Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29
“Mana Mama, Bi? Kenapa belum pulang juga?” tanya Ian dengan suara lirih. Matanya menatap nanar lantai ruang tamu yang penuh dengan mainan berserakan.
“Sabar ya, Nak. Bentar lagi Mama kamu pulang. Katanya masih di jalan,” jawab Bi Sulis lembut.
Belum sempat Ian menanggapi, terdengar suara bel berbunyi nyaring.
Ting! Nong!
Mata Ian langsung berbinar. “Bibi! Itu pasti Om Jayden sama Mama!” serunya.
Bi Sulis tersenyum tipis, mengusap kepala bocah itu pelan sebelum beranjak ke pintu. Namun, rasa terkejut jelas tampak di wajahnya ketika pintu terbuka. Sosok seorang wanita berdiri di sana dengan penampilan seksi.
“Non... Maisa?” ucap Bi Sulis.
Maisa menyilangkan tangan di dada. “Di mana Jayden, Bi?” tanyanya datar, tanpa basa-basi.
“Anu... itu, Den Jayden masih di jalan. Beliau kemarin menghadiri pesta temannya,” jawab Bi Sulis sedikit gugup.
Maisa mengangguk pelan, dia kira Jayden sudah tiba. Ia melirik jam tangan di pergelangan, lalu berbalik berniat menuju mobilnya lagi. Namun, langkahnya terhenti ketika suara seorang anak kecil terdengar.
“Bi Sulis, siapa yang datang? Apa itu Mama sama Om Jayden?”
Maisa spontan membalikkan tubuhnya.
Ia memperhatikan bocah itu dengan seksama. Seketika matanya melebar, ingatannya menangkap wajah anak itu—anak Selina, wanita yang katanya OB baru di Jayden.
Ian sontak bersembunyi di balik tubuh Bi Sulis ketika tatapannya bersirobok dengan Maisa. Dalam benaknya, Maisa terlihat galak dan menakutkan.
Alis Maisa berkerut, ekspresinya langsung berubah garang. “Kenapa anak ini ada di sini?” tanyanya tajam.
Bi Sulis terdiam kaku. Ia tahu betul Maisa sangat menginginkan majikannya dan pasti tidak menyukai jika gadis itu tahu kalau mereka berangkat bersama.
Maisa akhirnya menarik kesimpulan sendiri. Wajahnya seketika memerah.
“Jangan bilang kalau Jayden mengajak Selina ikut bersamanya ke pernikahan temannya Jayden!?” bentak Maisa. Nafasnya sudah memburu hebat.
Mau tak mau, Bi Sulis akhirnya mengangguk pelan.
“Sial! Aku sudah memaksa Jayden supaya aku bisa ikut dengannya, tapi dia dengan seenaknya membawa wanita miskin itu! Padahal aku tunangannya, calon istrinya, sementara si miskin itu bukan siapa-siapa! Berani-beraninya dia mempermalukan aku seperti ini!” umpat Maisa, matanya berkilat penuh kebencian.
“Bibi... kenapa dia marah-marah? Wajahnya ketika tidak marah saja sudah menyeramkan, apalagi sekarang dia seperti benteng” kata Ian pelan, sembari memegangi lengan Bi Sulis erat-erat.
Mata Maisa sontak melotot garang. Wanita itu melangkah cepat, mendekati Ian, lalu menarik tangan mungil bocah itu kasar.
“Jaga mulutmu! Apa kamu tidak diajarkan sopan santun oleh ibumu itu!?” hardiknya.
“A-aduuh... sakit... tangan Ian... jangan dicengkeram...” suara Ian bergetar, matanya berkaca-kaca menahan perih.
“Lepaskan dia, Nona! Jangan seperti ini!” seru Bi Sulis panik, mencoba menarik Ian dari genggaman Maisa.
Maisa justru semakin menggertakkan giginya. “Selina menitipkan anaknya denganmu, lalu dia pergi bersama Jayden berduaan!? Kurang ajar sekali wanita miskin itu! Akan kuberi perhitungan! Dia pikir bisa merebut Jayden dariku? Tidak akan! Aku tidak akan pernah membiarkan siapapun mengambil cintaku!”
“Nona, lepaskan Ian! Nona menyakitinya!” teriak Bi Sulis lagi, suaranya parau karena cemas melihat Ian yang meringis kesakitan.
Namun Maisa bukannya melepaskan, malah mendorong tubuh kecil Ian dengan kasar hingga ia terjatuh ke lantai. Bocah itu langsung menangis terisak.
“Ian!” Bi Sulis buru-buru menghampiri, mengangkat tubuh bocah itu. “Bagaimana bisa Nona melakukan ini pada anak kecil?”
Bentaknya.
Maisa tak peduli, rasanya ia belum puas melampiaskan amarahnya. Wanita itu sudah hendak menerobos masuk, tapi bunyi klakson mobil yang baru saja memasuki pekarangan rumah Jayden membuat langkahnya terhenti.
