Amira wanita cantik itu, menatap suaminya dengan perasaan yang sulit di artikan. bagaimana tidak, dua tahun yang lalu, dia melepaskan kepergian Andika untuk bekerja ke kota, dengan harapan perekonomian rumah tangga mereka akan lebih mapan, keluar dari kemiskinan. tapi harapan itu hanyalah angan-angan kosong. suami yang begitu di cintanya, suami yang setiap malam selalu di ucapkan dalam sujudnya, telah mengkhianatinya, menusuknya tanpa berdarah. bagaimana Amira menghadapi pengkhianatan suaminya dengan seorang wanita yang tak lain adalah anak dari bos dimana tempat Andika bekerja? ikuti yuk lika-liku kehidupan Amira beserta buah hatinya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Baim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Amira masuk kedalam rumah setelah memberi salam. Tapi yang dia dapatkan rumah itu terlihat sepi. Langkahnya terus di ayunkan melewati ruang tamu menuju ruang tengah. Tapi kakinya terhenti saat mendengar suara seseorang sedang berbicara di dalam kamar Ibu mertuanya.
"Pokoknya Ibu tidak mau tau, gaji kamu bulan ini harus kirim semuanya sama Ibu. Ingatan Andika, surga mu ada pada Ibu. Bukan pada perempuan penghianat itu. Perempuan itu sudah mengkhianati kamu, dia sudah pergi bersama selingkuhannya. Jadi laki-laki itu harus tegas, jangan mau dibodohi oleh istri. Ibu malu Dik, di omongin warga kampung tentang kelakuan istrimu itu. Jadi Ibu minta secepatnya ceraikan dia, dia tidak pantasan menjadi istri kamu. Penghianat seperti dia harus secepatnya di singkirkan, biar tidak menjadi aib keluarga."
Jantung Amira berdetak cepat. Seluruh tubuhnya gemetar. Dia berdiri di depan pintu kamar Ibu mertuanya, dengan menutup mulutnya, agar suara tangisnya tidak terdengar oleh orang yang menelpon di dalam.
"Ya Allah...cobaan apa pagi ini. Apa salah ku ya Allah..kenapa semua bisa jadi seperti ini. Tolong aku ya Allah. Berilah aku kekuatan."Batinnya menjerit pilu.
Seluruh badannya terasa lemas. Sendi tulang kakinya tidak bisa menopang tubuh mungilnya dengan sempurna. Dan akhirnya dia merosot terduduk di atas lantai di depan pintu kamar. Dia terus menutup mulutnya. Air matanya terus mengalir dengan derasnya. Amira menangis tanpa suara.
Amira masih mendengar dengan jelas, Bu Susi masih terus menerus mengeluarkan Kata-kata hinaan dan menyalahkan dirinya, dengan fitnah yang begitu keji. Dia tidak bisa mendengar suara orang yang sedang di ajak bertelepon. Tapi dia sangat yakin. Orang itu adalah Andika, suaminya.
Dengan mengumpulkan seluruh tenaganya, Amira bangkit berdiri dengan tegak, berpijak di atas lantai. Dihapus pipinya yang basah dengan kasar. Tak lama kemudian...
"Tok...tok...tok...tok..."
Amira mengetuk pintu kamar Ibu mertuanya. Wanita yang selalu sabar dan berhati lembut itu, dadanya sedang bergemuruh menahan marah yang membuncah.
"Siapa?"Terdengar suara tanya dari dalam.
"Buka pintunya Bu, ini aku Amira."
"Untuk apa kamu kesini? Kita sudah tidak ada urusan lagi. Pergi sana, sebentar lagi Andika akan menceraikan kamu."
Amira geram mendengar ucapan Ibu mertuanya itu. Tangannya terkepal dengan erat. Dadanya makin bergemuruh, hingga napasnya turun naik.
"Buka pintunya Bu, kalau nggak aku akan robohkan pintunya.."Teriak Amira. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk memukul daun pintu dengan sangat kencang.
"Dasar perempuan miskin kurang ajar. Kamu mau robohkan pintunya hahhh."
"BUKA PINTUNYA...."
Tidak mau tahu dengan teriakan dari dalam kamar, Amira berteriak dengan sangat kencang, disertai dengan hantaman pada daun pintu. Sampai-sampai suaranya terdengar hingga keluar rumah.
"Lohhh...itu kan suara teriakan Amira."Ucap Bu Sinta, yang memang sedari Amira masuk kedalam rumah, terus mengawasi.
"Iya..ayo kita kesana, jangan-jangan terjadi sesuatu pada Amira."
"Ehhh...ehhh, nanti dulu, jangan asal masuk saja. Kita panggil Pak RT, biar kita nggak dituduh mencampuri urusan rumah tangga orang.
"Perempuan sialan, mampus saja kamu sana."
Masih di dalam rumah, Bu Susi tidak mau kalah dengan menantunya. Keduanya saling berteriak tidak ada yang mau mengalah.
Hingga beberapa menit, akhirnya Bu Susi membuka pintu kamarnya.
