Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31 ALIN DAN ZIA
Malam datang membawa sepi, namun kafe kecil itu masih hangat oleh aroma kopi yang menjalar perlahan, membekas di setiap sudut ruangan.
Kopi terakhir telah pergi beberapa waktu lalu. Lily sedang membereskan meja, mengangkat gelas-gelas kosong dan membersihkan noda di permukaan kayu. Ami, di sisi lain, sedang sibuk mencuci loyang terakhir yang masih hangat oleh sisa gula dan mentega.
Zia berdiri di depan jendela, membisu. Udara dingin malam itu tidak mampu menembus kaca, tapi kehampaan justru menyusup dari dalam. Matanya menatap ke luar. Mobil hitam yang biasanya terparkir di seberang jalan—mengkilap dan selalu tepat waktu—malam ini tak ada.
Tangannya bergerak menyentuh dinding kaca. Permukaannya dingin, jauh lebih dingin dari tangannya yang sudah kehilangan kehangatan sejak sore tadi. Ia membalik papan kecil bertuliskan BUKA menjadi TUTUP, suara gantungan lonceng menggantung ringan di telinga.
"Kak, semuanya sudah beres!" seru Lily dari arah dapur.
Zia menoleh pelan. “Terima kasih. Hati-hati di jalan,” ucapnya dengan senyum yang tipis, nyaris tak terlihat.
"Kak Zia juga, ya!" Ami ikut menyusul, dan dalam sekejap, pintu berbunyi pelan saat mereka keluar.
Zia mengangkat tasnya, menyampirkannya ke bahu, dan berjalan lambat menuju pintu. Saat ia menguncinya, lampu luar menyala samar, menyisakan rona jingga lembut di trotoar yang sepi.
Tapi sesuatu menahannya. Ada seseorang di seberang jalan.
Seorang perempuan berdiri membisu. Rambut hitamnya panjang, dibiarkan terurai, tubuhnya kurus dan tenang seperti bayangan yang diam terlalu lama. Wajahnya masih muda, tapi mata itu... mata itu menyimpan jarak bertahun-tahun yang tak pernah benar-benar pergi.
Zia mengerjapkan mata. Nafasnya terhenti sesaat, dan tubuhnya terasa beku.
"Kak... Alin?" bisiknya, seperti mantra yang tak berani diucapkan dengan suara penuh.
Degup jantungnya menjadi ribut. Tangannya yang masih menggenggam kunci bergetar tanpa alasan. Seluruh tubuhnya menegang, antara ingin mendekat dan ingin lari.
Alin tersenyum, perlahan melangkah ke arah Zia, melewati lampu jalan yang redup, seperti baru saja muncul dari dimensi yang berbeda. Senyum itu, sorot matanya, dan cara ia memanggil nama Zia… semuanya masih sama.
"Zia... kita harus pergi."
Tangannya menggenggam tangan Zia—dingin, lemah, tapi penuh keyakinan.
Tapi Zia tak bergeming.
Tatapannya kosong. Matanya berkaca-kaca.
"Zia..."
"Kak Alin... kau benar-benar ada di sini?" suaranya pecah, separuh gemetar, separuh ingin percaya.
Alin mengangguk. "Zia, aku bisa jelaskan. Semua itu… karena Ayah. Dia menyuruhku pergi sebelum pernikahan itu. Katanya… katanya itu akan jadi bencana."
Zia menarik napas, tapi tak bisa mengeluarkannya. Lalu, seperti pelan-pelan meledak dari dadanya, suaranya keluar lebih lirih dari bisikan:
"Lalu kalian mengirimku ke sana?"
Air matanya jatuh begitu saja. Tak ada peringatan. Tak ada penyangkalan. Hanya dingin yang menyusup dari dalam, membekukan pipinya yang hangat oleh marah.
"Tidak, tidak, Zia—bukan begitu. Maksudku—"
"Pembohong!" suara Zia naik satu oktaf. Ia menghentakkan tangannya, melepaskan genggaman Alin. “Kau yang kabur! Kau yang meninggalkan semuanya! Dan sekarang… sekarang kau berdiri di sini dan menyalahkan Ayah?”
Alin menunduk. “Zia… tolong dengarkan aku…”
"Tidak! Kau bisa menolaknya sejak awal! Kau bisa bilang tidak! Tapi kau kabur, dan semua orang—semua orang memaksaku menggantikanmu!" Nada suara Zia pecah. Matanya merah, nafasnya berat. “Kau tahu rasanya diseret ke altar dengan nama orang lain menggema di belakangku?”
Dari kejauhan, di dalam mobil gelap yang terparkir beberapa meter dari kafe, Viren mengamati dalam diam.
“Tuan, haruskah saya—”
“Tidak perlu,” sahutnya datar. Tangannya bersilang, pandangan tak lepas dari sosok Zia. Kacamatanya masih membingkai wajahnya yang gelap dalam bayangan, tapi sorot matanya tajam—tak tersentuh emosi, namun menyimpan segalanya.
