Putri Raras Ayu Kusumadewi, putri tunggal dari salah satu bangsawan Keraton Yogyakarta, selalu hidup dalam aturan dan tata krama yang ketat. Dunia luar hanyalah dongeng yang ia dengar dari pengawal dan dayang-dayangnya.
Hingga suatu hari, atas nama kerja sama budaya, Keraton Yogyakarta menerima kunjungan kehormatan dari Pangeran William Alexander dari Inggris, pewaris kedua takhta Kerajaan Inggris.
Sebuah pertemuan resmi yang seharusnya hanya berlangsung beberapa hari berubah menjadi kisah cinta terlarang.
Raras menemukan kebebasan dan keberanian lewat tatapan sang pangeran yang hangat, sementara William melihat keindahan yang belum pernah ia temui — keanggunan Timur yang membungkus hati lembut seorang putri Jawa.
Namun cinta mereka bukan hanya jarak dan budaya yang menjadi penghalang, tapi juga takdir, tradisi, dan politik dua kerajaan.
Mereka harus memilih — cinta, atau mahkota.
.
.
Note: semua yang terkandung dalam cerita hanya fiktif belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uffahazz_2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Between Silk and Snow
Salju mulai turun lagi di halaman belakang istana Windsor. Butiran putih menempel lembut di pucuk bunga mawar yang telah layu. Dari balik jendela kaca tinggi, Raras menatapnya diam-diam — matanya menerawang jauh, seolah setiap serpihan salju membawa rindu akan tanah kelahirannya di Yogyakarta.
Di sana, langit biasanya cerah dan burung-burung berkicau di pepohonan keraton. Di sini, hanya ada udara dingin dan keheningan yang menggantung.
Pagi itu, Raras dijadwalkan menghadiri jamuan kecil bersama beberapa bangsawan Inggris yang datang berkunjung. Lady Eleanor telah menyiapkan gaun untuknya: sebuah gaun satin warna biru keperakan yang membungkus tubuhnya dengan anggun. Meski indah, Raras masih canggung dengan pakaian barat yang serba terbuka di bagian bahu.
Namun, ia tersenyum sopan saat Lady Eleanor berkata,
“You look absolutely divine, Your Highness. London will remember you today.”
*“Anda tampak sangat menawan, Yang Mulia. London akan mengingat Anda hari ini.”
Raras hanya menunduk sedikit. “Terima kasih, Lady Eleanor. Saya harap saya tidak menyinggung siapa pun dengan cara saya.”
Lady Eleanor menatapnya hangat. “You could never. Your grace speaks louder than any language.”
*"Kau takkan pernah bisa. Keanggunanmu berbicara lebih keras daripada bahasa apa pun."
---
The Garden Ballroom
Ruangan itu berkilau dengan lampu kristal dan wangi bunga segar. Para tamu berbicara pelan dengan aksen Inggris yang khas, gelas sampanye beradu, dan tawa halus mengisi udara.
Begitu Raras memasuki ruangan, beberapa kepala langsung menoleh. Tatapan ingin tahu — dan sebagian lagi, tatapan menilai.
“Is she the Javanese princess?” bisik seorang wanita muda dalam gaun merah.
*“Apakah dia putri Jawa?”
“Yes,” jawab seorang lord paruh baya dengan nada dingin. “Exotic, isn’t she?”
*“Ya. Eksotik, bukan?”
Raras mendengar sedikit percakapan itu, namun ia pura-pura tidak tahu. Ia hanya menunduk sopan, senyumnya tetap lembut meski ada rasa getir di dadanya.
Tak lama kemudian, Pangeran William masuk dengan seragam formal kerajaan berwarna biru tua. Senyumnya muncul begitu melihat Raras berdiri di sudut ruangan.
“Princess Raras,” sapanya dengan nada lembut. “You look… breathtaking.”
*“Putri Raras, kamu terlihat… menakjubkan.”
Raras menunduk sedikit, wajahnya bersemu merah. “Thank you, Your Highness. I hope I blend in well enough.”
*"Terima kasih, Yang Mulia. Semoga saya bisa berbaur dengan baik."
William tersenyum kecil. “You stand out — in the most beautiful way.”
*“Kamu menonjol — dengan cara yang paling indah.”
---
Mereka kemudian berbincang di meja utama bersama beberapa bangsawan senior.
Namun, tak semua menyambut hangat. Seorang wanita berambut pirang, Duchess Clarisse of Wexford, menatap Raras dengan senyum dingin.
“So, Princess Raras,” katanya dengan nada manis yang menyengat. “I heard your people still believe in… spirits? How fascinating.”
*“Jadi, Putri Raras. Kudengar orang-orangmu masih percaya pada... roh? Sungguh menakjubkan."
Beberapa orang tertawa kecil. Raras menatapnya tenang, tidak tersinggung.
Dengan suara lembut ia menjawab,
“In Java, we believe everything in nature has a soul. It teaches us to live respectfully — even to the wind.”
*"Di Jawa, kami percaya bahwa segala sesuatu di alam memiliki jiwa. Hal ini mengajarkan kami untuk hidup dengan penuh rasa hormat — bahkan terhadap angin."
Suasana meja mendadak hening. Jawaban itu tak bisa dibantah, halus tapi penuh makna. William menatapnya bangga.
