Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.
Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Kesepuluh
# 10
Matahari sudah berada tepat diatas kepala saat Raden Bentar dan Dewi Garnis menapaki tangga menuju balairung istana Madangkara. Disana sudah duduk beberapa pejabat tinggi istana Madangkara termasuk, Panglima Kaupati. Sementara, Sang Prabu Wanapati buru – buru turun dari singgahsananya dan berjalan menghampiri kedua kakak tirinya itu. Hatinya tampak girang sekali.
“Kakang Mas Bentar, Kak Garnis,” sapanya.
Raden Bentar dan Dewi Garnis segera memberi hormat.
“Hamba Raden Bentar menghaturkan sembah untuk Rayi Prabu Wanapati yang mulia,”
“Hamba, Dewi Garnis ... menghaturkan sembah untuk Rayi Prabu Wanapati yang mulia,”
“Sembah kalian, saya terima kakang Mas Bentar, dan Kak Garnis,” sambut Prabu Wanapati dan mempersilahkan kedua kakaknya itu duduk.
“Daulat, Rayi Prabu Yang Mulia ... sebelumnya, kami mohon maaf ... kami sudah berusaha untuk menangkap orang yang telah melukai Permadi dan Shakila ... akan tetapi, gagal,” ujar Raden Bentar yang kemudian menceritakan apa yang telah mereka alami di Hutan Kana Gini. Akan tetapi, mengenai Widura, mereka sengaja merahasiakannya, hal itu disebabkan karena masih membutuhkan waktu untuk mencari kebenaran mengenai apa yang terjadi padanya. Mereka belum mempercayai apa yang telah diceritakan oleh SI CADAR HITAM.
“Ah, sudahlah... tak perlu dipikirkan Kakang Mas Raden Bentar dan Kak Garnis, yang terpenting kalian berdua selamat. Nanti kita pikirkan bersama untuk menangkap orang itu. Saya harap Kakang Mas Raden Bentar dan Kak Garnis membantu saya,” ujar Wanapati.
“Daulat Rayi Prabu,” ujar Bentar dan Garnis bersamaan.
“Ampun Rayi Prabu,” ujar Bentar, “Kami mohon ijin untuk mengunjungi ibunda Dewi Paramitha,” sambungnya.
“Silahkan, kakang Mas Raden Bentar. Sejak kalian pergi, Ibunda Paramitha cemas sekali, khawatir terjadi apa –apa pada kalian. Itulah sebabnya, saya meminta bantuan paman Panglima Kaupati untuk mencari dan memastikan keselamatan kalian berdua,” sahut Wanapati.
“Terima kasih, Rayi Prabu,” ujar Garnis, “Kami mohon diri,”
“Silahkan Kakang Mas Raden Bentar dan Kak Garnis,”
_____
Diantara sekian banyak bangunan yang berada di belakang gedung utama, tempat segala aktifitas atau kegiatan yang berhubungan dengan jalannya roda pemerintahan berlangsung ... sebuah bangunan yang cukup luas berdiri dengan dikelilingi beraneka ragam tanaman hias yang rimbun, lengkap dengan segala pernak – perniknya. Beberapa orang prajurit berjaga di pintu gapura, sebagian lagi berjalan berkeliling halaman bersenjata lengkap.
Semua tampak terlatih dan berdisiplin tinggi. Tugas mereka adalah menjaga keselamatan seluruh anggota kerajaan yang tinggal di ISTANA SUTRI PANGAYOMAN AMANGKUBHUMI ini. Selain merupakan tempat berkumpulnya keluarga raja, para dayang istana, juga merupakan tempat untuk beristirahat ataupun berbincang – bincang mengenai banyak hal selain urusan pemerintahan. Yah, disinilah Gusti Ayu Permaisuri Dewi Paramitha dan Dewi Harnum menghabiskan waktu bersantai dengan putera – puteri, sanak kadang dan keluarga kerajaan. Dulu saat Sang Prabu Brama Kumbara masih hidup, di sela – sela kesibukannya sebagai raja agung Madangkara, beliau selalu menyempatkan diri berkunjung, bercengkerama, bersenda gurau bersama keluarganya.
