Gadis, sejak kecil hidup dalam bayang-bayang kesengsaraan di rumah keluarga angkatnya yang kaya. Dia dianggap sebagai anak pembawa sial dan diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu. Puncaknya, ia dijebak dan difitnah atas pencurian uang yang tidak pernah ia lakukan oleh Elena dan ibu angkatnya, Nyonya Isabella. Gadis tak hanya kehilangan nama baiknya, tetapi juga dicampakkan ke penjara dalam keadaan hancur, menyaksikan masa depannya direnggut paksa.
Bertahun-tahun berlalu, Gadis menghilang dari Jakarta, ditempa oleh kerasnya kehidupan dan didukung oleh sosok misterius yang melihat potensi di dalam dirinya. Ia kembali dengan identitas baru—Alena.. Sosok yang pintar dan sukses.. Alena kembali untuk membalas perbuatan keluarga angkatnya yang pernah menyakitinya. Tapi siapa sangka misinya itu mulai goyah ketika seseorang yang mencintainya ternyata...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sagitarius-74, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIANTARA RASA DAN KEBENARAN
Matahari mulai menyingsing di ufuk timur, menyinari atap rumah besar milik Tuan Antonio dan Nyonya Isabella.
Di teras depan, Gadis berdiri tegak, tangan memegang amplop surat yang kaku. Baju putih dengan renda di pinggangnya, bawahan rok hitam itu merupakan baju terbaik yang dia punya. Hari itu adalah hari penting dimana ia harus bertemu Tuan Antonio di kantornya, karena pria itu sudah berangkat pagi sekali sebelum dia dan Ferdo sempat menyapa di rumah.
“Kamu siap, Gadis?”
Suara Ferdo membuatnya terkejut. Dia menoleh, dan hati langsung berdebar. Pria itu mengenakan jas hitam yang rapi, rambut disisir rapi, dan senyumnya yang lembut seperti biasa. Gadis tersenyum balik, meskipun dada terasa sesak. “Siap, Ferdo.”
Ferdo melihatnya dari kepala hingga kaki, dan mata pria itu sesaat melambat. Gadis yang biasanya memakai baju kasar untuk membersihkan rumah kini terlihat begitu cantik dan anggun, seperti bunga yang baru mekar di pagi hari.
"Dia kini terlihat berbeda.. Sangat cantik dan mempesona," pikir Ferdo.
Sesaat kemudian, Ferdo mengangkat muka, menghindari tatapan Gadis. Dia merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Sebuah rasa yang dia mulai kenali belakangan ini, tapi tak berani ia ungkapkan. Rasa suka yang tumbuh perlahan-lahan, diam-diam tersimpan di lubuk hatinya, tapi dia pendam semuanya.
Dia tahu, Gadis hanyalah anak angkat tuan Antonio yang dianggap seperti pembantu di rumah mereka, dan perbedaan sosial di antara mereka terlalu besar.
“Ayo, kita harus cepat,” ujar Ferdo dengan suara yang sedikit tertekan. Dia menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang, sambil Gadis mengikuti di belakangnya.
Tiba-tiba, dari ruang tengah rumah terdengar teriakan yang keras
"Ferdo! Jangan pergi!”
Keduanya berhenti seketika. Nyonya Isabella muncul dengan rok hitamnya yang menyapu lantai, rambut ikalnya tergerai di pundaknya, dan wajahnya yang terlihat kecut seperti biasanya jika dihadapan Gadis. Matanya membelalak melihat Ferdo yang siap naik mobil, dan Gadis yang berdiri di sampingnya.
“Ke mana kamu mau pergi?” tanya Nyonya Isabella dengan nada yang menyakitkan telinga. Dia tidak melihat Gadis sama sekali, seolah gadis itu hanyalah benda yang tak berarti.
Ferdo mendekat ibunya, wajahnya tenang tapi tegas. “Ma, kami mau ke kantor papa. Ada urusan penting yang harus dibicarakan dengan dia.”
