Ongoing
Lady Anastasia Zylph, seorang gadis muda yang dulu polos dan mudah dipercaya, bangkit kembali dari kematian yang direncanakan oleh saudaranya sendiri. Dengan kekuatan magis kehidupan yang baru muncul, Anastasia memutuskan untuk meninggalkan keluarganya yang jahat dan memulai hidup sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4.
Pagi di perbatasan utara tidak pernah dimulai dengan cahaya matahari. Hanya kabut tebal, angin membeku yang meraung seperti binatang terluka, dan langit kelabu yang menekan. Salju jatuh perlahan, memenuhi seluruh dataran ibarat hamparan kain putih kusam yang tidak pernah diganti. Anastasia membuka mata. Ruangan itu dingin sekali, meski ia sudah menyalakan batu pemanas yang Kael berikan tadi malam. Ia duduk di ranjang, menarik selimut ke bahunya, menatap jendela yang dipenuhi dengan embun beku.
“hmm...Hidup lagi memang tidak semenyenangkan yang kukira,” gumamnya lirih. Ia mengucek mata perlahan, lalu menepuk kedua pipinya, Wajah polos, Senyum lembut, Mata genit yang tampak naif, ya itu topengnya. “Baik,” bisiknya, “mulai hari ini, aku harus lebih sempurna.”
Tok-tok-tok.
“Lady Anastasia? Saya membawa air hangat.” Suara pelayan wanita, Dingin, Kaku, Tidak sopan, bahkan untuk standar pelayan. Anastasia menarik napas panjang sebelum membuka pintu. “Terima kasih banyak,” ujarnya ramah, menunduk sopan. Pelayan itu mengerutkan kening seolah Anastasia adalah benalu yang menempel di dinding berharga. “Perintah Duke Silas, kami harus melayani Anda. Bukan karena kami ingin.”
Anastasia tersenyum kecil, lembut seperti kelopak bunga salju. “Tidak apa. Kalau begitu, terima kasih karena Anda sudah menjalankan perintahnya.” Pelayan itu terdiam, tidak menyangka gadis itu tidak marah. “…Baik. Ada pakaian di atas tempat tidur. Pakailah itu, Lady.” Setelah pintu ditutup, Anastasia memutar bola matanya malas.
“Ugh… semua orang di benteng ini seperti memiliki paku di pantatnya sialan,” desisnya lirih. Ia membuka buntalan pakaian. Gaun sederhana berwarna abu-abu gelap, dengan lapisan bulu putih di kerahnya. Hangat, berat, dan tentu saja sangat… tidak indah. Tapi Anastasia tidak keberatan. Ia mandi cepat lalu mengenakan gaun itu, mengepang rambut keperakannya ke satu sisi. Saat ia selesai, suara gaduh di luar ruangan membuat alisnya naik.
“Dia itu siapa?”
“Kukira Duke membenci wanita.”
“Mungkin gadis ini kutukan? Membawa kematian?”
“Dia terlihat… terlalu biasa…”
Anastasia membuka pintu. Para pelayan yang bergosip langsung terdiam. Ia tersenyum ramah. “Selamat pagi.” Mereka membalas dengan anggukan kaku, lalu buru-buru kabur. Anastasia berjalan di lorong panjang, memperhatikan lukisan generasi Silas yang semuanya tampak marah atau siap membunuh. “Tidak heran keturunannya seperti sekarang,” gumamnya.
di ruang makan Silas sudah duduk di meja panjang yang dapat menampung dua puluh orang. Namun hanya ada dua kursi yang dipakai satu di ujung, milik Silas, dan yang satunya… kosong. Kael berdiri di dekat pintu sambil menggigit bibir, tampak gugup. “Duke… Anda yakin ingin sarapan bersama gadis itu?” Silas tidak menjawab. Ia hanya menyesap kopi hitam pekat yang beruap.
Kael mencoba lagi. “Maksud saya… Anda biasanya makan sendiri. Bahkan para jenderal pun tidak—”
“Diam, Kael.”
“Baik.”
Pintu terbuka. Anastasia masuk. Silas menurunkan cangkirnya. Mata hitam itu langsung mengunci pada gadis yang berjalan perlahan, dengan langkah ringan, seolah ia sedang melangkah di taman, bukan di markas perang terseram di kerajaan. Kael menelan ludah. “Dia… terlihat seperti kelinci masuk sarang serigala.” Anastasia menunduk sopan pada Silas. “Selamat pagi, Duke Silas.”
“Duduk.” Suara itu keras, tapi Anastasia tidak takut. Ia duduk di kursi yang disiapkan di sisi kanan Silas. Jarak mereka cukup dekat cukup untuk Silas mencium aroma tipis bunga salju dari rambutnya. Makanan dihidangkan. Sup daging rusa, roti gelap, dan minuman herbal. Anastasia memandangi supnya, lalu mencicipinya kecil-kecil sangat kecil seolah takut makanan itu meledak. Kael memperhatikan dalam diam.
“Um… Duke, izinkan saya bertanya…” Anastasia mengangkat wajahnya. “Apakah semua makanan di sini… selalu terasa pahit dan menusuk hidung?” Itu pertama kalinya ada yang berani mengkritik makanan istana Silas. Kael hampir tersedak. Silas berhenti makan. Menatap Anastasia. “Kau tidak suka?”
“Tidak. Maksudku… bukan tidak suka.” Anastasia berusaha tersenyum sopan. “Hanya… aku belum terbiasa. Aku biasanya makan sup ayam hangat buatan penjaga dapur di rumah. Rasanya lembut. Tidak seperti… ini.” Silas terdiam lama. “Aku tidak menyuruhmu suka atau terbiasa.”
