NovelToon NovelToon
Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Terlahir Kembali Memilih Menikahi Pria Koma

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta setelah menikah / Mengubah Takdir / Dark Romance
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: Novia na1806

Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.

Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.

Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 6 -- malam baru saja di mulai!

Lampu-lampu mewah berderet di sepanjang jalan menuju ballroom utama. Mobil hitam milik Andrian berhenti perlahan di depan karpet merah, disambut sorotan lampu kamera dan suara tamu-tamu yang berbisik kagum.

Aruna membuka matanya perlahan, seolah baru terbangun dari lamunan. Ia menatap ke luar jendela, melihat kemegahan gedung itu—tempat yang sama, malam yang sama, tapi kini dengan makna yang berbeda.

Di kehidupan lalu, tempat ini adalah awal tragedinya.

Kini, tempat ini adalah panggung pembalasannya.

Andrian turun lebih dulu, membuka pintu belakang dengan senyum khasnya yang menawan—senyum yang telah membuat banyak wanita jatuh tanpa sadar.

“Turunlah, Ru,” katanya lembut, nada suaranya begitu manis hingga siapa pun yang mendengar akan mengira itu ketulusan.

Aruna menatapnya dengan mata berair, senyum kecil di bibirnya tampak tulus dan lembut. Ia menyentuh tangan Andrian dengan ragu, lalu menggenggamnya erat, seperti seseorang yang takut kehilangan pegangan hidup.

“Andrian…” ucapnya lirih, suaranya seperti hembusan napas. “Aku senang kau mau datang bersamaku malam ini.”

Andrian menahan helaan napas—ia ingin menepis tangan itu, tapi tidak bisa.

Ia memainkan perannya dengan sempurna.

Ia menunduk sedikit, menatap Aruna dengan tatapan yang dibuat-buat lembut. “Tentu saja aku datang. Aku tak mungkin menolak permintaanmu, kan?”

Senyum manis terukir di wajah Aruna. Ia menatapnya lama, seolah benar-benar terpesona.

Dalam diam itu, Andrian bisa melihat bayangan masa lalu—Aruna yang dulu begitu lemah, mudah dikendalikan, dan selalu mencari perhatiannya.

Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda di balik mata itu.

Sesaat, ia hampir merasa sedang ditatap balik oleh seseorang yang tahu lebih banyak darinya.

Tapi sebelum pikirannya sempat menelisik lebih dalam, Aruna sudah melangkah keluar dari mobil dan menggandeng lengannya erat-erat.

Gerakannya lembut, tapi melekat—seolah ia ingin dunia tahu, bahwa ia masih gadis yang tergila-gila pada pria ini.

“Lihat, mereka menatap kita,” bisik Aruna sambil tersenyum malu-malu. “Kau masih jadi pusat perhatian seperti biasa.”

Andrian membalas senyumnya tipis, tapi di balik wajah ramah itu, pikirannya berputar dingin.

benar-benar menjijikkan!.

Masih gadis yang sama, berpura-pura manis hanya untuk mendapatkan tatapan orang. Namun ia tetap menggenggam tangan Aruna erat, menuntunnya menaiki beberapa anak tangga menuju aula utama, memainkan peran kekasih sempurna di hadapan para tamu.

Di belakang mereka, Naya keluar dari sisi lain mobil, berdiri di bawah cahaya lampu taman. Gaun merahnya berkilau seperti bara, tapi wajahnya menegang.

Ia menatap tangan Aruna yang melingkar di lengan Andrian—genggaman yang terlihat terlalu akrab, terlalu nyaman.

Senyum tipis di bibir Naya memudar.

Ia menggenggam tangannya sendiri, kuat, begitu kuat hingga kuku-kukunya memutih.

Dia benar-benar berani…

Menempel seperti lintah di hadapanku.

Namun Naya cepat memulihkan wajahnya, melangkah anggun menyusul mereka.

Di hadapan tamu-tamu penting, ia tetap tampil sebagai sosok sempurna—senyum ramah, tatapan lembut. Tak ada yang akan mengira bahwa di balik itu, api cemburu sedang membakar hatinya perlahan.