“Urusan apa? Dan mengapa dia ikut?” Nyonya Isabella akhirnya melihat Gadis, dan tatapannya penuh kebencian. Gadis segera menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Dia selalu takut pada Nyonya Isabella. Wanita itu selalu menyakitinya dengan kata-kata dan sikapnya yang merendahkan.
Ferdo mengalihkan pandangannya ke arah Gadis. “Ini urusan dengan surat wasiat Bu Wulan, Ma. Ibunya Gadis.”
Nyonya Isabella mengangkat alisnya. “Surat wasiat? Apa yang ada di sana?”
“Bu Wulan menyatakan bahwa uang satu milyar dari penjualan ginjalnya yang didonorkan ke aku dulu, harus diberikan ke Gadis,” jelas Ferdo dengan suara yang tegas.
"Uang itu adalah hak Gadis, dan kami mau minta papa untuk memberikannya pada Gadis," lanjut Ferdo.
Suara Nyonya Isabella tiba-tiba memekik..
“Apa? Jangan bicara bodoh! Uang itu tidak dititipkan di papa kamu!"
Wajahnya memerah dengan kemarahan, dan matanya memancarkan kebencian yang lebih dalam. Gadis merasa tubuhnya semakin gemetar, hatinya berdebar kencang. Dia tahu, Nyonya Isabella tidak akan mau memberikan uang itu.
“Ma, surat wasiatnya jelas tertulis,” kata Ferdo dengan tenang, meskipun hatinya juga mulai berdebar. “Kita tidak bisa menolak hak Gadis.”
“Hak? Dia tak punya hak apapun di rumah ini!” teriak Nyonya Isabella lagi. Dia menunjuk jari ke arah Gadis, yang semakin menunduk. “Dia hanyalah anak angkat yang tak berharga! Kenapa kamu selalu membela dia, Ferdo? Apakah kamu sudah gila?”
Ferdo mengangkat dada. “Karena itu adalah kebenaran, Ma. Dan saya tidak akan biarkan orang yang tidak bersalah disakiti.”
Nyonya Isabella semakin marah. Dia melihat Gadis dengan pandangan yang membunuh. “Kamu, Gadis! Batalkan rencanamu menyusul suamiku ke kantornya! Jika tidak, aku akan menghancurkanmu!"
Kemudian, dia berbalik ke Gadis, dan nada suaranya menjadi lebih kejam. " Gadis! cepat cuci mobil Ferdo hingga bersih! Sampai tidak ada sebutir debu pun yang tertinggal! Jika tidak, aku akan menyirammu dengan air comberan yang dingin!”
Gadis hanya bisa mengangguk perlahan, bibirnya terjepit rapat. Dia ingin menangis, tapi takut membuat Nyonya Isabella semakin marah.
Tapi Ferdo tidak mau diam. “Ma, itu tidak adil! Gadis tidak salah apapun!”
“Apa kamu bilang, Ferdo?” teriak Nyonya Isabella, matanya membelalak. “Kamu lebih membela anak tak berharga itu ketimbang mamamu sendiri?!”
“Bukan begitu, Ma. Karena yang aku lakukan adalah benar,” jawab Ferdo dengan tegas.
Adu mulut pun pecah. Keduanya saling menyindir, suara mereka semakin keras.
Gadis hanya berdiri diri di samping Ferdo, tubuhnya gemetar, air mata tak bisa ditahan lagi, ia menangis karena takut pada Nyonya Isabella, dan takut juga melihat Ferdo bertengkar dengan ibunya karena dirinya.
Tiba-tiba, refleks tangan Nyonya Isabella bergerak cepat. Dia melihat besi panjang yang diletakkan di sudut teras, dan tanpa berpikir dua kali, dia mengambilnya. Matanya membara dengan kemarahan, dan dia mengangkat besi itu, niat mau memukul Gadis.
“Ma, jangan!” teriak Ferdo, kaget. Dia segera melompat ke depan Gadis, menghalanginya dari amukan ibunya sendiri.
BLAG!