"Perempuan gila, mau kamu ganti pintunya kalau rusak hahhh."
"Ayo keluar, kita selesaikan urusan kita."
Amira menarik tangan Ibu mertuanya, keluar dar dalam kamar, setelah pintu terbuka. Bu Susi sampai terperanjat kaget dengan perlakuan Amira, pada dirinya. Dia tidak menyangka, menantu yang selalu diam, bisa beringas juga.
Amira sudah tidak peduli lagi. Kesabarannya sudah mencapai puncak. Gelar menantu baik dan sabar, hilang sudah. Satu-satunya yang dia ingin pertahankan sekarang ini, adalah harga dirinya.
"Hehhh...perempuan sialan, kurang ajar. Kamu mau bawa aku kemana hahhh, anak ku tidak akan memaafkan kamu, dia akan menceraikan kamu, perempuan sialan."
Amira tidak menghiraukan umpatan Ibu mertuanya. Hatinya terlalu sakit, hanya untuk sekedar menanggapi ocehan nenek dari anaknya itu. Dia terus menyeret tangan Bu Susi hingga ke ruang tamu. Hingga wanita itu, terduduk di sofa.
"Kalau memang Ibu berkeinginan anak Ibu untuk menceraikan aku, suruh dia talak aku sekarang juga. Mumpung dia sedang mendengar suara kita sekarang ini."
Suara lantang Amira, menggema di ruang tamu, membuat Bu Susi terkejut bukan kepalang. Dia langsung menatap ponsel yang ada di tangannya. Matanya terbelalak. HP itu masih menyala, memperlihatkan kalau sambungan teleponnya belum terputus. Itu artinya Andika mendengar semua umpatan dirinya terhadap Amira. Buru-buru Bu Susi segera menekan tombol merah, memutuskan sambungan teleponnya.
"Kenapa Ibu matikan? Apa Ibu nggak mau kalau anak Ibu mendengar semuanya? Mendengar kebohongan dan fitnah Ibu padaku, Ibu kan mau Mas Dika ceraikan aku? Jadi tolong telpon kembali anak Ibu. Biar dia ceraikan aku sekarang juga. Biar Ibu puas, biar Ibu nggak ganggu kehidupan aku lagi."Ucap Amira berapi-api. Napasnya memburu karena emosi yang sudah tak tertahankan lagi.
Bu Susi terdiam. Tapi sorot matanya tajam menatap Amira yang berdiri di depannya, dengan tangan berkacak pinggang. Yang ada di pikirannya saat ini, rasa tidak percaya nya pada Amira. Amira yang begitu lembut, sabar sekarang berubah seperti seseorang yang ingin memakan dirinya hidup-hidup.
Amira balas menatap Ibu dari suaminya itu, tak kalah tajam. Sorot matanya terpancar kemarahan yang membara.
"Kalau Ibu nggak mau telpon Mas Andika balik, biar aku saja yang telpon. Tapi tunggu di sini. Jangan coba-coba Ibu lari. Akan ku kejar Ibu sampai dapat."
Amira berbalik badan, melangkah ke arah pintu masuk.
"Bu RT, bisa minta tolong panggilkan Pak RT? Tolong ya Bu, aku lagi perlu penting dengan Pak RT."Sahut Amira dari teras rumah.
"Iya Mir...kami sudah siap dari tadi kok."Balas Bu RT, antusias. Tanpa a b c, Pak RT dan rombongan berjalan ke rumah Bu Susi.
"Amira, apa-apaan kamu, kamu sudah gila ya, kenapa panggil Pak RT segala. Apa mau kamu sebenarnya hahhh, kamu mau permalukan aku di depan orang, itu maksud kamu?"Teriak Bu Susi dari dalam rumah. Dia sekarang merasa gugup dan gelisah. Bu Susi beranjak dari duduknya. menatap Amira yang berjalan masuk dengan geram.
"Apa Ibu bilang? Aku mempermalukan Ibu? Nggak salah Bu. Apa Ibu sudah lupa, kalau Ibu sudah menyebar fitnah ke seluruh warga kampung kalau aku sudah berselingkuh dengan Mas Dimas? Hmmm...Ibu kok tega bangat sama aku, apa salah aku Bu? Apa salah aku, sampai-sampai aku di fitnah seperti itu."Amira tidak dapat membendung air matanya. Dia menangis.
"Apa selama menjadi menantu Ibu, aku pernah berbuat salah? Pernah membentak Ibu? Melawan semua perintah Ibu? Apa pernah aku menyuruh Ibu masak buat aku, nyuruh Ibu mencuci baju kotor aku? Iya Bu? Coba katakan Bu dimana letak kesalahan aku. Biar aku meminta maaf bersujud di kaki Ibu, bila perlu aku mencium kaki Ibu. Jadi tolong sekarang Ibu katakan."
Bersambung.......
Jd gmes bcanya bkin emosi
Thor jgn bkin amira jd org bego. Toh itu cm mertua bkn ibu kndungnya