"aku...aku hamil Rayan !!" teriak frustasi seorang gadis
" bagaimana bisa laa" kaget pemuda di depannya.
Laluna putri 19 tahun gadis desa yatim piatu yang tinggal bersama neneknya sejak kecil.
Rayyan Aditya 22 tahun mahasiswa semester akhir anak orang berada asal kota.
Alvino Mahendra 30 tahun CEO perusahaan besar AM grup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rizkysonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28.
...
Sore itu, langit mulai berubah warna. Jingga menyapa perlahan di balik jendela kamar. Laluna duduk diam di tepi ranjang, menatap layar ponsel yang menampilkan foto Rayyan tersenyum — senyum yang selalu membuat hatinya hangat, sekaligus nyeri setiap kali mengingat jarak di antara mereka.
Sudah beberapa minggu Rayyan pergi. Hari-hari terasa panjang tanpa suara lembutnya yang biasa mengingatkan, “Jangan lupa makan, ya, sayang.”
Kini, hanya gema kenangan yang menemaninya.
Luna menarik napas pelan, lalu menulis pesan di ponselnya.
“Aku rindu kamu, kak. Rindu suaramu, candamu, dan caramu menatap aku seolah dunia ini cuma milik kita berdua.”
Namun, pesannya tak segera ia kirim. Ia tahu Rayyan sedang sibuk, tapi rindu memang tak tahu waktu.
Di luar, suara Bu Meri memanggil. menyuruhnya makan malam. Luna tersenyum samar. Ia mulai belajar berdamai dengan sepi, mencoba kuat, meski di dalam dada, rindunya terus menumpuk.
Sebelum tidur, Luna menatap langit malam dari jendela.
“kak Rayyan, semoga kamu di sana baik-baik saja. Aku di sini, masih seperti biasa... menunggumu pulang.”
Dan di bawah sinar bulan yang temaram, Laluna menutup mata dengan perasaan campur, antara bahagia karena cinta, dan rindu yang tak pernah habis.
Beberapa menit berlalu sejak pesan itu terkirim.
Laluna masih menatap layar ponsel dengan mata sembab.
Tak ada balasan… hanya kesunyian.
Ia menarik napas pelan, mencoba menenangkan diri.
Tapi tiba-tiba, ponselnya bergetar.
Layar menyala. nama Rayyan muncul di sana.
Jantung Luna berdebar keras.
Ia segera menggeser tombol hijau itu dengan tangan gemetar.
“Ha… halo, kakk…” suaranya bergetar, nyaris berbisik.
Dari seberang terdengar suara yang begitu ia rindukan. Hangat, lembut, namun terdengar lelah.
“lalaa… maaf ya, aku baru sempat lihat pesan kamu. Aku juga rindu kamu… setiap hari.”
Air mata Luna langsung tumpah.
“kak… aku nggak kuat. Rumah ini terasa kosong banget tanpa kamu. Aku berusaha senyum, tapi rasanya hampa…”
Rayyan terdiam sejenak, seolah sedang menahan perasaannya sendiri.
“Aku tahu, sayang. Aku juga ngerasa hal yang sama. Setiap malam aku ngelihat foto kamu, aku pengen banget pulang. Tapi aku harus selesaikan kuliah ku dulu di sini.”
Luna terisak, suaranya pecah.
“Aku cuma pengen peluk kamu, kak. Aku pengen kamu di sini.”
“Sabar ya, cintaku,” suara Rayyan terdengar serak, penuh rindu yang ditahan. “Aku janji, aku bakal pulang secepatnya. Kamu harus kuat… buat aku, buat bayi kita.”
Luna menutup mata, menahan isak.
Kata-kata itu seperti obat penenang, tapi juga membuat rindunya semakin dalam.
“Aku sayang kamu, kak Rayyan…”
“Aku juga, Lala. Lebih dari apa pun.”
Suara di seberang sana menenangkan, meski jarak memisahkan.
Malam itu, dua hati yang rindu akhirnya kembali bertemu lewat suara.
Dan di antara air mata, Luna tersenyum—karena setidaknya, malam itu ia tahu: cintanya masih dijaga, di seberang sana, oleh orang yang sama-sama menahan rindu.
...
Malam itu sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar pelan di kamar. Laluna duduk bersandar di tepi ranjang, menatap kosong ke arah pintu yang dulu selalu dibuka Rayyan setiap hari.
Kini pintu itu tetap tertutup… seperti jarak di antara mereka.
