Ketakwaan dan kebaikan akhlak Zidan membuat Sabrina jatuh cinta kepadanya. Terlebih lagi dia berhutang nyawa kepada pemuda desa itu. Demi menikah dengan Zidan, Sabrina rela menukar dengan dicoret dari daftar nama keluarganya yang kaya raya.
Sifat dan tingkah laku Sabrina yang polos, jujur, dan aneh bin ajaib perlahan membuat Zidan jatuh hati kepadanya. Konsekuensi menikah dengan Sabrina, Zidan dipecat dari kantor perusahaan Jaya Grup milik keluarga Sabrina. Zidan pun pulang ke kampung membawa Sabrina.
Bu Maryam yang benci wanita kota memandang rendah Sabrina, terlebih sang menantu tidak bisa melakukan pekerjaan apa pun. Belum lagi Sabrina sering salah mengartikan ucapannya, membuat wanita paruh baya itu sering emosi.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Semua wanita yang ada di sana menatap ke arah Dudi dengan tajam sekaligus penasaran. Tatapan mereka seperti sinar X yang mencoba menembus isi kepala laki-laki itu. Dudi, pria bertubuh tegap yang biasa tampil tenang, tampak sedikit gelisah saat menjadi pusat perhatian. Laki-laki itu kerja di kota sebelah dan hanya pulang dua minggu sekali karena mengambil lembur di minggu ganjil—alasan yang sebelumnya tak pernah dipertanyakan.
"Apa kamu selingkuh, Bang?" tanya Dewi dengan nada tinggi dan mata menyipit curiga, seperti elang mengamati mangsa.
"Siapa yang selingkuh?" jawab Dudi dengan nada yang tidak kalah tinggi, sorot matanya menyala penuh perlawanan. "Kamu jangan alihkan pembicaraan kita tadi."
Ketegangan pun memuncak. Udaranya berubah pekat, seperti sebelum hujan deras turun. Napas Dewi memburu, sementara tangannya yang gemetar mendorong dada Dudi dengan penuh emosi.
"Kalau begitu untuk apa minta uang sebanyak itu?" tanyanya lagi, matanya menatap lekat, mencoba menemukan kebohongan di wajah suaminya.
"Karena aku butuh buat bayar ganti rugi," jawab pria berbadan tegap dan berambut cepak itu dengan suara agak turun. Nada suaranya tidak lagi garang, tapi lebih mirip orang yang sedang menahan sesuatu—entah amarah atau rasa malu.
Sabrina dan Bu Maryam saling menoleh. Ekspresi mereka berubah dari bingung menjadi waspada. Di sisi lain, Wa Eneng malah mendengus sambil membuang muka, seolah berkata dalam hati, "Sudah kuduga ada udang di balik bakwan."
"Memang kamu sudah melakukan apa sampai butuh uang untuk ganti rugi sama orang?" tanya Ceu Romlah, alisnya bertaut rapat dan napasnya tertahan.
"Aku nabrak orang dan keluarganya minta uang sebanyak 25 juta. Kalau tidak aku akan dimasukkan ke penjara," jawab Dudi dengan lirih. Suaranya seperti kabut yang turun pelan, nyaris hilang ditelan angin.
"Apa?" Semua orang terkejut.
Dewi dan Ceu Romlah terhuyung, kedua kakinya mendadak kehilangan tenaga. Wajah mereka mendadak pucat seperti kain yang terlalu lama direndam pemutih. Sabrina buru-buru menahan tubuh Dewi, sementara Bu Maryam dengan sigap memegangi lengan Ceu Romlah.
"Memangnya orang itu mati?" tanya Ceu Romlah dengan jantung berdetak kencang, nyaris memecah dada.
Dudi mengangguk tanpa bersuara. Matanya berkaca-kaca, tapi tak satu pun air mata jatuh. Tangisnya seperti tersangkut di tenggorokan.
"Wi, kamu tidak mau, kan, aku masuk penjara?" tanya Dudi sambil memegang kedua tangan istrinya. Suaranya memelas, penuh tekanan dan manipulasi terselubung.
Dewi terlihat bingung. Pandangannya kosong. Di satu sisi, dia tidak punya uang sebanyak itu. Di sisi lain, dia tidak ingin suaminya masuk penjara dan jadi bahan gunjingan tetangga.