Pukulan keras dari besi itu terkena tubuh Ferdo, tepat di punggungnya. Pria itu mengerang kesakitan, tubuhnya melengkung, dan kemudian tersungkur jatuh ke lantai. Gadis melihatnya dengan mata yang membelalak, hati terasa seolah ditusuk pisau.
"Ferdo!” teriak Gadis
Setelah terkena pukulan itu, Ferdo langsung pingsan, wajahnya pucat seperti kertas.
Keadaan menjadi panik. Dari dalam rumah, Renata dan Rafael, kedua adik Ferdo yang sedang bersiap hendak pergi ke sekolah, keluar dengan terkejut. “Kak Ferdo!" teriak mereka berdua, lalu berlari ke arah Ferdo yang tergeletak di lantai.
“Segera bawa dia ke rumah sakit!” teriak Nyonya Isabella, meskipun wajahnya masih penuh kemarahan. Dia tidak menyadari apa yang telah dia lakukan. Kemarahan telah memabukkan dia.
Renata mengambil telepon genggamnya, menelepon ambulance dengan tangan yang gemetar.
Rafael membantu mengangkat tubuh Ferdo yang lemah, sementara Nyonya Isabella berdiri diri, wajahnya mulai memerah dengan kesal dan sedikit kesedihan.
Gadis ingin mendekat, ingin membantu Ferdo, tapi ketika dia mau melangkah, Nyonya Isabella menoleh padanya dengan tatapan yang kejam. “Jangan kamu dekati dia!” teriak Nyonya Isabella.
Kemudian, tanpa peringatan, tangan Nyonya Isabella terbang cepat menampar pipi Gadis dengan sangat keras.
PLAK!
Suara itu terdengar keras di udara pagi. Gadis terkejut, tubuhnya terayun ke belakang, dan pipinya langsung memerah dan bengkak. Air mata membanjiri matanya, tapi dia tidak berani menangis.
“Musibah ini terjadi karena kamu, Gadis!” teriak Nyonya Isabella dengan suara yang menyakitkan. “Kamu adalah sumber masalah di rumah ini! Jika bukan karena kamu, Ferdo tidak akan terluka!”
Kemudian, dia mulai memukul Gadis dengan tangan dan kaki, menyebarkan pukulan ke mana-mana. Gadis hanya bisa menutupi tubuhnya dengan tangan, menangis dan mengerang kesakitan. Renata dan Rafael melihatnya dengan rasa puas.
"Rasain, Luh! Makanya jadi orang jangan caper!" maki hati Renata.
Setelah puas memukul, Nyonya Isabella berhenti. Dia melihat Gadis yang tergeletak di lantai, tubuhnya penuh luka dan memerah, dan berkata dengan nada yang dingin..
"Kamu akan dihukum. Kamu akan dikurung di kamar mandi, dan tidak akan diberikan makanan sampai Ferdo sembuh! Jika kamu berani keluar, aku akan menyakitimu lagi!”
Dua pembantu yang mendengar keributan keluar dari rumah. Nyonya Isabella menyuruh mereka mengangkat Gadis dan mengurungnya di kamar mandi.
Gadis hanya bisa menangis, hati terasa hancur. Dia tidak menyangka bahwa nyawa Ferdo terancam karena dirinya, dan dia harus menderita hukuman yang begitu keras.
" Ya Tuhan, aku merasa bersalah... Gara-gara aku semuanya jadi kacau, maafkan aku Ferdo," rintih Gadis di sela-sela isak tangisnya.
Sementara itu, ambulance tiba. Renata, Rafael, dan Nyonya Isabella membawa Ferdo ke dalam ambulance, yang segera melaju ke rumah sakit dengan sirine berdering.
Gadis, yang terkurung di kamar mandi gelap dan sempit, hanya bisa mendengar suara sirine itu semakin jauh, dan menangis sekeras-kerasnya.
Hatinya penuh kesedihan, rasa bersalah, dan harapan bahwa Ferdo akan segera sembuh. Dia berdoa dengan segenap hatinya, berharap Tuhan akan melindungi Ferdo, dan suatu hari nanti, kebenaran akan terungkap, dan dia akan mendapatkan haknya yang sebenarnya.