Di desa kandri yang tenang, kedamaian terusik oleh dendam yang membara di hati Riani. karena dikhianati dan ditinggalkan oleh Anton, yang semula adalah sekutunya dalam membalas dendam pada keluarga Rahman, Riani kini merencanakan pembalasan yang lebih kejam dan licik.
Anton, yang terobsesi untuk menguasai keluarga Rahman melalui pernikahan dengan Dinda, putri mereka, diam-diam bekerja sama dengan Ki Sentanu, seorang dukun yang terkenal dengan ilmu hitamnya. Namun, Anton tidak menyadari bahwa Riani telah mengetahui pengkhianatannya dan kini bertekad untuk menghancurkan semua yang telah ia bangun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Cinta Dan Keraguan
Hari itu, Anton datang ke rumah Riani dengan membawa bungkusan bubuk dari Ki Sentanu yang disembunyikan rapat di dalam saku celananya. Ia berusaha bersikap tenang dan biasa saja, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia tidak ingin ada seorang pun yang curiga bahwa ia menyimpan niat jahat pada Pak Rahman. Ia bersikap seperti biasa, berusaha menyembunyikan rencana liciknya di balik senyum palsu dan sapaan ramah.
Riani menyambut Anton dengan senyum penuh arti. Ia tahu apa yang dibawa Anton, dan ia sudah menyiapkan segala sesuatunya agar rencana mereka berjalan lancar. Ia mengajak Anton masuk ke kamarnya, tempat mereka bisa berbicara tanpa didengar oleh orang lain.
"Sudah siap, Ton?" tanya Riani dengan nada berbisik.
"Siap, Ri. Aku sudah tidak sabar ingin melihat Pak Rahman bertekuk lutut di hadapanku," jawab Anton dengan nada penuh dendam.
"Bagus. Ingat, Ton, kita harus berhati-hati. Jangan sampai ada yang tahu tentang rencana kita," pesan Riani.
"Tenang saja, Ri. Aku sudah memikirkan semuanya dengan matang," jawab Anton.
Mereka kemudian membahas detail rencana mereka. Riani menjelaskan bagaimana ia akan memasukkan bubuk itu ke dalam minuman Pak Rahman saat kerja bakti memperbaiki jalan di depan rumah mereka. Ia akan memastikan bahwa tidak ada yang mencurigai perbuatannya.
"Ingat, Ton, kamu harus datang ke rumahku saat kerja bakti dimulai. Bawa bubuk itu, dan serahkan padaku. Biar aku yang mengurus sisanya," kata Riani.
"Baik, Ri. Aku akan datang tepat waktu," jawab Anton.
Beberapa hari kemudian, hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari itu adalah hari kerja bakti memperbaiki jalan di depan rumah Riani. Anton merasa gugup dan cemas. Ia takut rencananya akan gagal.
Namun, ia berusaha menenangkan dirinya. Ia ingat akan janjinya untuk membalas dendam pada Pak Rahman. Ia ingat akan impiannya untuk menikahi Dinda dan hidup kaya raya. Ia tidak boleh gagal.
Anton datang ke rumah Riani dengan membawa bungkusan bubuk itu. Ia melihat banyak orang sudah berkumpul di depan rumah Riani. Ada bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja putra yang siap untuk bekerja bakti.
Anton melihat Pak Rahman juga ada di antara mereka. Ia merasa amarahnya kembali membara. Ia ingin segera melaksanakan rencananya.
Riani melihat Anton datang. Ia menghampirinya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.
"Sudah siap, Ton?" tanya Riani dengan nada berbisik.
"Siap, Ri. Ini bubuknya," jawab Anton sambil menyerahkan bungkusan itu kepada Riani.
Riani menerima bungkusan itu dan menyimpannya di tempat yang aman. Ia kemudian mengajak Anton untuk bergabung dengan yang lain.
Anton berusaha bersikap ramah dan sopan kepada semua orang. Ia tidak ingin ada yang curiga padanya.
Namun, di dalam hatinya, ia merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti sedang berakting di depan kamera. Ia merasa seperti seorang penjahat yang sedang menyamar menjadi orang baik.
Sementara itu, Riani mulai melaksanakan rencananya. Ia membuat minuman dan camilan untuk para peserta kerja bakti. Ia memastikan bahwa minuman dan camilan itu terlihat lezat dan menggugah selera.
Ia kemudian memasukkan bubuk itu ke dalam salah satu gelas minuman. Ia memastikan bahwa tidak ada yang melihat perbuatannya.
Setelah selesai, ia membawa minuman dan camilan itu ke depan rumah. Ia menawarkan minuman itu kepada semua orang.
"Silakan diminum, Bapak-bapak, Ibu-ibu, Mas-mas, Mbak-mbak. Semoga bisa menghilangkan dahaga setelah bekerja keras," kata Riani dengan senyum manis.
Semua orang menerima tawaran Riani dengan senang hati. Mereka meminum minuman itu dengan lahap.
Anton melihat Pak Rahman juga meminum minuman itu. Ia merasa senang dan puas. Ia yakin bahwa sebentar lagi rencananya akan berhasil.
Setelah meminum minuman itu, Pak Rahman mulai merasa aneh. Ia merasa pusing dan mual. Ia juga merasa sangat lelah.
"Saya kok merasa tidak enak badan ya," kata Pak Rahman kepada istrinya.
"Mungkin Bapak kecapekan. Sebaiknya Bapak istirahat saja di rumah," jawab istrinya.
Pak Rahman kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan kondisinya.
Anton melihat Pak Rahman pulang. Ia merasa senang dan lega. Ia yakin bahwa bubuk itu sudah mulai bekerja.