Setiap hari ia mencoba kuat, berpura-pura tegar di depan Bu Meri dan yang lain. Tapi malam selalu jadi waktu paling berat, waktu di mana ingatan tentang Rayyan datang tanpa bisa diusir.
Foto mereka berdua masih tergantung di dinding. Luna mengelusnya perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kamu tahu nggak, kak… rumah ini terasa hampa tanpa kamu. Bahkan udara pun seolah ikut berubah sejak kamu pergi.”
Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia menunduk, memeluk kemeja Rayyan erat-erat seolah memeluk bayangan Rayyan.
Rasa rindunya sudah terlalu dalam, terlalu sesak untuk disembunyikan.
Ia mengambil ponselnya, menatap nama Rayyan di layar. Jemarinya gemetar saat mengetik pesan:
“Aku nggak kuat lagi nahan rindu ini, Rayyan. Aku cuma pengen dengar suaramu, meski sebentar aja…”
Pesan itu terkirim.
Beberapa detik terasa seperti selamanya.
Luna menatap layar tanpa berkedip, berharap tanda typing... muncul. Tapi tidak ada.
Ia menarik napas panjang, air mata kembali mengalir.
“Aku cuma ingin kamu tahu… aku benar-benar merindukanmu.”
Di luar, angin malam berhembus pelan, membawa suara lirih tangisnya yang terpendam selama ini.
Rindu itu tak lagi bisa disembunyikan — ia tumbuh, menyesak, dan menjadi bagian dari setiap napas Laluna..
...
Malam itu berakhir dengan tenang. Setelah telepon ditutup, Laluna masih memeluk ponselnya erat-erat, seolah suara Rayyan masih mengalun di telinganya. Air mata belum kering di pipi, tapi hatinya kini terasa sedikit lebih ringan. Ia menatap langit-langit kamar, tersenyum di tengah sesak yang belum hilang. Dalam hatinya, ia berbisik pelan, “Aku akan kuat, kak… karena di setiap rindu ini, aku tahu ada kamu yang juga menunggu waktu untuk pulang.”
...
Cahaya pagi perlahan menembus tirai jendela kamar.
Laluna membuka mata dengan perasaan yang berbeda dari malam sebelumnya. Ada hangat yang tertinggal, seolah suara Rayyan masih bergaung lembut di dalam dadanya.
Ia duduk pelan di tepi ranjang, memandangi ponsel di meja. Masih ada pesan terakhir dari Rayyan “Jaga diri baik-baik ya, aku sayang kamu.”
Membacanya kembali membuat sudut bibirnya terangkat, meski matanya masih sembab.
Luna bangkit, melangkah ke depan cermin. Wajahnya terlihat lelah, tapi ada sinar baru di matanya.
“Pagi ini aku harus kuat,” gumamnya pelan, menyentuh perut yang mulai membulat. “Aku nggak sendiri, ada kamu… dan bayi kecil kita.”
Suara burung di luar jendela menyapa lembut, seolah ikut memberi semangat.
Luna tersenyum kecil, lalu membuka jendela, membiarkan udara pagi masuk.
Untuk pertama kalinya sejak Rayyan pergi, ia merasa tenang.
Rindu itu belum hilang, tidak akan pernah hilang, tapi kini rindu itu berubah menjadi kekuatan.
setelah merasa hatinya mulai tenang ia bergegas keluar..
" pagi ma.." sapa nya saat melihat Bu Meri sedang duduk di ruang keluarga sambil minum teh
" pagi lun... Tumben baru keluar, kamu baik-baik saja kan" tanyanya khawatir
" aku baik-baik saja mah" jawab Luna tersenyum
" ya udah kita sarapan yu.. Bentar mama panggil papa dulu, kamu duluan aja"
" iya mah" Luna berjalan pelan menuju meja makan, di sana ada bi Ida yang masih membereskan meja
" selamat pagi bi... Maaf ya aku gak bantuin nyiapin sarapan, tadi kesiangan" cicit Luna merasa bersalah
" pagi juga nduk... Apa sih kok pake minta maaf segala, orang kamu gak salah juga, sudah seharusnya bibi yang nyiapin ini semua. Kan emang tugas bibi hehe"
" iya sih bi.. Tapi kan biasa nya aku bantuin "
" sudahlah ayo sarapan bibi kebelakang dulu"
Suasana pagi ini cukup hangat, mereka sarapan dengan suka cita.
.
.
.
.
Selamat membaca ☺️
Tetap dukung author dengan like dan komen dan vote nya ya 🤗
Love
you
😍