Nesa Callista Gambaran seorang perawat cantik, pintar dan realistis yang masuk kedalam kehidupan keluarga Wijaksono secara tidak sengaja setelah resign dari rumah sakit tempatnya bekerja selama tiga tahun terakhir. Bukan main, Nesa harus dihadapkan pada anak asuhnya Aron yang krisis kepercayaan terhadap orang lain serta kesulitan dalam mengontrol emosional akibat trauma masa lalu. Tak hanya mengalami kesulitan mengasuh anak, Nesa juga dihadapkan dengan papanya anak-anak yang sejak awal selalu bertentangan dengannya. Kompensasi yang sesuai dan gemasnya anak-anak membuat lelah Nesa terbayar, rugi kalau harus resign lagi dengan pendapatan hampir empat kali lipat dari gaji sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jaraknya Terlalu Jauh
Akhirnya mereka memasuki satu restoran yang menyediakan baby chair dan bubur untuk bayi seusia Arav.
“Kakak duduk disamping Daddy oke?”
Aron menggeleng kuat “Tidak mau.”
Nesa menghela nafas pelan, ada apa lagi ini?
“Ya sudah duduk disebelah Sus ya. Kakak mau makan apa?”
“Tidak mau makan. Mau makan sopnya Sus saja.”
Aduh Nesa pusing sekali. Apa begini rasanya ibu-ibu yang punya anak dua. Nesa harus ekstra sabar.
“Memangnya Kakak nggak lapar? Tadi pagi juga makannya sedikit loh Kak.”
“Nggak lapar.” Jawab Aron yakin.
“Sus suap ya…” Nesa mengambil sop lalu mencampurnya dengan nasi. Aron paling suka jika sopnya di aduk dengan nasi. Perlahan Nesa menyuapi Aron, syukurnya Aron mau membuka mulut.
“Manja..” Cetus Arthur. Merasa diejek Aron merengut dan menolak untuk disuapi lagi.
“Paaak…. Ayo dong dewasa sedikit.”
“Apa kamu bilang?”
“Tidak ada. Mending Bapak suapin anaknya nih.” Nesa menyerahkan bubur Arav yang baru habis seperempatnya. Nesa ini sedang pusing, kali ini saja tolong bapaknya juga jangan ikut-ikutan.
“Saya tidak bisa.”
“Dicoba dulu Pak atau Bapak tolong suapin Kak Aron saja.” Karna sedang lapar, Arav memang tidak sabaran untuk disuapi. Bayi pulennya merengek saat menunggu terlalu lama sementara disisi lain Nesa juga harus menyuapi Aron.
“Tidak mau sama Daddy.” Ujar Aron penuh perlawanan.
“Cih…” Mau tidak mau Arthur menyuapi Arav. Dalam hati sebenarnya sedikit kasihan pada Nesa yang kerepotan mengurus anak-anaknya.
“Aaaaaaa bilang gitu loh Pak ke anaknya.” Seru Nesa. Karna merasa asing Arav tidak membuka mulut sementara ayah dua anak itu juga tidak ada inisiatif mengajak anaknya berinteraksi.
“Bawel kamu.”
“Aaaaaa…” Kata Arthur dengan canggung. Naasnya bayi gembul itu tetap menutup mulut saat di suapi oleh daddynya.
”Kamu jangan bengong, buka mulut yang lebar! Habiskan makananmu.”
Nesa melongo, astaga memang Arthur sangat tidak bisa diandalkan. ‘Gimana anaknya mau terbuka kalau caranya begitu, hadeh si duda tua ini.’
“Nyam nyam nyam aaaa sayang…” Arav langsung membuka mulut.
“Anakku kamu kasih apa sih, kok maunya sama kamu saja?”
”Saya kasih pelet Pak.”
“Jangan macam-macam kamu, saya bisa penjarakan kamu seumur hidup kalau kami berani main-main dengan anak saya.” Astaga sekali lagi Nesa melongo, Pak Arthur benar-benar diluar nalar.
“Nggak mungkinlah saya pelet anak Bapak. Lagian jaman sekarang mana ada pelet-peletan lagi Pak. Daripada ngomongin pelet mending Bapak tanya diri sendiri, selama ini gimana sama anak-anak makanya mereka nggak mau sama daddynya sendiri.”
“Iya iya saya ngerti, ini juga saya lagi usaha.“
Nesa terdiam, kaget bahwasanya Arthur mau berusaha mendekatkan diri pada anak-anaknya.
“Terimakasih Pak.” Ucap Nesa setelah cukup lama terdiam.
“Sudah, kok malah trimakasih. Saya kan tidak memberikan apa-apa kepada kamu. Ini kamu saja yang suapin Arav. Dia enggak mau sama saya.”
Nesa pun menyuapi Aron dan Arav bergantian.
“Ada ingusnya Sus.” Aron menunjuk hidungnya yang meler. Nesa segera membersihkannya tanpa rasa jijik.
“Nah sudah, ayo lanjut makan lagi.”