Di luar, Zia mulai menangis tanpa suara. Bahunya terguncang, dan ia menunduk, tak ingin siapa pun melihat luka itu terbuka.
Alin maju selangkah. Ia ingin memeluk Zia, menenangkan, menjelaskan semuanya. Tapi rasa bersalah itu terlalu nyata.
"Zia... semua ini salahku. Aku tidak tahu Ayah akan—”
"Kau tidak tahu? Atau kau memang tidak peduli?"
Alin menahan nafas. Hening yang menggantung di antara mereka begitu tajam. Lalu Zia mendongak, dan untuk pertama kalinya, matanya tak lagi lemah.
"Pergilah, Kak. Jangan muncul lagi jika hanya membawa luka." ucapnya.
Alin tak menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membeku, menatap adiknya yang kini bukan lagi gadis kecil yang takut ditinggalkan.
"Baiklah, untuk saat ini aku akan pergi. Tapi aku mohon, jangan membenciku, Zia."
Alin berkata lirih sebelum akhirnya berbalik, meninggalkan Zia yang masih terduduk di trotoar basah.
Langkah kakaknya memudar dalam dingin malam, namun suara itu—permintaan maaf yang terlambat—masih menggema di kepalanya.
Zia memeluk lututnya erat-erat, tubuhnya sedikit gemetar, bukan hanya karena udara malam, tapi karena isi kepalanya yang tak bisa diam.
Beberapa waktu berlalu dalam diam, hingga ia mendengar langkah kaki mendekat. Pelan tapi pasti. Langkah yang tak asing.
Ia membuka mata. Sepasang sepatu hitam berkilat berdiri di hadapannya. Wajahnya terangkat pelan.
“Viren…” ucapnya lirih.
Zia berdiri tergesa, buru-buru mengusap pipinya. Bekas air mata itu seakan jadi rahasia yang tak boleh terbaca.
"Kau sudah seperti anak kucing terlantar," kata Viren, suaranya datar namun ada secuil hangat di sana, seperti orang yang berusaha menyembunyikan kepedulian di balik sarkasme.
Zia mengerucutkan bibirnya. "Kau benar-benar menyebalkan."
"Apa cicak itu datang lagi sampai kau menangis seperti ini?"
"Aku kelilipan." jawabnya cepat. Singkat. Bohong. Tapi dia terlalu lelah untuk menjelaskan.
"Begitu ya." Viren tidak membantah. Ia hanya menatap Zia sejenak, kemudian membuka pintu mobil.
“Ayo pulang.”
Di dalam kepalanya, Viren ingin berkata:
“Bodoh, kau pikir kelilipan membuat kedua matamu bengkak begitu?”
Tapi ia memilih diam. Menyimpannya, seperti biasa.
Dalam mobil, Zia hanya diam, menatap keluar jendela. Bayangan kejadian tadi masih bergaung dalam benaknya—suara Alin, ekspresinya, dan kalimat-kalimat yang menghantam seperti peluru.
Ia tak menyangka, kakaknya sendiri datang hanya untuk menyalahkan ayah mereka atas segalanya… lalu pergi lagi seperti bayangan yang tak pernah benar-benar tinggal.
Kepercayaan Zia pada wanita itu perlahan goyah.
Apakah Alin benar-benar datang karena peduli?
Atau karena ia melihat berita tentang Kairotek dan Xander yang kini bersatu?
Atau… setelah mengetahui siapa pemilik sesungguhnya di balik nama besar itu?
Zia melirik ke arah pria di sampingnya.
Viren.
Wajahnya terlihat tenang, bahkan dalam gelap.
Garis rahangnya yang tegas, hidung yang tinggi, dan kacamata yang membingkai matanya menciptakan aura menarik—karismatik, dingin, dan memikat dalam satu tarikan napas. Bagi orang-orang, Viren mungkin tampak sempurna: pria yang hanya perlu berdiri diam untuk membuat ruang terasa lebih kecil.
Namun bagi Zia, bukan itu yang membuatnya selalu ingin menatap wajah itu.
Bukan karena bentuknya, tapi karena diamnya. Karena ketenangan yang terlalu sempurna untuk dianggap biasa.
Ada sesuatu yang tersembunyi di balik ketertiban sikapnya, di balik diam yang seolah selalu tahu apa yang sedang terjadi.
Dan hingga saat ini, Zia belum menemukan jawabannya.
Kadang ia bertanya dalam hati—apakah pria itu sedang menyembunyikan sesuatu?
Bukan hal kecil. Tapi sesuatu yang besar.Sesuatu yang mungkin akan mengguncang segalanya jika terbongkar.
Viren selalu tahu harus bicara apa, di waktu yang tepat. Selalu tenang, seolah hidupnya sudah dijadwalkan sejak lama.