Sementara itu, di sisi lain tangga, Aruna memiringkan wajahnya sedikit ke arah Andrian, berbicara pelan seolah malu.

“Masih seperti dulu… semua orang memandangmu. Aku jadi merasa kecil di sebelahmu.”

Andrian menatapnya dari sudut mata, menahan tawa sinis yang hampir keluar.

“Apa kau lupa, Ru? Dulu kau suka sekali jadi pusat perhatian bersamaku.”

Aruna tersenyum, menunduk. “Aku tidak pernah ingin jadi pusat perhatian… aku hanya ingin bersamamu.”

Ucapan itu terdengar polos dan jujur, tapi bagi Aruna, setiap kata adalah pisau yang ia ukir hati-hati.

Ia tahu kata-kata seperti itu adalah umpan terbaik untuk menghidupkan kenangan lama di kepala Andrian—kenangan yang ia ingin gunakan untuk menjebaknya perlahan.

Dan benar saja, Andrian hanya tertawa kecil, menepuk lembut punggung tangannya.

“Masih gadis manis yang sama rupanya,” katanya, meski di dalam kepalanya, kalimat yang sebenarnya adalah:

Masih gadis bodoh yang sama.!!

Naya memperhatikan mereka dari belakang, setiap tawa kecil dan sentuhan tangan itu seperti cambuk bagi egonya. Ia ingin maju, ingin memisahkan mereka dengan alasan apa pun—tapi ia tahu waktu belum tepat.

Ia masih harus menjaga peran, sama seperti mereka.

Tiga orang.

Tiga aktor.

Satu panggung yang sama.

Begitu mereka masuk ke dalam aula, suara musik klasik menyambut dengan lembut. Tamu-tamu mulai berbisik, memuji penampilan mereka bertiga.

Aruna tetap menempel di sisi Andrian, wajahnya lembut, tatapannya penuh cinta palsu yang begitu meyakinkan hingga siapa pun tak akan ragu bahwa ia masih gadis yang sama seperti dulu.

Namun jauh di dalam matanya, tersimpan kilatan dingin—sebuah peringatan bahwa malam ini bukan tentang cinta, tapi tentang penghakiman.

Andrian menunduk, berbisik di telinganya.

“Kau tak perlu terlalu dekat, Ru. Orang bisa salah paham.”

Aruna menatapnya, senyum lembut tetap terukir.

“Bukankah itu yang kau mau dulu? Aku menempel padamu, mengikutimu ke mana pun…”

Andrian tak menjawab. Ia hanya tertawa pendek, lalu mengalihkan pandangan—tak ingin menatap terlalu lama karena setiap kali ia melakukannya, ada rasa tidak nyaman yang tak bisa ia jelaskan.

Dari seberang ruangan, Naya menatap keduanya dengan senyum tipis.

Senyum yang bagi siapa pun tampak tenang, tapi bagi dirinya sendiri terasa seperti pecahan kaca di dalam dada.

“Berbahagialah, Aruna…” bisiknya pelan, suara yang tenggelam di antara denting gelas dan musik piano.

“Sebelum aku hancurkan kebahagiaanmu sendiri.”

Dan di antara cahaya kristal, senyum-senyum palsu, dan tatapan penuh tipu daya—malam itu resmi dimulai.

Panggung sudah sempurna.

Tinggal menunggu siapa yang akan jatuh lebih dulu.

Lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi, memantulkan kilau keemasan yang menari di setiap sudut aula megah itu. Denting lembut piano mengalun, menyatu dengan suara gelas kristal beradu dan percakapan sopan para tamu undangan.

Acara malam itu adalah ulang tahun ke-30 perusahaan Mitra Group, salah satu rekan bisnis terbesar perusahaan keluarga Surya. Seluruh ruangan tampak seperti potret kemewahan—gaun-gaun elegan, jas hitam berpotongan rapi, dan senyum-senyum penuh strategi.