Sepeninggal Prabu Brama Kumbara, istana yang berdiri diatas tanah lapang berumput hijau bak permadani ini tampak lengang. Hal itulah yang membuat Dewi Paramitha dan Dewi Harnum merasa tidak betah untuk berlama – lama tinggal di istana tersebut, karena selalu teringat akan masa – masa dimana Brama Kumbara masih ada bersama mereka. Senda gurau, cerita – cerita konyol yang seakan tidak ada habisnya selalu membuat istana kaputren ini seakan hidup dalam keceriaan. Semua itu telah menggoreskan kenangan manis dan indah di dalam lubuk hati sanubari dua wanita jelita dan elok yang kini tengah melewati masa – masa senjanya itu.
Namun siang itu, mereka berdua memilih untuk tinggal dan duduk – duduk di serambi istana sambil sesekali mengalihkan perhatiannya ke arah gapura, wajahnya tampak khawatir dan cemas. Saat dua sosok bayangan muncul memasuki pelataran istana, wajah dua orang tokoh utama kerajaan Madangkara itu berubah menjadi ceria. Dua tamu muda yang berjalan semakin lama semakin dekat itu tidak lain dan tidak bukan adalah Raden Bentar dan Dewi Garnis.
“Daulat, Ibunda Permaisuri Dewi Paramitha dan ibunda Permaisuri Dewi Harnum ... hamba, Bentar menghaturkan sembah,” ujar Bentar.
“Daulat, Ibunda Permaisuri Dewi Paramitha dan Ibunda Permaisuri Dewi Harnum ... hamba, Garnis menghaturkan sembah,” ujar Garnis.
“Sembah kalian aku terima, Bangunlah, anak – anakku ...” ujar Dewi Paramitha.
Raden Bentar dan Dewi Garnis segera berdiri, bersama – sama dengan Dewi Paramitha dan Dewi Harnum, berjalan beriringan dan memasuki ruang utama.
“Wajah kalian terlihat murung, terutama kau Garnis... ada apa ?” tanya Paramitha.
Tangis wanita perkasa itu pecah, buru – buru duduk bersimpuh sementara wajahnya terbenam dalam pangkuan ibu kandungnya.
“Ibu, saya telah melakukan kesalahan besar terhadap Kakang Widura, bu .... “ kata Garnis di sela – sela isak tangisnya, “Saya tidak tahu lagi harus bagaimana untuk menebus kesalahan itu, Bu....”
“Anakku, Garnis.... Ibu tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Tenanglah,” ujar Dewi Paramitha kebingungan.
“Hei, ada apa ini, Bentar ?” tanya Dewi Harnum, “Wajahmu, juga murung, nak... apa sebenarnya yang telah terjadi ?”
“Daulat, ibunda Dewi Paramitha dan Ibunda Dewi Harnum... Bentar akan menceritakannya pada Ibunda berdua,” ujar Bentar.
Raden Bentar segera menceritakan pertemuannya dengan Si Cadar Hitam, orang yang telah melukai Permadi dan Shakila dengan ajian Serat Jiwa tingkat satu dan berilmu tinggi. Kali ini ia menceritakan pula siapa sesungguhnya Permadi dan Shakila, juga kejadian yang telah menimpa Widura dalam perjalanan kembali ke Blambangan, dimana dia dihadang oleh sepuluh orang pembunuh bayaran suruhan Permadi. Tanpa bantuan Si Cadar Hitam yang berilmu tinggi, mungkin dia sudah tewas. Sekalipun tidak tewas tapi, harus kehilangan tangan kirinya, juga sampai sekarang tidak diketahui dimana keberadaannya.
“Menurutmu, siapa Si Cadar Hitam itu, Bentar ?” tanya Dewi Harnum.
“Daulat, ibunda... jika dilihat dari ketinggian ilmunya, setara dengan Ayahanda Brama Kumbara. Jika Ayahanda Prabu Brama Kumbara masih hidup, akan sulit sekali menentukan siapa pemenangnya,” ujar Bentar.
“Hm, di Jawadwipa ini, orang yang paling sakti, sepengetahuanku ada beberapa orang saja : Ayahandamu, Brama Kumbara, Paman Jaka Lumayung, Bibimu Dewi Mantili Si Pedang Setan, Lasmini dan Begawan Banyu Aji atau biasa dipanggil Aki Kolot ( guru Lasmini ). Sebagian dari mereka ada yang sudah meninggal dan mengundurkan diri dari dunia persilatan,” ujar Dewi Harnum.