“O-oh… baik,” jawab Anastasia cepat. Kael menutup wajahnya. Duke… Duke… bisa-bisanya bicara begitu kepada gadis rapuh… Namun ketika Anastasia menunduk, Silas sedikit menggerakkan sendoknya ke arah lain memberi tanda halus pada pelayan. Tidak ada yang menyadarinya kecuali Kael. Duke… memerintahkan dapur untuk menyiapkan menu berbeda? Untuk gadis itu? Kael hampir kehilangan akal. Sementara Anastasia terus makan, sedikit gemetar karena pedas herbal yang menusuk tenggorokannya. Silas memandangnya dari sudut mata. “Kenapa tanganmu gemetar?”
“Aah… karena sup ini…” Anastasia terbatuk kecil. “Sangat kuat.”
“…Bodoh.”
“Maaf?”
Silas mengambil cangkirnya sendiri, menggesernya ke depan Anastasia. “Minum. Itu akan meredakannya.” Anastasia membeku. Silas orang yang terkenal membunuh tanpa ragu, pria yang tak disukai para Lady bangsawan baru saja memberikan minumannya? Semua pelayan membelalakkan mata. Kael menutup mulutnya agar tidak berteriak. Anastasia meraih cangkir itu perlahan. “Terima kasih, Duke,” ucapnya lembut. Ia meminumnya sedikit demi sedikit. Hangat. Tidak pahit. Ada aroma karamel ringan yang menenangkan. “Aku… aku menyukainya.” Silas tidak bereaksi, tapi ia mengalihkan pandangannya begitu cepat seolah menutupi sesuatu.
Selesai makan Kael mendekat pada Anastasia. “Lady Anastasia, saya… akan mengantar Anda melihat sekitar benteng.” Anastasia tersenyum. “Tentu. Terima kasih, Kael.” Saat mereka berjalan keluar aula makan, Silas tiba-tiba berkata “Kael.” Kael membeku. “Y-ya?”
“Jangan buat dia terluka.” Kael tersengat seperti disambar petir. “Saya? Bahkan nyamuk pun tidak akan menyentuhnya jika saya yang menjaga!” Silas tidak menjawab, hanya menatap tajam seakan memperingatkan. Anastasia memperhatikan itu diam-diam. Menarik… dia mengawasi. Tapi kenapa? Ia menahan senyuman kecil.
Di lorong – lorong benteng Kael menunjuk patung besar di dinding. “Itu leluhur Duke Silas, Lord Aldren Silas. Orang paling menakutkan yang pernah ada.”
“Kenapa semua patung di sini tampak ingin membunuh seseorang?” tanya Anastasia polos. “Karena… memang begitu mereka hidup.” Mereka terus berjalan. Melewati ruang latihan prajurit, aula senjata, dan gudang perisai. Para prajurit berhenti latihan saat melihat Anastasia. “Mahluk apa itu?
“Tubuhnya terlalu kecil. Dia bisa mati hanya karena angin.”
“Duke membawanya? Kenapa?”
Anastasia menunduk, tetap tersenyum lembut. Namun di dalam, ia menyimpan rasa geli. “Kael,” bisiknya perlahan, “apa orang-orang di sini… tidak tahu caranya berbisik tanpa menyakiti perasaan seseorang?” Kael memerah. “Mereka kasar. Maafkan mereka… dan maafkan saya juga.”
“Tentu tidak perlu meminta maaf,” Anastasia menepuk bahunya ringan. “Aku tidak mudah tersinggung.” Namun tepat saat mereka melewati halaman belakang, sesuatu menarik perhatian Anastasia. Seekor serigala hitam besar. Tinggi hampir setara dada manusia dewasa. Mata kuningnya menatap Anastasia dari balik pagar besi. Serigala itu menggeram tapi bukan ancaman. Lebih seperti… bingung.
Anastasia melangkah mendekatinya. “Lady Anastasia! Jangan!” Kael panik. Anastasia tetap mendekat. Serigala itu menegakkan telinganya. Napasnya mengepul. “Indah sekali…” bisik Anastasia lembut. Serigala itu perlahan menundukkan kepala… seolah tunduk.
Kael hampir pingsan. “D-Duke sendiri bahkan hanya bisa mendekati tiga dari mereka… bagaimana Anda…?” Anastasia menyentuh pagar. Serigala itu mendekat lebih dekat hidungnya menyentuh jari-jari Anastasia. “Tidak perlu takut,” ucap Anastasia lirih. “Aku tidak akan menyakitimu.” Di balik tembok, seseorang memperhatikan dari jendela lantai dua.
Silas. Wajahnya tetap datar, tapi tangannya menggenggam pagar jendela sedikit lebih kuat. “…Aneh,” gumamnya. “Serigala itu tidak pernah tunduk pada siapa pun.” Ia memandangi gadis kecil itu lama. Pikiran Silas berjalan. Gadis yang menghidupkannya. Gadis yang tubuhnya tidak membeku di dingin utara. Gadis yang membuat serigala tunduk. Gadis yang tersenyum seakan tidak memendam apa-apa. “Siapa sebenarnya kau, Anastasia?” bisiknya.
Namun jauh di halaman, Anastasia mengusap kepala serigala itu… sambil menyembunyikan senyum penuh kalkulasi. “Satu demi satu, semua akan jinak,” katanya sangat pelan. “Termasuk sang Duke.” Dan salju terus turun… menutupi benteng dengan putih yang menipu.