"Kalau kamu tidak punya uang tabungan, jual dulu semua perhiasan kamu. Nanti jika ada uang beli lagi. Kedepannya aku akan semakin rajin lembur biar uang cepat terkumpul," lanjut Dudi dengan nada yang semakin mendayu, penuh rayuan yang dibungkus rasa takut.
"Tapi, Bang ...."
"Wi, aku mohon! Aku tidak mau masuk penjara. Apa kamu mau dibicarakan banyak orang punya suami narapidana?" potong Dudi dengan suara yang kembali meninggi, seolah mencoba mengunci semua kemungkinan jawaban dari istrinya.
"Walau menjual semua perhiasan yang aku miliki, enggak akan ada sebanyak itu, Bang." Dewi menggelengkan kepala dengan pasrah. Suaranya bergetar, antara sedih dan marah.
"Jadi, kamu mau aku masuk penjara, gitu? Biar anakmu diolok-olok sama tetangga, sama orang lain, dan nanti kalau sudah gede dikatai ‘anak narapidana, iya, mau kamu begitu?" Nada bicara Dudi kembali meninggi, seperti api yang disiram bensin.
Awalnya Sabrina merasa kasihan kepada Dudi. Namun, pria itu terlihat memaksa dan nyolot, malah membuatnya kesal dan muak. Ada sesuatu yang tidak beres, batinnya berkata.
"Bang Dudi ini aneh sekali, ya!" celetuk Sabrina, suaranya tajam dan tak lagi menahan diri. Seketika itu juga, semua kepala menoleh padanya.
"Aneh apanya, Neng?" tanya Bu Maryam dengan penasaran, alisnya naik seiring ketegangan yang semakin memuncak.
"Aku kasih tahu Mamah, ya. Seorang pelaku kejahatan biasanya akan mengatakan atau melakukan apa pun demi menjaga keamanan dirinya. Berbeda dengan orang yang tidak sengaja melakukan suatu tindakan yang salah dan mencelakakan orang lain. Biasanya orang itu akan merasa bersalah dan tidak akan melibatkan orang lain dalam kesalahan yang sudah diperbuatnya," jawab Sabrina yang mendadak pintar merangkai kata. Wajahnya penuh keyakinan, matanya berkilat seperti detektif di film-film kriminal.
Orang-orang yang tahu Sabrina agak "Oneng" sedikit, dibuat menganga mulutnya. Sampai-sampai Ceu Romlah harus mengibaskan tangannya ketika merasa akan ada nyamuk masuk ke mulutnya.
"Dari sini kita bisa ambil beberapa kesimpulan," lanjut Sabrina sambil mengacungkan kelima jarinya seperti guru TK sedang memberi pelajaran penting.
"Pertama!" Sabrina menekuk satu jari dan membiarkan keempat jarinya masih mengacung.
Merasa kurang tepat, Bu Maryam membenarkan posisi jari-jari lentik sang menantu. Kini jari telunjuk Sabrina yang ngacung dan keempat lainnya mengepal.
"Kecelakaan itu sebenarnya tidak terjadi alias bohong! Bang Dudi saat ini butuh uang banyak dalam waktu singkat," lanjut Sabrina dan membuat semua orang kini menatap ke arah Dudi dengan sorot berbeda—antara curiga dan murka.
"Apa? Gila kamu, ya? Berani menuduh aku seperti itu," bantah Dudi, suaranya bergetar, tapi wajahnya tidak sekuat ucapannya.
"Coba kalian pikir dengan otak yang waras. Bang Dudi kan pulang kemari malam. Lalu, kenapa baru sekarang bilang sudah nabrak orang? Pada umumnya, jika orang yang sudah menabrak orang tidak sengaja dan keluarga korban minta uang ganti rugi, maka begitu sampai rumah akan langsung membicarakan hal ini sama keluarga. Masa sudah dua belas jam berada di rumah, baru bilang?" jelas Sabrina dengan lantang. Setiap katanya seperti peluru yang ditembakkan ke arah Dudi.
Perlahan, keempat wanita lainnya mulai berpikir. Wajah mereka berubah dari bingung menjadi tercerahkan.
"Bener juga, ya!" ucap keempat wanita itu kompak. Sorakan kecil pun muncul dari mulut Wa Eneng yang sedari tadi hanya diam dan menonton.
"Tumben menantuku pintar!" ucap Bu Maryam senang, pipinya memerah bangga. "Tidak sia-sia aku setiap hari kasih minyak ikan dan sirup cerebrofort—sirup anak-anak biar cerdas."
***