Beberapa hari kemudian, Anton mendengar kabar bahwa Pak Rahman telah berubah sikap terhadapnya. Pak Rahman menjadi lebih ramah dan sopan kepadanya. Ia bahkan mengizinkan Anton untuk bertemu dengan Dinda kapan saja.
Anton merasa senang dan puas. Ia yakin bahwa rencananya telah berhasil. Ia akan segera menikahi Dinda dan hidup kaya raya.
"Aku sekarang bahagia, Din, karena Bapakmu sekarang merestui hubungan kita!" kata Anton pada suatu sore, saat mereka bertemu dan pergi keluar bersama. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Aku juga bahagia, Mas. Karena Bapak sekarang sudah merestui kita, dan ini berkat perjuangan Mas Anton memperjuangkan cinta kita!" kata Dinda, bahagia dan bangga pada Anton. Ia merasa beruntung memiliki kekasih seperti Anton yang begitu mencintainya.
Anton hanya tersenyum mendengar pujian Dinda. Namun, di balik senyum itu, tersembunyi tawa sinis di dalam hatinya. Ia merasa berhasil memperdaya Dinda dan keluarganya. Ia merasa seperti seorang pemenang yang telah berhasil menaklukkan musuhnya.
"Yuk, kita pulang!" ajak Anton sambil berdiri dari duduknya. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu. Ia takut ada yang curiga padanya.
"Kok cepet pulang sih?" rengek Dinda manja, merasa waktu berlalu terlalu cepat saat bersama Anton. Ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan Anton.
"Kata orang-orang tua, calon pengantin itu nggak boleh bepergian sampai menjelang maghrib, nanti kena sawan!" balas Anton sambil tertawa lepas, berusaha mencairkan suasana. Ia berusaha membuat Dinda tidak curiga dengan sikapnya.
"Hallah, mitos itu!" jawab Dinda, masih dengan nada manja, tidak percaya dengan perkataan Anton. Ia tidak percaya dengan mitos-mitos kuno.
"Mitos atau bener, sebaiknya kita turuti saja. Daripada nanti kita dimarahi, lagi pula nggak ada salahnya kita turuti demi menjaga segala kemungkinan!" kata Anton lagi, kali ini sambil berjalan menuju motornya. Ada sedikit nada memaksa dalam suaranya yang membuat Dinda sedikit heran, namun ia tepis jauh-jauh pikiran itu. Ia tidak ingin berpikir buruk tentang Anton, apalagi setelah ayahnya memberikan restu. Mungkin Anton hanya ingin menjaga tradisi, pikirnya. Ia tidak ingin memperpanjang perdebatan, jadi ia memutuskan untuk mengalah. Lagipula, ia merasa sedikit lelah dan ingin segera beristirahat di rumah.
Melihat Anton sudah berjalan menuju motornya dengan langkah yang mantap, mau tak mau Dinda berdiri dan menyusul Anton. Ia tersenyum manis, berusaha menutupi keheranannya. "Iya deh, Mas. Nurut aja," katanya sambil menggandeng lengan Anton. Ia berharap dengan bersikap seperti ini, Anton akan merasa senang dan melupakan kejadian kecil ini. Ia tidak ingin ada masalah apapun yang bisa merusak kebahagiaan mereka.
Tak lama kemudian, mereka meninggalkan tempat itu, diiringi kepakan sayap burung-burung yang pulang menuju sarang mereka. Suasana sore itu terasa begitu damai dan indah, dengan langit yang berwarna oranye keemasan dan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan. Namun, di benak Dinda, ada sedikit ganjalan yang masih belum bisa ia pahami. Ia merasa ada sesuatu yang berubah dari diri Anton, sesuatu yang sulit untuk dijelaskan. Ia merasa Anton menjadi lebih terburu-buru dan sedikit memaksa.
Beberapa hari kemudian, Dinda semakin merasakan ada yang aneh dengan ayahnya. Ayahnya menjadi sangat menurut pada Anton, bahkan memanjakannya seperti anak sendiri. Padahal, dulu ayahnya sangat tidak menyukai Anton. Perubahan sikap ayahnya ini membuat Dinda semakin bingung dan bertanya-tanya. Ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tetapi ia merasa bahwa ia harus mencari tahu kebenarannya. Ia tidak ingin menjadi korban dari sebuah kebohongan. Ia ingin melindungi dirinya dan keluarganya dari bahaya yang mungkin mengintai. Meski ia sangat mencintai Anton, ia tidak akan ragu untuk meninggalkannya jika ia terbukti bersalah. Ia akan melakukan apa saja untuk mengungkap kebenaran, meskipun itu berarti ia harus menghadapi risiko.
Suatu malam, saat Anton berkunjung ke rumahnya, Dinda mencoba untuk berbicara dengan ayahnya. Ia ingin menanyakan mengapa ayahnya tiba-tiba berubah sikap terhadap Anton. Namun, ayahnya hanya tersenyum dan berkata, "Anton itu anak baik, Din. Bapak senang kalau kamu bisa bahagia dengannya." Jawaban ayahnya ini tidak memuaskan Dinda. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan ayahnya darinya. Ia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia belum tahu apa itu. Ia merasa kebingungan dan sedikit takut, tapi ia belum sampai pada tahap curiga yang aktif. Ia hanya merasa ada sesuatu yang "off" atau tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Dinda memutuskan untuk sementara waktu mengabaikan perasaannya dan mencoba untuk menikmati kebahagiaannya bersama Anton. Ia berpikir mungkin ia hanya terlalu paranoid dan terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting. Ia ingin percaya bahwa Anton benar-benar mencintainya dan bahwa ayahnya benar-benar sudah merestui hubungan mereka. Ia ingin percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*