langkahnya pelan, wajahnya tenang, tanpa senyum berlebihan.
Begitu melihat Ratih, mata Sardi membelalak. Bahkan Bagas, yang selama lima tahun berpacaran dengan Ratih, terdiam. Ini kali pertama mereka benar-benar memperhatikan wajah Ratih. Tanpa riasan, tanpa hiasan, tapi kecantikannya terpancar alami—bersih, lembut, dan… berbeda.
Andai saja bajunya lebih bagus, pikir Bagas, mungkin Ratih akan jadi wanita tercantik di seluruh kabupaten.
Ratih meletakkan minuman di meja tanpa banyak bicara, lalu kembali ke dapur.
Suasana sempat hening, sebelum Bagas membuka suara, “Bu, nanti tolong siapkan makanan istimewa ya. Pak Camat katanya mau datang.”
“Wah, benarkah itu?” jawab Narti girang. Dalam pikirannya, pejabat datang ke hajatan adalah prestise luar biasa. Biasanya hanya keluarga kaya yang bisa mengundang camat.
“Iya Bu, Bang Sardi ini yang minta langsung, makanya Pak Camat mau datang,” ucap Bagas penuh bangga.
Namun Sardi, yang sejak tadi terlihat gelisah, tiba-tiba ikut bicara.
“Tapi Bu… saya punya satu permintaan kecil.”
Narti langsung cemas. “Permintaan apa, Pak? Kalau uang, kami tidak punya…”
Sardi mengangkat tangan. “Tenang, Bu. Saya tidak minta uang.”
Narti tersenyum lega asal tidak keluar uang dia akan mengabulkan permintaan Sardi seseorang yang akan membawa pejabat datang di pesta pernikahan anaknya.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanyanya penuh semangat.
Sardi menunduk sedikit, suaranya nyaris berbisik. “Saya hanya ingin… ditemani Ratih seharian. Setelah pesta pernikahan Sinta selesai.”
Senyum Narti muncul perlahan. Licik. Mata tuanya menyipit penuh perhitungan.
“Itu agak susah, Pak. Ratih sudah punya suami. Tapi… ya, saya bisa usahakan.”
Sardi tertawa kecil, maklum.
“Tiga juta, Bu. Cukup, kan?” katanya singkat.
“Kalau sudah ada uang… semua jadi ringan,” jawab Narti, senyumnya makin lebar.
“Bu, aku mau ke kamar mandi dulu,” ucap Bagas sopan.
“Oh, silakan, Nak. Sudah tahu letaknya, kan?” jawab Narti ramah.
“Iya, Bu,” sahut Bagas sambil berdiri.
Sinta sempat hendak mengantar, tapi ia menahan diri. Di satu sisi, ia ingin dekat dengan Bagas, tunangannya. Di sisi lain, ia tidak ingin melewatkan momen berbincang dengan Sardi. Ia merasa harus terus menjaga perhatian Sardi agar tidak teralihkan pada orang lain—terutama Ratih. Permintaan Sardi yang ingin ditemani Ratih seharian masih menusuk hatinya. Ia tidak terima. Dalam pikirannya, Ratih harus tetap berada di bawah dirinya, tak boleh menang dalam hal apa pun.
Sementara itu, Bagas melangkah ke dapur.
Di sana, ia melihat Ratih sedang mencuci baju. Jemarinya lincah meremas kain, air menetes dari lengan hingga siku. Wajahnya tenang, polos, tanpa riasan apa pun. Tapi entah mengapa, justru itulah yang membuatnya terlihat sangat mempesona.
Bagas mendekat diam-diam.
“Ratih…” panggilnya lirih nyaris berbisik.
Ratih sempat melirik, hanya sekilas, lalu kembali fokus mencuci. Tak ada senyum, tak ada sapaan. Sikapnya dingin.
Tapi justru itu membuat Bagas semakin yakin—dalam pikirannya, Ratih masih mencintainya. Dia hanya sedang marah, itu saja.
“Ratih… aku masih mencintaimu. Kalau kita nggak bisa jadi suami istri… kita bisa tetap bersama diam-diam,” ucap Bagas, tanpa malu dan tanpa sadar sedang mengucapkan kalimat paling rendah yang pernah keluar dari mulutnya.
Ratih tetap diam. Tidak menjawab, tidak menoleh. Baginya, ucapan itu tidak pantas bahkan untuk ditanggapi.
Ia tahu siapa yang ia pilih. Rojali—lelaki yang baru dikenal, tapi langsung siap melindungi, menerima, dan mencintainya apa adanya. Tanpa syarat. Tanpa tuntutan. Dan yang terpenting, tanpa ragu memperjuangkannya.
Lima tahun bersama Bagas terasa hambar jika dibanding beberapa hari dengan Rojali. Bagas tidak pernah berdiri untuknya. Saat Ratih dipojokkan, dihina, direndahkan—Bagas hanya diam.
Bagi Ratih, cinta bukan soal siapa yang lama bersama, tapi siapa yang berani percaya dan menjaga.
"Karena kalau membangun keluarga tanpa kepercayaan, untuk apa bersatu?" gumam Ratih dalam hati, getir.
“Ratih, kenapa diam saja?” tanya Bagas, masih berdiri di dekat tempat cuci.
Ratih berhenti mengucek baju. Ia mendongak, menatap Bagas dengan sorot dingin. “Apa yang harus aku tanggapi? Ucapanmu barusan tidak masuk akal. Dan jangan pernah berharap itu akan terjadi,” jawabnya tegas.
