"Ivy nggak sengaja ketemu sama kamu dan Nabilah. Kamu--sabtu kemarin itu--ketemuan kan sama Nabilah di Rainbow Caffee?!"
Sempet ada jeda sebentar, yang akhirnya Matias berbicara juga. "I-iya, t-tapi a-aku ng-nggak ka-kayak yang kamu pikirin. Aku sama Nabilah pun nggak ada hubungan apa-apa. Murni ketemuan sebagai temen. Aku cuman cinta sama kamu, Ke."
Ternyata Kezia masih mau memaafkan Matias. Berlanjutlah kisah cinta mereka. Hanya saja, jalan di hadapan mereka berdua semakin terjal.
Berikutnya, tidak hanya tentang Matias dan Kezia. Ada juga kisah Martin Winter dan Vanessa Rondonuwu. Pun, kisah-kisah lainnya. Kisah yang sama manisnya.
Terima kasih banyak yang sudah menyimak season one RAINY COUPLE di tahun 2020 silam. Kali pertama aku menulis novel di platform.
NOVEL INI PERNAH MELEDAK DI NOVELTOON DI TAHUN 2020 SILAM!
Season 1 Rainy Couple
(https://noveltoon.mobi/id/share/102447)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Nabilah Lagi
Summarecon Mall Serpong, siang yang teduh meski ramai. Matias hanya berniat mampir sebentar ke toko buku untuk belanja buku, tapi seperti déjà vu, takdir kembali mempertemukannya dengan seseorang dari masa lalu.
“Nabilah?”
Nabilah menoleh, lalu tertawa pelan. “Kamu lagi? Serius, Matias, kita kayaknya jodoh di area Gading Serpong, deh.”
Matias ikut tertawa. “Atau mungkin kamu yang sengaja ngikutin aku?”
“Dih, ge-er banget,” jawab Nabilah sambil menggoda. “Kebetulan, yah, kebetulan...”
"Iya, iya, kebetulan..."
Kali ini mereka memilih duduk di J-Co, tak jauh dari atrium. Dua kopi panas dan satu boks donat mini di tengah meja menjadi saksi pertemuan yang lagi-lagi tak direncanakan.
Matias memerhatikan gaya Nabilah yang hari itu tampak berbeda. Lebih bebas, lebih cerah. Rambut bondol-nya kini mulai tumbuh, cukup panjang untuk dikuncir kecil. Ia mengenakan kaus hitam bertuliskan huruf Jepang dan rok jins selutut.
“Betewe, kemarin-kemarin kamu bilang kamu pernah kerja di Tokyo,” tanya Matias membuka obrolan.
“Sekarang juga kontraknya masih berlaku. Ini lagi... anggap aja liburan pulang kampung. Aku kerja di Tokyo hampir dua tahun. Sebagai translator dan editor lepas di kantor penerbitan manga.”
Matias menaikkan alis. “Cerita-cerita, dong, gimana kesan-kesan kamu kerja bareng orang Jepang."
"Bukannya kita pernah di Tokyo bareng?!"
"Kamu di distrik mana, aku di distrik apa, kali..."
"Gitu, yah," Nabilah mengangkat bahu, terkekeh. “Eh, tau gak, Yas? Dulu waktu kuliah aku udah ngincer bisa ke Jepang. Waktu akhirnya dapet kesempatan—meski awalnya magang—aku akhirnya ambil. Kantornya kecil, tapi nanganin beberapa judul manga lokal yang cukup punya pasar.”
“Eh, kamu emang udah ngerti Jepang dari dulu? Maksud aku, bahasanya."
“Dikit-dikit. Otodidak, terus ambil kursus juga. Tapi di sana… yah, disuruh langsung ikut rapat, ngetik, benerin terjemahan. Kadang bantu QC juga. Capek, tapi seru banget.”
Matias terlihat kagum. “Gila kamu, Nabilah! Aku gak nyangka kamu bisa sampai sana.”
“Gila karena kerja di Jepang?” tanya Nabilah sambil tertawa. “Atau gila karena potong bondol?"