Arthur memperhatikan Nesa yang sejak tadi sibuk dengan kedua anaknya. Bahkan gadis itu belum menyentuh makanannya sedikit pun. Arthur saja langsung baby blues melihat pemandangan ini. Tapi gadis ini bahkan sangat sabar terhadap perubahan mood Aron, tidak juga jijik membersihkan ingus anaknya. Arthur memperhatikan wajah Nesa lekat, baru sadar gadis dihadapannya ternyata cukup cantik. Kecantikan khas Indonesia yang belum tersentuh teknologi alat estetika masa kini, kesan natural dan mmm sexy. Secara fashion juga tidak norak, cukup fashionable untuk sekelas pengasuh anak.
‘Sial… apa yang baru saja kupikirkan.’
“Habis, good sekali Kakak dan Adik. Sus Nesa seneng banget kalau kalian makannya lahap begini. Makin sayang deh.” Nesa tepuk tangan ceria menatap piring dan mangkok mereka sudah kosong. Kalau sudah begini sekarang giliran Nesa untuk makan dengan tenang.
“Bapak enggak makan?” Ucap Nesa melihat piring milik Arthur masih utuh.
“Oh iya ini saya baru mau makan. Setelah ini apa masih ada yang mau dibeli?”
“Tidak Pak, harusnya sudah semua.” Arthur mengangguk.
“Habiskan makanan kamu.”
“Tentu dong Pak, sayang kalau terbuang. Mending masuk ke perut saya.”
‘Ada saja jawaban dari gadis ini, apa adanya dan tidak dibuat-buat’ Batin Arthur. Masa sekarang banyak orang hidup dalam kepura-puraan seiring dengan semakin tingginya persaingan. Tidak bisa disalahkan, hanya saja untuk pekerjaan yang bersifat pribadi loyalitas itu nomor satu. Dan menurut Arthur gadis ini memilikinya, dia agak berbeda dari babysitter anaknya yang sebelumnya.
“Ya ampun Pak, belanjaan kita kemana? Aduh gimana ini.” Nesa panik, kalau soal ini dia tidak bisa tenang. Itu semua mahal, bagaimana kalau diambil orang. Rugi dong.
“Diem! Bawel, saya sudah minta mereka untuk antar langsung kerumah.”
Nesa langsung tarik nafas lega, “Bapak sih tidak bilang-bilang, saya kan jadi panik. Mana itu barang mahal semua.”
“Berani kamu nyalahin saya.”
“M-maaf Pak, maksud saya bukan gitu.”
“Sudah, selesaikan makanmu.”
“Baik Pak.”
“Aku mau tidur di belakang, Sus Nesa duduk di depan saja.”
“Gapapa kok Kak, Sus di belakang saja. Sus langsing kok, Jadi Aron masih tetap bisa tidur dengan nyaman.”
“Pindah depan saja, biar Aron tidur dibelakang.” Perintah Arthur. Nesa memejamkan mata, ‘Tuhan aku meles banget duduk didepan, nggak leluasa mau ngapa-ngapain.’
“Ayo buruan.”
“Ta-tapi Pak.”
“Tidak ada bantahan.” Perintahnya mutlak.
Suka tidak suka akhirnya Nesa duduk di depan bersama Arthur. Arthur menjalankan kemudi dengan hati-hati. Tak lama setelah meninggalkan parkiran mall Arav merengek sepertinya dia agak mengantuk.
“Tolong ambilin tas adik Kak.”
“Nih Sus.”
“Thanks Kak.”
“Biar aku saja Sus.” sahut Aron tahu Nesa akan membuat susu untuk adiknya.
“Boleh k…..”
“Kamu tidak bis…” ucap Nesa dan Arthur bersamaan.
Mendengar ucapan daddynya Aron langsung berdecak kesal. Aron yang sudah tidak mood langsung memilih berbaring menyamping memunggungi kursi kemudi. Sejak masuk ke restoran tadi mood Aron memang tidak bagus. Entah apa yang sedang anak itu pikirkan.
Dalam diam Nesa membuatkan susu untuk Arav. Suasana di mobil menjadi sepi, Arthur juga sibuk dengan pemikirannya sendiri.
Melihat botol susunya sudah di depan mata Arav langsung membuka mulutnya tidak sabaran. Sekarang dia sudah pintar memegang botol susu sendiri. Perkembangannya yang cukup pesat sering kali membuat Nesa terkesima. Nesa menoleh kebelakang dengan tatapan khawatir.
“Kak…”
Aron sama sekali tidak menjawab. Entah anak itu pura-pura tidak mendengar atau justru benar-benar sudah tidur.
Arav menggenggam erat jari telunjuk Nesa. Mata bulat itu melihatnya seolah paham apa yang sedang dia rasakan. Arav mengusap-usap wajah Nesa, tak lama kemudian bayi itu terlelap dalam mimpinya. Nesa mengelus pipi Arav dengan lembut. Tidur yang nyenyak anak baik.
‘Kamu memang penenang dalam ketidakberdayaan Arav, Sus Nesa sayang sekali pada Arav.’