“Jangan pura-pura, Ratih. Aku tahu kamu masih mencintaiku…” Bagas mulai kehilangan kendali. “Tapi aku nggak bisa menentang keluargaku. Kamu sudah menikah, dan sebentar lagi aku juga akan menikah. Tapi kalau kita jadi pasangan diam-diam… itu masih bisa, bukan?”
Ratih berdiri tegak, air mengalir dari tangannya, tapi wajahnya tetap tenang.
“Tidak akan pernah,” ucapnya pelan namun tajam. “Sekarang, aku hanya mencintai suamiku, Rojali. Hanya Bang Rojali yang ada di hatiku.”
Ia melangkah mundur. “Sebaiknya kamu pergi… sebelum aku teriak.”
Bagas tersentak. Tapi amarahnya justru memuncak.
“Kamu kira kalau kamu teriak, orang-orang bakal percaya? Kamu itu pembawa sial, Ratih! Nggak ada yang peduli sama kamu!”
Kata-kata itu menghantam dada Ratih. Pedih, tapi justru membuatnya bersyukur. Syukur karena dulu ia tidak jadi menikah dengan pria ini.
“Aku memang dianggap pembawa sial,” ucap Ratih tenang. “Kalau aku teriak, bisa jadi aku yang diusir dari rumah. Tapi… kamu?”
Bagas terdiam.
“Dua hari lagi kamu menikah. Bayangkan kalau semuanya gagal, hanya karena aku teriak. Bayangkan aibnya. Keluargamu pasti malu. Kamu mungkin dikeluarkan dari daftar pewaris. Apa kamu siap hidup tanpa bantuan orang tuamu?”
Bagas menelan ludah. Matanya membulat. Ia tak menyangka Ratih bisa berkata setajam itu—dan lebih buruk lagi, semua yang dikatakan Ratih benar.
Reputasi adalah segalanya bagi Bagas.
Dan sekarang, satu teriakan Ratih bisa menghancurkan semuanya.
..
.
---
Sementara itu, Rojali duduk tenang di kursi depan area proyek. Hari ini adalah hari pertamanya memakai seragam security. Seragam itu tampak kekecilan di tubuhnya—ketat, menonjolkan otot-ototnya yang terbentuk sempurna. Beberapa pekerja yang lewat sempat melirik heran… atau kagum.
“Rojali, kamu dipanggil Pak Yoga ke ruangannya,” ujar Santoso, sesama petugas keamanan yang lebih duluan bekerja di proyek itu.
“Oke, siap,” jawab Rojali sambil berdiri.
Ia berjalan ke arah kontainer yang dimodifikasi menjadi kantor lapangan. Setibanya di depan, ia mengetuk pelan lalu masuk.
Di dalam ruangan itu, suasana langsung terasa tegang. Beberapa orang duduk di sana, tampak serius. Tapi perhatian Rojali langsung tertarik pada satu sosok yang duduk di kursi paling bagus—seorang wanita berdandan seperti orang kota, wajahnya cantik, tubuhnya elegan. Wanita itu adalah Yohana, pengawas pemimpin proyek dari kantor pusat.
Tatapannya dingin, menusuk seperti ingin menilai Rojali hanya dari penampilan.
Tak menunggu lama, suara lantang menyambut Rojali.
“Rojali! Baru sehari kamu kerja, tapi kita sudah kehilangan bahan bangunan! Beberapa baja pondasi hilang! Gimana tanggung jawab kamu, ha?!” bentak Pak Yoga, kepala lapangan, tanpa basa-basi.
Suasana di dalam kontainer langsung menegang.
Semua mata tertuju pada Rojali—security baru yang langsung dianggap sebagai kambing hitam.
Namun Rojali hanya berdiri tegak, tenang… seolah bentakan itu tak menyentuh harga dirinya sedikit pun. Tatapannya mengarah lurus ke Pak Yoga, tapi ia tidak membalas—belum. Ia hanya menunggu momen yang tepat untuk bicara.
"Jangan cuma diam! Cepat jawab! Atau… jangan-jangan kamu sendiri yang mencurinya?!" bentak Pak Yoga, nadanya tajam, penuh tuduhan.
Semua orang di ruangan terdiam. Beberapa saling pandang, bingung sekaligus menunggu jawaban Rojali.
Rojali tetap berdiri tenang. Sorot matanya tidak gentar sedikit pun. Lalu ia membuka mulut, pelan… tapi penuh tekanan.
"Darimana Anda tahu saya yang mencurinya?" tanyanya datar, tanpa emosi.
Suasana kontan berubah.
Sekilas, pertanyaan itu terdengar seperti pengakuan. Tapi kalau diperhatikan lebih dalam, kalimat itu menyimpan jebakan. Seolah Rojali balik menuduh—bagaimana mungkin Yoga bisa menuduhnya tanpa bukti, kecuali dia tahu persis apa yang terjadi?
Sebagai kepala lapangan proyek keluar masuk barang ke proyek seharusnya atas persetujuan yoga,dan barang yang hilang adalah baja beton yang tidak mungkin dimasukan ke saku, setidaknya harus diangkut mobil pickup.
ditagih hutang siapin Paramex lah hehe
up lg thor masih kurang ini
bg jali bg jali orangnya bikin happy
sehat selalu