“Bukan itu maksudku. Cuma... kamu berani aja. Ngejar sesuatu sampai sejauh itu. Yang soal bondol, itu urusan kamu, sih. Kamu tetap cantik, meski bondol.”
Wajah Nabilah bersemu merah. Hampir saja ia terbuai.
Nabilah menatap Matias, mencoba menahan gelombang emosi yang muncul. Ia tahu ini saatnya jadi sahabat yang baik, bukan perempuan yang masih punya rasa.
“Trus kamu gimana, Matias? Gimana urusan kamu dan Kezia?”
Matias mendesah pelan. “Lagi mumet. Masih soal Kak Thalia.”
“Kenapa emang sama kakaknya?”
“Dapet restu dari dia susah banget, Nabilah….”
Matias mengaduk kopinya pelan. “Dia kayak selalu skeptis sama aku. Sejak awal aku dan Kezia jadian pun dia udah pasang tembok. Kayak aku ini bukan cukup baik buat adiknya.”
Nabilah menggigit donat, lalu menjawab, “Yang sabar, lah, Matias. Kakak tuh biasanya keras karena sayang. Dia cuma pengen adiknya gak salah pilih. Wajar, dong.”
Matias mengangguk, meski terlihat lelah.
Nabilah menatapnya sebentar, lalu dalam hati mulai bermain-main.
'Andai lo sama gue, Matias. Gak perlu ada drama gini. Udah nikah kita sekarang. Gue gak bakal bikin lo ragu. Kenapa sih lo harus milih Kezia?'
Meskipun demikian, Nabilah hanya tersenyum. “Coba deketin lewat saudaranya yang lain aja. Mungkin yang namanya Thalia itu bisa luluh."
“Udah. Tapi tetap aja, Kak Thalia itu model yang… gimana ya. Perfeksionis. Skeptis. Punya standar hidup tinggi banget.”
“Kamu takut?”
“Lebih ke… capek. Tapi gak bisa nyerah.”
Nabilah menarik napas. “Mat, aku ngomong jujur ya. Kamu tipe cowok yang konsisten. Dan itu langka. Tapi kamu juga harus inget, kamu gak bisa hidup buat nyenengin semua orang. Bahkan kakaknya Kezia sekalipun. Yang penting kamu dan Kezia saling ngerti.”
Matias menatap Nabilah dalam diam. Ia mengangguk pelan.
“Gue seneng kok, kamu ngomong kayak gini,” katanya akhirnya. “Berarti kamu bener-bener udah move on, ya?”
Nabilah tertawa canggung. “Yah… gitu deh.”
"Bohong. Kalau lo tahu isi hati gue yang sebenarnya, lo pasti mikir ulang," batin Nabilah.
Namun ia tetap menjadi versi paling baik dari dirinya. Tetap tersenyum meski hatinya sesak.
“Makanya, kalau kamu udah beresin urusan sama Kak Thalia, cepetan nikah. Nanti gue traktir,” ujarnya sambil melempar tisu ke arah Matias.
“Deal,” jawab Matias sambil tertawa.
**
Setelah pertemuan itu, Matias merasa sedikit lebih ringan. Ia menyadari, meskipun kisah cintanya bukan tanpa rintangan, ia punya orang-orang yang percaya padanya. Termasuk Nabilah.
Sedangkan Nabilah, malam itu membuka laptopnya dan mulai menulis di blog yang sudah lama terbengkalai. Judulnya:
“Cinta yang Tidak Perlu Dijemput.”
“Aku mencintainya seperti mencintai pagi. Tidak memintanya menetap, tapi selalu menunggu kehadirannya. Aku mencintainya bukan untuk memiliki, tapi untuk membiarkannya bahagia, meski bukan denganku.”
Selesai menulis, Nabilah mematikan lampu kamar.
Dalam gelap, ia tahu bahwa hatinya masih bergetar setiap menyebut nama Matias. Tapi ia juga tahu, tak semua getaran harus diterjemahkan menjadi langkah. Beberapa cukup disimpan dalam diam. Seperti melodi lama, yang tak lagi dimainkan, tapi masih dihafal nadanya.