“Mungkinkah itu Biksu Kampala dari Tibet ? Bukankah kau tadi mengatakan bahwa dulu sewaktu ayahandamu, Sang Prabu Brama Kumbara masih hidup, hubungan mereka melebihi saudara kandung, dekat sekali ? Lantas, apakah dia Paman Jaka Lumayung, saudara seperguruan kakang Brama ?” tanya Dewi Paramitha.
“Rasanya... itu tidak mungkin Kanda Paramitha. Paman Jaka Lumayung sudah lama tidak muncul lagi di dunia persilatan, entah masih hidup atau sudah mati. Terus terang, semenjak peristiwa Pesanggrahan Keramat dan pembakaran di Gua Pantai Selatan, Ilmu Kakang Brama sudah jauh lebih tinggi daripada kakak seperguruannya sendiri,” ujar Dewi Harnum, “Kalaupun itu Biksu Kampala, Guru ananda Raden Bentar, untuk apa beliau ikut campur dengan urusan Kerajaan Madangkara dan Kerajaan Kuntala yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Negeri Tibet ?”
“Itu benar, Ibunda Harnum...” sahut Bentar, “Setelah menurunkan pelajaran tentang agama Budha, ilmu kanuragan juga kadigjayaan kepada saya, beliau memilih untuk tidak ikut campur lagi akan hal – hal yang berhubungan dengan keduniawian,”
“Hm, sekeras apapun aku berpikir, aku tidak bisa atau belum mampu menemukan jawaban yang tepat. Yang terpenting adalah, kalaupun Permadi dan Shakila adalah orang – orang Kuntala dan berniat merongrong kewibawaan kerajaan Madangkara, maka, kita harus mencegahnya,” kata Dewi Paramitha, “Tindakanmu sudah benar Bentar, sebelum menemukan kebenarannya, untuk sementara kejadian ini sebaiknya jangan sampai diberitahukan pada sang Prabu Wanapati, cukup hanya kita yang mengetahuinya. Semuanya demi kebaikan bersama. Apalagi kalian tahu bagaimana sikapnya pada Permadi dan Shakila. Kurasa dinda Harnum memahaminya, bukan ?”
“Ya, saya memahaminya walau sebenarnya saya tidak setuju karena terkesan menyembunyikan sesuatu atau bahkan membohongi Sang Prabu Wanapati, anakku. Rasanya tidak adil,” ujar Dewi Harnum, “Semenjak ia naik tahta, Madangkara selalu digerogoti oleh pihak – pihak yang tidak bertanggung jawab. Dia masih terlalu muda untuk menanggung semuanya ini. Dulu, terlalu mempercayai Kandara hingga meletus perang saudara antara Prabu Wanapati dan Raden Paksi Jaladara. Sekarang muncul Permadi dan Shakila, aku tidak bisa membayangkan apa yang kelak terjadi pada Kerajaan Madangkara, warisan Kakang Brama ini,”
“Dinda Harnum... sebaiknya kita pikirkan bagaimana caranya untuk mengatasi ini, mencegah Madangkara agar tidak jatuh ke tangan orang – orang tak bertanggung jawab yang selalu berusaha mementingkan kepentingan pribadi diatas penderitaan orang lain. Tapi, kata – kata yang diucapkan oleh Si Cadar Hitam itu.... penuh makna dan arti. MENGAIS SUKA DIATAS LUKA. Sungguh perkataan yang bijak dan bijaksana menurutku,” ujar Dewi Paramitha.
“Itulah yang Bentar pikirkan, Bu...,” ujar Bentar, “Setiap kata – kata yang terlontar, mengingatkan kepada Ayahanda Prabu Brama Kumbara, Bentar sempat terkesima saat berbincang – bincang dengannya. Menurut Bentar, itu bukan sekedar kata – kata biasa melainkan sebuah petunjuk. Yah, petunjuk untuk menghadapi kelicikan Permadi dan Shakila. Oya, bagaimana dengan keadaan mereka, bu ?”
“Mereka masih dirawat oleh tabib Istana di Istana Walet Putih. Apakah kalian ingin menjenguknya ?” tanya Dewi Harnum.
Bentar mengalihkan pandangannya pada Dewi Garnis yang masih menangis tersedu – sedu, seakan tidak peduli dengan apa yang diperbincangkan oleh semua orang.