“That is a beautiful way to see the world,” katanya sambil menatap Clarisse dengan tatapan menegur.
*“Itu adalah cara yang indah untuk melihat dunia,”
Clarisse hanya tersenyum kaku. “Of course, how… poetic.”
“Tentu saja, betapa… puitisnya.”
---
Acara terus berlanjut. Musik waltz lembut mengalun dari orkestra di sisi ruangan. Para tamu mulai berdansa.
William berbalik ke arah Raras. “May I have this dance?”
*“Bolehkah aku berdansa?”
Raras menatap ragu. “I’m afraid I might step on your foot, Your Highness.”
*“Saya takut menginjak kaki Anda, Yang Mulia.”
William tertawa kecil. “Then I shall consider it an honor.”
*“Kalau begitu, aku akan menganggapnya sebagai suatu kehormatan.”
Raras tertawa malu, lalu akhirnya menaruh tangannya di genggaman William. Hangat. Tangan sang pangeran besar dan kokoh, kontras dengan jemari lentik Raras yang halus seperti sutra.
Langkah mereka perlahan menyatu mengikuti irama. Raras mencoba menyesuaikan diri, dan meski sedikit kaku di awal, gerakannya segera menjadi luwes. Gaunnya berputar lembut di bawah cahaya chandelier, membuat banyak pasang mata terpaku.
William menatapnya dengan lembut. “You’re doing perfectly, Princess.”
*“Kau melakukannya dengan sempurna, Putri.”
Raras membalas dengan senyum malu. “Perhaps it’s because I have a good teacher.”
*“Mungkin karena aku punya guru yang baik.”
Mereka terus berdansa, tanpa menyadari waktu berjalan. Hanya ada musik, cahaya, dan dua hati yang mulai berdetak dalam irama yang sama.
Ketika musik berhenti, William menunduk sopan dan mencium punggung tangan Raras.
“Thank you, Princess. You’ve made this evening unforgettable.”
*“Terima kasih, Putri. Kau membuat malam ini tak terlupakan.”
Raras menunduk, menahan senyum. “You are too kind, Your Highness.”
*“Anda terlalu baik, Yang Mulia.”
Namun ketika ia hendak mundur dari lantai dansa, Clarisse mendekat lagi dengan senyum tajam.
“You must tell us someday how it feels,” katanya pelan tapi cukup keras untuk terdengar. “To be a princess from a palace no one has heard of.”
¹“Suatu hari nanti kamu harus memberi tahu kami bagaimana perasaanmu,” ²“Menjadi seorang putri dari istana yang tak seorang pun pernah mendengarnya.”
Kali ini, Raras menatap langsung ke arah Clarisse. Matanya tetap lembut, tapi penuh wibawa.
“Perhaps it feels the same,” katanya tenang. “To be a princess in a world that forgets kindness.”
*“Mungkin rasanya sama. Menjadi seorang putri di dunia yang melupakan kebaikan.”
Suasana langsung senyap. Clarisse terdiam, sementara William menatap Raras dengan ekspresi kagum.
Ia menunduk ke telinga Raras dan berbisik, “You have the courage of a queen.”
*“Kamu memiliki keberanian seorang ratu.”
Raras hanya tersenyum kecil. “I simply learned to stand with grace, Your Highness.”
*“Saya hanya belajar untuk berdiri dengan anggun, Yang Mulia.”
---
Malam itu, setelah jamuan berakhir, Raras berjalan sendirian di taman belakang istana. Salju turun perlahan, menutupi rumput dan batu-batu jalan. Di tangannya, ia membawa selendang batik halus — satu-satunya benda yang selalu mengingatkannya pada rumah.
William muncul tak lama kemudian, menyusulnya tanpa suara.
“Princess,” panggilnya lembut. “You shouldn’t be out in this cold.”
*“Putri. Kamu tidak seharusnya berada di luar saat cuaca sedingin ini.”
Raras menoleh, menatap wajahnya di bawah cahaya lampu taman. “I’m fine. The snow is beautiful… but it feels lonely.”
*"Aku baik-baik saja. Saljunya indah... tapi rasanya sepi."
William berdiri di sampingnya. “Then perhaps it won’t be, if I stay here.”
*“Mungkin tidak akan terjadi jika aku tetap di sini.”
Hening. Hanya suara angin yang berbisik.
Untuk pertama kalinya Raras merasa sesuatu yang berbeda — tenang, namun bergetar di dada.
“Thank you, Your Highness,” bisiknya pelan.
*“Terima kasih, Yang Mulia,”
William menatapnya, matanya lembut seperti malam itu sendiri. “You can call me William… when it’s just the two of us.”
*“Kamu bisa memanggilku William… saat hanya kita berdua.”
Raras menatapnya sebentar lalu tersenyum samar.
“Then… thank you, William.”
*“Kalau begitu… terima kasih, William.”
Di bawah hujan salju yang jatuh perlahan, dua jiwa dari dua dunia yang berbeda berdiri berdampingan — di antara sutra dan salju, antara takdir dan perasaan yang mulai tumbuh.
nah,,, buat sebagian org, cinta nya kok bisa diobral sana sini,, heran deh,,
aku suka,,,aku suka,,,
mommy komen nih ya,,,🥰
kalo sempet blz komen kita" ya
senang banget mommy atuh neng,,,
bisa baca karya mu di sini lg🥰