Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 31
Benar saja, tak lama setelah percakapan di dapur antara Pak Yusron dan Bu Marni usai, sebuah pesan masuk ke ponsel Pak Yusron. Nama Bagas terpampang di layar. Jantung Pak Yusron berdegup pelan. Ia tahu, cepat atau lambat pertanyaan itu akan datang.
Bagaimana perkembangan terakhir? Ada pria itu di rumah?
Pak Yusron melirik ke ruang tamu. Raka memang ada di sana, duduk sopan, bercakap ringan dengan Bu Aruna yang masih tampak lemah. Di dekat mereka, Bu Marni sesekali menyuguhkan teh dan membantu memindahkan barang ke dapur. Tak ada gerak-gerik mencurigakan, semua berlangsung terang-terangan.
Dengan ragu, Pak Yusron membalas pesan itu dengan tenang:
"Iya, Pak. Tadi Pak Raka mampir. Tapi di rumah tidak hanya berdua, Bu Marni juga ada. Mereka hanya di ruang tamu, dan sejauh ini saya tidak melihat hal yang aneh."
Tak lama setelah pesan itu terkirim, suara dering telepon membuat suasana makin tegang. Nama yang sama Bagas. Pak Yusron mengangkat.
"Kenapa pria itu mesti ke rumah dulu?!" suara Bagas langsung meninggi di seberang, tak memberi ruang untuk jeda. "Kenapa nggak langsung ke kebun aja?! Emangnya dia nggak punya kerjaan lain?!"
Pak Yusron menarik napas pelan sebelum menjawab, "Maaf, Pak. Kejadian kemarin cukup serius. Pak Raka yang bantu Bu Aruna saat jatuh. Saya rasa wajar kalau beliau ingin memastikan keadaan Bu Aruna pagi ini."
Suara di seberang hening sejenak, sebelum akhirnya Bagas kembali menghardik.
"Pak Yusron ini kok malah seperti membela mereka?!"
Pak Yusron buru-buru menjelaskan, "Bukan membela, Pak. Saya hanya menyampaikan kenyataan. Mereka bersikap sopan. Bu Aruna pun jelas menjaga batas. Sampai saat ini tidak ada yang mencurigakan."
"Saya nggak butuh penilaian, Pak!" potong Bagas. "Saya butuh laporan! Ikuti terus! Saya nggak mau kecolongan. Laporkan setiap gerakan pria itu kalau masih datang ke rumah saya!"
Telepon itu pun ditutup sepihak, meninggalkan denting sunyi yang menggantung di udara. Pak Yusron menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum meletakkannya kembali ke meja dengan wajah berat.
Dari balik dapur, Bu Marni memerhatikan Pak Yusron. Ia sudah menduga, arah percakapan itu pasti memanas.
"Apa lagi katanya?" tanya Bu Marni lirih.
Pak Yusron menghela napas, lelah. "Suruh pantau terus. Terus katanya aku malah belain Bu Aruna sama Mas Raka."
Bu Marni menggeleng, kecewa. "Sampai kapan Bapak mau ikut-ikutan dalam bara rumah tangga orang? Jangan sampai niat baik berubah jadi bumerang."
Pak Yusron diam. Matanya tertuju ke arah ruang tamu, tempat Aruna dan Raka masih berbincang ringan. Dalam hati kecilnya, ia tahu niat menjaga bisa menjadi pisau bermata dua, terutama jika dicampuri rasa curiga yang membutakan.
Rasa curiga di dada Bagas tak kunjung mereda. Percakapan dengan Pak Yusron yang selalu terdengar netral bahkan seolah membela Raka, membuatnya gusar. Ia merasa diawasi pun tidak akan ada bedanya kalau hanya mendapat laporan yang setengah-setengah. Ia butuh seseorang yang bisa ia kendalikan sepenuhnya. Seseorang yang tidak akan berpihak kecuali padanya.
Pikiran Bagas melayang ke masa lalu. Ia teringat seseorang, Agus. Teman masa kecilnya, satu sekolah dasar. Dulu mereka kerap bermain layangan dan mandi di sungai bersama. Tapi hidup mereka berpisah di simpang berbeda. Saat Bagas melanjutkan sekolah, Agus terpaksa berhenti. Keluarganya tak mampu membayar biaya pendidikan. Akhirnya Agus bekerja di kebun milik ayah Bagas, dan bertahan sampai hari ini. Ia tahu betul, Agus orang yang setia dan tak banyak cakap. Dan yang paling penting masih punya hutang budi pada keluarganya.
Bagas segera mencari nomor lamanya. Setelah beberapa kali nada sambung, suara berat dan lembut menyahut di seberang sana.
“Halo, ini Agus.”
“Gus ini aku, Bagas. Masih ingat aku?”
Sejenak hening, lalu terdengar suara Agus yang hangat namun agak kaget, “Wah, Mas Bagas? Ya ampun, sudah lama sekali. Apa kabar, Mas? Tumben nelpon aku nih, ada apa, Mas?"
Bagas tersenyum tipis. “Baik, Gus. Aku hubungi kamu karena lagi butuh bantuan. Tapi ini jangan diceritain ke siapa-siapa dulu, ya.”
“Siap, Mas. Ada apa?”
“Aku pengen tahu kondisi kebun. Sekarang aku nggak bisa sering-sering ke sana, jadi pengin ada yang bisa aku percaya buat kasih kabar rutin. Termasuk kalau ada orang luar yang datang, atau kegiatan apa aja yang terjadi di sekitar rumah. Kamu ngerti maksudku?”
Agus terdengar ragu. “Orang luar, Mas? Maksudnya siapa aja yang ke rumah Bu Aruna?”
Bagas langsung menimpali, nada suaranya tenang tapi penuh tekanan, “Gus, kamu tahu sendiri... Aruna sekarang lagi sendiri. Kemarin juga sempat jatuh di kebun. Aku cuma... khawatir. Aku pengen pastikan semuanya aman, gitu. Nggak lebih.”
Agus terdiam sebentar. “Kalau soal kondisi kebun sudah terkendali karena kesigapan Pak Raka dan kalau sekitar rumah Bu Aruna kan ada Pak Yusron, Mas. Mas Bagas bisa tanya langsung, kan?"
“Gus, kamu cuma perlu lapor kalau ada hal yang mencurigakan. Itu aja. Nggak perlu ikut campur. Nanti kalau kamu butuh tambahan buat ongkos, bilang aja. Aku bantu.”
Agus menarik napas panjang. Ia tak pernah berani menolak langsung permintaan dari Bagas, apalagi yang berkaitan dengan keluarga majikannya sejak dulu. Tapi ada ganjalan di hatinya. Ia kenal siapa Bu Aruna, dan ia juga sering melihat bagaimana pria bernama Raka itu bersikap. Selama ini tidak ada yang pantas dicurigai. Tapi ia tahu, perintah tetaplah perintah.
“Baik, Mas. Nanti saya perhatikan. Kalau ada apa-apa, saya kabari.”
“Bagus. Aku percaya sama kamu, Gus.”
Setelah telepon ditutup, Bagas bersandar. Hatinya masih penuh gejolak. Curiga dan cemburu bercampur menjadi bara yang belum padam. Ia tahu, sesuatu sedang berubah. Dan ia tak ingin kehilangan kendali.
O ya aku udah jg ngeliat visual mereka di ig mu Thor, Aruna cantik banget dan Raka guanteng abis 🫶