“Kak Garnis... “ sapa Bentar dengan perasaan iba, “Saya tahu bagaimana perasaan Kak Garnis saat ini. Tapi, jika membiarkan diri kita terus – menerus larut dalam kesedihan, takkan merubah apapun. Tugas kita masih banyak, kak. Saya mohon bangkitlah. Satu – satunya jalan adalah mengorek kebenaran dari orangnya sendiri,”
“Jangan gegabah, anakku. Kau kira rencanamu ini akan berhasil ? Seorang pencuri takkan berteriak pencuri. Apalagi kau tahu, Permadi itu licik sekali... jangan sampai terjebak,” cegah Dewi Harnum.
Bentar termenung untuk sesaat lamanya. Pandangannya tertuju pada langit sebelah Barat yang mulai tampak kemerahan, seakan hendak menembus cakrawala. Tak lama kemudian, ia berkata, “Aku akan mengadakan sebuah pertaruhan,”
Ucapan Bentar ini mengejutkan semua orang termasuk Garnis yang saat itu terdiam seketika. Semua orang memandang Bentar dengan pandangan tak berkedip. Mereka ingin tahu apa yang akan dilakukan Adipati Kadipaten Jamparing itu.
“Apa maksudmu, Rayi Bentar ?” tanya Garnis.
Raden Bentar tersenyum simpul, matanya berbinar – binar lalu berkata, “Yah, itu mungkin jalan satu – satunya untuk mengorek identitas Permadi dan Shakila yang sesungguhnya. Tapi, resikonya sangat besar sekali,”
Bentar menoleh kesana – kemari, memastikan bahwa tak ada orang lain di sekitar ruang utama itu. Setelah aman barulah Bentar berbicara lirih sekali.
Begitu Bentar selesai, wajah semua orang tampak tegang terutama Permaisuri Dewi Paramitha dan Dewi Harnum.
“Banyak yang harus dipertaruhkan apabila kau merencanakan itu, Bentar,” ujar Garnis.
“Saya tahu, kak... tapi, inilah jalan satu – satunya untuk membongkar kedok Permadi dan Shakila. Mohon sudilah kakak dan para Ibunda membantu saya,” pinta Bentar.
“Aku tak habis pikir, mengapa mendadak kau punya rencana gila seperti itu,” sahut Garnis.
“Apakah kakak dan Ibunda berdua memiliki cara lain ?”
“Ibu pikir, rencanamu itu tidak masuk akal, Bentar,” ujar Dewi Harnum, “Tapi, memang, patut dicoba. Memang, rasanya tidak adil bagi ananda Prabu Wanapati jika harus menanggung beban yang cukup berat itu sendirian. Melihatmu seperti ini, ibu jadi kembali teringat Ramandamu, Brama Kumbara... bagaimana menurut kanda Dewi Paramitha,”
“Ya. Watak Ananda Bentar memang mirip sekali dengan Kakang Prabu. Tegas, bijak dan bijaksana dalam memutuskan sesuatu. Ibu yakin, kau tidak bertindak sembarangan tanpa pikiran yang matang. Apa yang terjadi pada Madangkara saat ini, pasti ada hikmahnya tersendiri. Walau dalam hati kecilku, belum bisa menerimanya,” kata Dewi Paramitha.
“Untuk melaksanakan itu, kita tidak bisa bekerja sendiri, kak... butuh orang yang, selain mampu berbaur dengan orang dari golongan hitam maupun dari golongan putih, ia juga harus memiliki ilmu yang tinggi,” ujar Bentar.
“Aku ... aku tahu siapa orang itu, walau sebenarnya, dalam hati kecilku sangat membencinya. Sifatnya yang buruk bahkan pernah membuat hatiku terluka. Aku pernah bersumpah untuk tidak menemuinya lagi,”
“Kak Garnis, harap singkirkan dulu semua hal yang berhubungan dengan perasaan. Yang paling utama adalah, kita harus membasmi orang – orang Kuntala itu sampai ke akar – akarnya. Setelah tujuan kita tercapai, barulah kita bisa mengambil sikap selanjutnya terhadap orang itu,” kata Bentar.
Garnis menghela nafas panjang, “Baiklah aku akan mencobanya, tapi, aku tidak bisa melakukannya sendirian,”
“Aku akan menemanimu, kak... jika Dewata yang Agung mengijinkan, kita pun pasti bisa menemukan keberadaan Kakang Widura,” sahut Bentar.
..._____ bersambung _____...