Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.30
Melinda mulai berjalan ke arah Zahira. Menempatkan diri tepat searah dengan Jasmine. Dengan pura-pura melihat brosur Melinda terus berjalan lurus sesekali melirik ke arah Zahira yang terlihat agak gemuk.
Saat dekat, Melinda langsung mendorong Jasmine. Walau tak keras tapi bisa membuat dia jatuh.
"Jasmine, kamu gak apa-apa?" tanya Zahira terkejut.
"Aduh maaf-maaf, saya tidak sengaja." Katanya dengan berdiri, pura-pura membersihkan pasir.
"Nak, kamu tidak apa-apa kan? Zahira." Lirih Melinda, karena Zahira terlalu fokus pada Jasmine dia tak memperhatikan siapa yang menabrak Jasmine. Harusnya Zahira tahu suara Ibu mertuanya tersebut.
"Mo-Mommy." Ucap Zahira, sedangkan Jasmine sudah diurus oleh Rosma.
Melinda langsung memeluk Zahira dengan erat, dia terisak dan meminta maaf atas ulah Neil.
"Syukurlah, kamu baik-baik saja. Maafkan Neil," ucap Melinda, Zahira menggeleng tak bisa menjawab ucapan mertuanya.
Rosma menatap wanita yang mengaku mertuanya Zahira.
"Sebaiknya, kita bicara dirumah saja. Tak baik disini," sela Rosma, karena menurutnya tak pantas saja berada di tempat umum untuk membahas rumah tangga.
"Iya Nyonya," balas Zahira, lalu menatap Melinda yang memegang tangannya dengan erat takut Zahira kabur atau meninggalkan dirinya lagi.
"Mom, ikutlah ke rumah Nyonya Rosma. Kita bicarakan semuanya disana," kata Zahira, dijawab anggukan oleh Melinda.
Akhirnya Melinda mengikuti saran Rosma, mereka berempat berjalan kaki menuju kediaman Rosma.
"Tidak apa jalan, kaki?" tanya Rosma.
"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya sudah biasa," sahut Melinda tersenyum, dia menatap anak kecil yang selalu menempel pada Zahira dan hanya tersenyum saja. Sangat manis menurutnya.
Tiga puluh menit berjalan kaki, mereka sudah sampai di kediaman Rosma.
"Maaf rumahnya kecil," celetuk Rosma, membuat Melinda tertawa.
"Anda terlalu merendah, Nyonya. Rumah ini sangat luas bahkan seluas lapangan sepak bola," canda Melinda terkekeh, memang rumah Rosma sangat luas khas Bali.
"Mari masuk," ajaknya, lalu meminta salah satu pelayan membuatkan minum untuk tamunya Zahira.
"Baiklah, saya akan meninggalkan kalian berdua. Zahira selesaikanlah masalahmu, jangan lari begitu saja." Rosma mengelus lembut lengan Zahira, dia sudah menganggap Zahira sebagai anak.
"Satu lagi, mertuamu harus tahu bahwa kamu. Sedang mengandung," bisik Rosma, dijawab anggukan oleh Zahira.
Setelah Rosma dan Jasmine tak terlihat lagi, Zahira bingung harus berbicara dari mana? Apa dia harus memberi tahu, mertuanya bahwa dia sedang mengandung cucunya? Atau bagaimana? Dia hanya takut, anaknya gak diterima oleh Melinda dan Axel.
Zahira memejamkan matanya, lalu menghembuskan napasnya dengan pelan. Dia akan jujur pada Melinda, diterima atau tidak kehadiran sang anak. Itu urusan nanti, tos dia masih bekerja bersama Ethan.
"Mom," ucap Zahira.
"Ada apa, sayang?" Melinda tahu, ada hal penting yang akan disampaikan oleh Zahira.
"Bicaralah, Mommy tidak akan marah. Mommy akan marah jika kamu, tidak jujur pada Mommy." Pungkas Melinda.
Zahira mengeluarkan cetakan USG, lalu menyerahkannya pada Melinda. Awalnya Melinda bingung. Namun, setelah tahu apa yang Zahira berikan dia begitu sangat syok.
"Zahira sayang, kamu ..." Melinda tak bisa meneruskan kata-katanya, tak bisa mempercayai ini semua.
"Aku hamil Mom, sudah hampir menginjak delapan minggu." Kata Zahira, menatap Melinda yang sedang memandang foto calon anaknya.
"Jangan pisahkan aku dengannya, Mom. Dia kekuatanku, harapanku yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini. Tapi, maafkan aku belum bisa menjadi istri yang baik untuk anak Mommy." Zahira bicara langsung pada intinya, dia tak banyak basa-basi.