Tak pernah ada celah.
Tak pernah terlihat goyah.
Zia pernah mencoba mencari petunjuk—dari sorot matanya, dari cara ia menjawab, bahkan dari keheningannya. Tapi tak ada. Yang ia temukan justru bayangan dirinya sendiri, tenggelam dalam labirin tak kasat mata yang diciptakan oleh pria itu.
Dan malam ini, ketika Zia menatap wajah itu untuk kesekian kali dari sisi mobil, ia sadar…
Sebesar apa pun kepercayaannya, rasa curiga itu tak benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi, menunggu waktu untuk muncul kembali.
Seolah menyadari tatapannya, Viren menoleh.Seperti biasa, ia hanya mengangkat sebelah alis—tatapan datar yang menuntut penjelasan, tanpa perlu sepatah kata pun.
Zia buru-buru menggeleng.
Lalu menyandarkan kepala ke jok, menarik napas panjang.Dalam hitungan detik, matanya perlahan terpejam.
Mobil terus melaju menembus malam hingga akhirnya berhenti di halaman Calligo. Jake, yang duduk di balik kemudi, menarik rem tangan perlahan. Ia menoleh ke belakang dan sempat melihat Zia yang masih terlelap di kursi.
"Apa Tuan perlu bantuan?" tanyanya pelan.
Viren ikut menoleh. Matanya menatap Zia sejenak, lalu menggeleng.
"Tidak. Aku bisa sendiri."
Seorang pengawal datang dan membuka pintu.
Viren pun turun, lalu berbalik dan—dengan sedikit kesulitan—mengangkat Zia yang tertidur dari kursi belakang.
Tubuh kecil itu terbaring tenang dalam pelukannya, seolah seluruh dunia telah dikecualikan malam ini.
Viren meletakkan Zia dengan hati-hati. Tangannya lebih dulu membenarkan posisi bantal sebelum menurunkan kepala Zia perlahan ke atasnya. Ia sempat menatap wajah itu—tenang, kecil, dan terlihat sangat kelelahan setelah seharian bekerja tanpa henti.
Emi berdiri tak jauh di belakang, sempat khawatir saat melihat Zia dalam gendongan tuannya. Tapi kini, ia segera bergerak, berjongkok di sisi ranjang. Dengan cekatan, ia membuka sepatu Zia, meletakkannya rapi di bawah tempat tidur, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuh tuan putrinya.
“Saat dia terbangun, bilang aku sedang ada urusan di luar kota,” ucap Viren tanpa menoleh.
“Baik, Tuan,” jawab Emi lembut, menyertai ucapannya dengan anggukan kecil.
Viren diam sebentar, masih menatap Zia seolah menimbang sesuatu—sesuatu yang tak ia ucapkan. Cahaya lampu kamar menyentuh wajahnya, menampilkan garis rahang yang tegas dan sorot mata yang tak bisa dibaca siapa pun. Lalu, tanpa suara, ia berbalik dan berjalan keluar, menyisakan jejak keheningan yang menggantung di udara.
Jake sudah bersiap. Bukan jas yang biasa ia kenakan malam-malam sebelumnya, tapi jaket kulit gelap yang membalut tubuhnya, memberi kesan lebih kasual namun tetap siaga. Di kepalanya, sebuah topi menutupi sebagian wajah, meninggalkan hanya tatapan tajam yang terlihat dari bawah bayangan. Tas kecil berisi barang-barang pribadinya telah ia letakkan di bagasi—ringkas, tidak lebih dari yang ia perlukan.
Sementara itu, langkah kaki menggema di lorong malam yang sunyi. Irama langkah itu khas—tenang tapi tak bisa dianggap enteng. Viren menuruni tangga dengan ritme tetap, tidak terburu-buru, namun setiap hentak sepatunya seolah menandakan sesuatu yang besar akan terjadi. Jas gelap yang sama masih melekat di tubuhnya, jatuh rapi mengikuti gerak, dan tangannya kosong—seperti biasa, ia tidak membawa apa pun selain niat yang sudah diputuskan.
Seorang pengawal sudah menunggu di bawah, membuka pintu mobil bagian depan, tepat di samping kursi kemudi. Tak seperti biasanya. Kali ini, Viren memilih duduk di depan.
Ia masuk tanpa bicara, mengenakan sabuk pengaman dengan satu gerakan cepat. Tatapannya lurus ke depan, menembus kaca mobil dan malam yang membentang di luar sana.
"Kita percepat perburuan ini," ucapnya akhirnya, dingin dan mantap, seolah kalimat itu sudah lama menunggu untuk dilepaskan.
.
.
.
.
.
.
Aku mau bilang makasihh banyaak atas support kalian❤️ terus ikuti kisah mereka sampai akhir yaa🤗
semangaatt dari tegal. 🤗