 
                            Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Jhonatan merasakan euforia yang aneh saat meninggalkan rumah Alvino. Langkahnya terasa ringan, pikirannya dipenuhi satu nama — Aresa. Baginya, bisnis bisa menunggu. Ada hal yang jauh lebih penting daripada sekadar angka dan strategi. Setelah sembilan tahun mencari, ia tidak akan membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja.
Ia kembali ke markas, tetapi fokusnya buyar. Pratu Haris sampai kebingungan melihat tingkah sang kapten.
“Haris,” panggil Jhonatan.
“Siap, Kapten! Ada yang bisa saya bantu?” tanya Haris ketika melihat Jhonatan hanya duduk melamun di balik meja kerjanya.
“Tidak ada, Haris. Saya hanya sedang memikirkan strategi baru,” jawab Jhonatan. Suaranya terdengar datar seperti biasa, tetapi matanya memancarkan kilau berbeda.
Ia mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada Alvino.
Jo: Vin, apa Aresa masih di rumahmu?
Alvino: Masih, Jo. Kenapa?
Jo: Aku butuh datanya. Aku ingin dia bergabung di bisnis ini, supaya kita bisa leluasa saat presentasi ke Bapaknya Aresa.
Alvino: Nanti aku kirim. Kamu kok kayak kesetanan begitu sih nanya Aresa terus.
Jhonatan tidak membalas. Ia tahu Alvino akan memberikannya. Ia hanya butuh alasan untuk kembali. Rencana yang ia susun sederhana, tetapi efektif: menggunakan dalih bisnis, ia akan datang lagi ke rumah Alvino — dan kali ini, ia akan pastikan bisa berbicara langsung dengan Aresa. Ia akan menunjukkan bahwa ia bukan sekadar “pria berseragam” yang galak, seperti yang Aresa pikirkan.
****
Aresa terbangun dari tidurnya. Ia merasa sedikit lebih baik, tetapi memori tentang tatapan Jhonatan masih terngiang di kepalanya. Ia bangkit, wajahnya terlihat sebal.
“Ih, kenapa sih kebayang muka dia terus, ganggu banget,” gumamnya.
Pikirannya juga melayang pada Liam — Liam Gracia, pacar bulenya. Mereka sudah menjalin hubungan dua tahun lamanya, dan Aresa sangat mencintainya. Namun, ada satu hal yang selalu menjadi benteng di antara mereka: perbedaan keyakinan. Liam bersikeras tidak mau berpindah agama, dan keluarga Aresa sudah pasti tidak akan merestui hubungan mereka. Aresa merasa lelah — lelah dengan hubungan yang tidak memiliki masa depan.
Sore harinya, saat Aresa sedang asyik bermain dengan Gio, Alvino datang menghampirinya.
“Resa, nanti malam Jhonatan mau datang lagi,” bisiknya.
Aresa langsung terdiam.
“Ngapain, Mas? Kan sudah tadi,” tanyanya, nada suaranya berubah panik.
“Mau bahas bisnis. Mau ngajak kamu gabung di proyek kita. Jhonatan minta datamu. Aku sudah bilang kalau kamu masih capek, tapi dia memaksa,” jawab Alvino, tampak tak enak hati.
Aresa menghela napas panjang. Ia tahu, ia harus bersikap profesional. Tidak boleh ada lagi insiden “lari ke kamar”. Ia memutuskan untuk memakai pakaian yang lebih sopan: kemeja hitam lengan panjang, celana kulot cokelat muda, dan hijab dengan warna senada. Ia siap menghadapi Komandan Galak itu.
****
Malam itu, Jhonatan tidak bisa tenang. Pikirannya terus berputar, menyusun strategi layaknya hendak menyerbu markas musuh. Kali ini, “musuhnya” bukan kelompok bersenjata, melainkan seorang wanita dengan tatapan setajam elang dan langkah secepat kelinci.