Aruna melangkah pelan di sisi Andrian. Gaun berwarna gading yang ia kenakan tampak bersinar lembut di bawah cahaya lampu. Senyumnya manis, sedikit gugup namun tetap menawan. Di sampingnya, Andrian memancarkan ketenangan palsu, ekspresi datar namun penuh pesona seperti aktor profesional yang hafal betul perannya.

Mereka berhenti di dekat meja utama tempat ayah Aruna, Tuan Surya, sedang berbincang dengan Tuan Hendra Wijaya, CEO Mitra Group.

“Tuan Surya!” sapa Hendra sambil menepuk bahunya ramah. “Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Saya hampir tak mengenali Anda—terlihat lebih muda dari terakhir kali.”

Ayah Aruna tertawa kecil. “Anda tetap pandai berbicara seperti dulu, Tuan Hendra. Tapi saya akui, acara malam ini sungguh luar biasa. Mitra Group memang tahu bagaimana membuat kesan yang tak terlupakan.”

“Ah, itu semua berkat tim saya,” balas Hendra merendah. Tatapannya lalu beralih pada Aruna, matanya berbinar kagum. “Dan ini pasti… putri Anda, bukan? Terakhir kali saya lihat, dia masih gadis kecil yang bersembunyi di balik punggung ayahnya.”

Aruna tersenyum lembut. “Senang akhirnya bisa bertemu kembali, Tuan Hendra. Terima kasih atas undangan yang telah diberikan kepada keluarga kami.”

“Putri Surya tumbuh menjadi wanita yang luar biasa cantik,” ujar Hendra kagum. “Anda beruntung, Tuan Surya. Gadis ini bisa membuat siapa pun lupa diri hanya dengan satu senyum.”

Tuan Surya tertawa hangat. “Dia memang kebanggaan kami, walau sebagian besar pesonanya diturunkan dari ibunya.”

Andrian berdiri di sisi Aruna, memainkan perannya dengan sempurna. Tatapannya hangat, seolah benar-benar terpesona oleh gadis di sampingnya. Ia menggenggam tangan Aruna lembut, senyumnya tipis namun menenangkan.

Aruna melirik sekilas, lalu berbisik pelan tanpa menoleh, “Kau benar-benar menikmati ini, ya?”

Andrian menunduk sedikit agar hanya ia yang mendengar suaranya sendiri. “Sama sepertimu. Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan.”

Suara MC menggema, memecah suasana. “Hadirin yang kami hormati, mari kita sambut CEO Mitra Group, Tuan Hendra Wijaya, untuk memberikan sambutan pada malam istimewa ini.”

Lampu meredup, menyorot panggung utama yang dihiasi bunga putih dan tirai beludru biru tua. Tepuk tangan bergema, dan suara Hendra mulai terdengar lantang, membicarakan perjalanan panjang perusahaan, kerja keras, dan pentingnya kemitraan.

Aruna mendengarkan dengan tatapan tenang, sementara Andrian memandangi kerumunan tamu di sekeliling mereka. Dalam hati ia menyadari betapa miripnya dunia ini dengan panggung teater—setiap orang tersenyum, berbicara manis, tapi menyembunyikan sesuatu di balik mata mereka.

Ketika sambutan selesai, musik lembut kembali mengalun. Para tamu mulai berpindah ke area dansa. Seorang pelayan datang membawa dua gelas sampanye di atas nampan perak.

Andrian mengambil dua gelas itu, menyerahkan salah satunya pada Aruna. “Untuk malam yang panjang,” katanya pelan.

Aruna menerima dengan senyum samar. “ya terimakasih,” balasnya lirih, lalu meneguk minumannya perlahan.

Cahaya lampu menyorot wajah mereka yang sama-sama tenang, namun di balik senyum elegan itu, keduanya tahu—malam baru saja dimulai, dan peran mereka belum selesai.

1
ZodiacKiller
Wow! 😲
Dr DarkShimo
Jalan cerita hebat.
Novia Na1806: wah terima kasih sudah membaca,jadi senang banget nih ada yang suka karya ku🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!