Mobil mewah itu melambat, lalu berhenti tepat di depan. Jayden dan Selina baru saja tiba. Dari balik kaca, Selina terperanjat ketika melihat putranya menangis di pelukan Bi Sulis, sementara Maisa berdiri tak jauh dari sana dengan wajah garang. Jantung Selina seketika mencelos, khawatir apa yang telah terjadi pada Ian.
“Mau apa gadis itu ke sini?” gumam Jayden kesal, penuh nada jengkel.
Mereka turun bersamaan. Maisa yang melihat keduanya langsung mengencangkan rahangnya. Tangannya terkepal erat di sisi tubuh, tubuhnya bergetar menahan amarah. Matanya menyapu penampilan Selina dari atas ke bawah—gaun seksi nan mewah yang meski tertutup sweater—dan itu membuat darahnya semakin mendidih.
“Ada apa ini?” suara Jayden tegas. Tatapannya jatuh pada Ian yang masih terisak dalam dekapan Bi Sulis.
Maisa langsung menunjuk Jayden dengan jari gemetar. “Kurang ajar kamu, Jay! Kamu tega membawa wanita miskin ini ke pesta temanmu, sementara aku—calon istrimu sendiri—kamu tolak! Aku memohon-mohon agar bisa ikut, tapi kamu bilang aku merepotkan! Dan sekarang!? Dia yang kamu ajak? Dia siapa buatmu, hah!? Jangan bilang kalau wanita ini sudah memberikan tubuhnya secara cuma-cuma untukmu, makanya kamu bela-belain bawa dia ke mana-mana!”
“Maisa!” suara Jayden meledak, matanya melotot tajam. “Cukup! Hentikan omongan kotor dan tidak berdasarmu itu!” bentaknya lagi.
Selina tersentak, tapi segera berlari menghampiri Ian. Bocah itu semakin ketakutan melihat pertengkaran di depan matanya. Ia memeluk erat tubuh mungilnya, dan Ian pun langsung membalas pelukan itu dengan kuat.
“Mama... Ian takut...” kata bocah itu dengan suara bergetar.
Selina mengusap-usap punggung anaknya lembut, mencium keningnya berkali-kali untuk menenangkan. “Sstt... tenang, sayang... Mama di sini...” katanya lirih.
“Bi, bawa masuk Ian,” kata Selina lagi,
“Sayang, masuk dulu sama Bibi ya. Nanti Mama nyusul,” ucapnya lembut.
Ian menurut saja ketika Bi Sulis membawanya masuk ke dalam rumah. Bocah itu masih sesenggukan. Selina melangkah mendekati Jayden dan Maisa yang masih terlibat adu mulut.
“Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama wanita lain!” bentak Maisa.
Jayden menatap tajam, rahangnya mengeras. “Siapa kamu sampai berani melarangku, hah!? Berapa kali harus aku katakan kalau kamu bukan calon istriku! Dan aku tidak akan pernah menikah denganmu, sampai kapanpun juga!” Setiap kata ia tekan dengan penuh penegasan.
Maisa mendengus keras. “Tapi aku sudah bicara dengan Kakek! Dia sendiri yang bilang akan menjodohkan aku denganmu, Jay! Mau bagaimanapun caranya, kamu nggak akan bisa menolak keinginan beliau!”
Jayden mendecakkan lidah. “Kamu pikir aku akan tunduk begitu saja pada pria tua bangka itu? Tidak lagi, Maisa! Apa pun yang kamu dan kakekku rencanakan, silakan! Aku tidak akan pernah terpengaruh. Ingat itu baik-baik!”
Maisa makin tersulut. Dia melirik Selina dengan pandangan merendahkan, lalu tiba-tiba menarik kasar lengan wanita itu. “Apa ini karena wanita miskin ini, hah!?"
“Berhenti menyebutnya miskin!”
Maisa terkekeh sinis. “Memang faktanya, kan!? Apa istimewanya dia? Jangan-jangan... dia juga jalang! Karena dia tak punya suami, bisa saja anaknya itu anak haram!”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar. Selina langsung tercekat, matanya memerah, jantungnya berdentum keras. Mendengar Maisa menghina dirinya mungkin masih bisa ia tahan, tapi ketika menyebut Ian sebagai anak haram—itu sudah keterlaluan.
Tanpa pikir panjang, Selina menarik lengannya dari cengkeraman Maisa dengan paksa. Lalu, dengan cepat tangan kanannya melayang.
Plakkk!
Tamparan keras mendarat di pipi Maisa, membuat gadis itu terhuyung ke belakang dan nyaris kehilangan keseimbangan. Suara tamparan itu begitu jelas. Jayden pun sampai terdiam, tak menyangka Selina berani melakukan itu. Maisa menatapnya dengan mata terbelalak, pipinya memerah karena bekas tamparan.
“Aku bisa diam waktu kamu menghinaku. Tapi kalau kamu berani menyebut anakku seperti itu, aku tidak akan tinggal diam! Sekali lagi kamu singgung Ian dengan kata-kata kotor, aku pastikan aku sendiri yang akan membuatmu menyesal seumur hidup!” bentak Selina.