"Apa yang kamu katakan, hem? Dasar bodoh, siapa yang akan memisahkanmu dengan cucu Mommy. Malah Mommy akan memintamu menjaganya, kalau perlu Mommy akan ikut tinggal disini sama kamu." Ungkapnya.
"Soal Neil, kamu tidak perlu khawatir. Mommy akan merahasiakan ini darinya, Mommy tidak masalah jika kalian bercerai." Lirih Melinda, walau tak rela Neil dan Zahira berpisah. Zahira pun berhak bahagia dengan hidupnya.
Melinda mengelus lembut perut Zahira, dimana ada sang cucu yang sedang tumbuh didalamnya.
"Sehat-sehat ya, nak! Oma menunggu mu," kata Melinda, membuat Zahira terharu.
"Maafkan Neil. Zahira, karena dia kamu jadi seperti ini." Melinda menyeka sudut matanya.
"Tidak Mom, harusnya aku yang meminta maaf. Aku pergi tanpa pamit membuat Mommy khawatir."
Melinda menggeleng, lalu memeluk kembali Zahira. Kabar kehamilan Zahira membuatnya bahagia seolah itu adalah anugerah untuk keluarganya. Banyak yang Melinda bicarakan dengan Zahira, dan menyarankan Zahira untuk ikut pulang dengannya. Tapi jika dokter memperbolehkan melakukan penerbangan.
*****
Sementara itu di rumah sakit, Axel baru tiba di ruang perawatan Neil. Dia menatap sang anak yang tergolek lemah dengan wajah yang pucat. Bahkan hari ini, sudah beberapa kali Neil muntah dan tak mau makan.
Dia hanya ingin makan buah atau yang masam-masam, tapi setelah itu perutnya langsung bermasalah.
"Daddy, Mommy kemana?" tanya Ana, saat tak melihat Ibunya. Ana sudah bilang jika Ibu dan Ayahnya bak lem dan perangko tak dapat dipisahkan.
"Loh! Daddy kira, Mommy sudah disini."
"Nggak ada, dari tadi Ana tungguin. Mommy gak datang-datang malah ponselnya gak aktif," kata Ana, mencoba menghubungi kembali Melinda dan hasilnya sama tidak bisa di hubungi.
"Ya sudah, biarkan saja Mommy mu. Mungkin sedang butuh jalan-jalan," celetuk Axel.
"Dad, aku juga butuh jalan-jalan." Ucap Ana dengan manja, dia bersandar di pundak Axel. Sedangkan Aiyla, sudah seperti obat nyamuk bagi Ayah dan anak tersebut.
"Gue juga kangen, bokap gue." Gumam Aiyla, berdecak dengan pelan.
"Bukannya kemarin sudah liburan, sama David dan Theo?"
"Halah, liburan ngurusin orang yang lagi mabok." Cibir Ana, dia menatap Neil yang sedang tidur. Membuat Axel tertawa.
"Pokoknya aku gak mau tahu, setelah masalah Neil beres. Aku mau ke rumah Oma Velia dan Opa Ello," putus Ana.
"Iya, iya. Kamu boleh kesana setelah libur kuliah." Sahut Axel, membuat Ana cemberut lagi. Dengan pasrah dia menerima keputusan sang ayah.
Padahal jika dipikir-pikir, kenapa Ana harus kuliah? Dia kan sudah kaya, tinggal menghabiskan harta keluarganya bahkan harta peninggalan Melinda pun tidak akan habis.
*****
Sementara itu Livia, dia sedang menatap Miller yang juga menatapnya.
"Ayolah Miller, ini semua demi anak kamu." Bujuk Livia.
Membuat Miller berdecak dengan kesal, dia kali ini memberikan satu kartu untuk Livia.
"Ingat setelah anak itu lahir, aku akan membawanya. Jangan sekali-kali kamu ... Untuk mencari tahu tentang anak itu." Tutur Miller dengan tegas.
"Iya."
Tanpa permisi Livia keluar dari apartemen Miller, dia hanya datang jika uangnya sudah habis. Lama-lama uang Miller yang akan habis, sialnya Livia gagal menguras harta milik Neil.
"Sial, double sial!" umpatnya, dia pun terpaksa mencari investor yang mau menanamkan modal di perusahaannya.
Livia duduk di salah satu cafe, yang tak jauh dari apartemennya. Dia memikirkan ucapan Miller, yang akan membawa pergi jauh sang anak darinya. Walau terkesan cuek, Livia sesungguhnya sudah mulai menyayangi anak yang dia kandung. Yang selalu menemani dirinya setiap malam yang terasa sangat sepi, membuat Livia menghela nafas sepenuh dada. Sangat memprihatinkan memang, tak ada satu orang pun yang bisa memanjakan dia saat hamil.
“Dia anakku, hanya milikku.”
Bersambung...
Maaf typo
lanjut Thor
emang enak