Rencana yang ia susun sederhana, tetapi efektif. Menggunakan dalih bisnis, ia akan datang lagi ke rumah Alvino, dan kali ini ia akan memastikan bisa berbicara langsung dengan Aresa. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya bukan sekadar pria berseragam yang galak, seperti yang Aresa pikirkan.
Pukul delapan malam, Jhonatan sudah siap dengan seragam lengkapnya. Pakaian Dinas Harian (PDH) berwarna hijau army membalut tubuh tegapnya, dengan lencana pangkat Kapten tersemat kokoh di pundaknya. Ia memastikan setiap kancing bajunya terpasang sempurna, setiap lipatan celananya tajam. Penampilan adalah segalanya. Ia ingin Aresa melihatnya bukan sebagai sosok menakutkan, melainkan sebagai pria yang berwibawa dan penuh kendali.
****
Di sisi lain, Aresa merasa gelisah. Entah apa yang dipikirkannya. Niat awalnya datang ke rumah sepupunya untuk menenangkan diri, kini justru menyeretnya ke urusan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya — dengan seseorang yang begitu menyita pikirannya.
Di tengah lamunannya, Ayu datang menghampiri.
“Resa, Kapten Jhonatan sudah datang,” bisiknya.
Aresa menghela napas panjang, mencoba menguatkan diri. Ia melangkah keluar kamar dan mendapati Jhonatan sudah duduk di ruang tamu, di samping Alvino.
“Terima kasih sudah datang, Jo,” sapa Alvino.
“It’s okay, Vin,” jawab Jhonatan, matanya tak lepas dari Aresa. Tatapannya tajam, seolah menantang: kali ini kau tidak akan bisa lari.
Aresa menunduk, tak berani menatap balik. Ia berusaha bersikap tenang dan profesional.
“Silakan duduk, Kapten Jhonatan,” katanya datar.
Jhonatan duduk di hadapan Aresa. Suasana berubah canggung. Alvino yang merasa tidak enak, berusaha memecah keheningan.
“Jo, ayo mulai saja. Biar cepat selesai.”
Jhonatan mengangguk pelan, lalu mengeluarkan sebuah tablet dari tasnya.
“Saya datang untuk membicarakan bisnis. Saya ingin Anda turut serta dalam proyek ini karena lokasinya di tanah milik keluar Anda. Saya butuh data Anda,” ujarnya
Aresa mengangkat kepala. Tatapannya lurus, dingin. Ia tidak akan lari.
“Silakan, Kapten Jhonatan. Data apa yang Anda butuhkan?” tanyanya datar.
“Semua data, baik pribadi maupun pekerjaan. Termasuk kontrak kerja yang sedang Anda jalani sekarang,” jawab Jhonatan, menatapnya lekat.
Aresa terkejut. Ia tidak menyangka Jhonatan akan meminta data yang begitu pribadi. Ini bukan sekadar urusan bisnis lagi — ini tentang rasa ingin tahu Jhonatan terhadap dirinya.
“Untuk apa Anda butuh data itu? Bisnis ini tidak ada hubungannya dengan pekerjaan saya,” suaranya mulai meninggi.
“Ada hubungannya dengan bisnis keluarga Anda. Saya ingin tahu berapa modal yang bisa Anda keluarkan,” jawab Jhonatan tenang. “Kita tidak bisa membangun proyek tanpa modal.”
“Saya tidak butuh modal dari Anda. Saya punya uang sendiri,” balas Aresa, nadanya bergetar antara marah dan tersinggung.
“Saya tahu. Tapi saya butuh data Anda untuk membuat presentasi yang meyakinkan,” ujar Jhonatan.
Aresa terdiam. Ia merasa terpojok. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu berkata pelan,
“Baiklah. Saya akan kirimkan datanya besok.”
Jhonatan tersenyum tipis.
“Saya butuh sekarang,” katanya datar, tetapi penuh dominasi.
Aresa menatapnya tajam. Ia tahu Jhonatan sedang mengujinya.
“Tidak bisa. Saya tidak membawa datanya sekarang.”
“Saya akan tunggu,” ujar Jhonatan, tetap dengan nada tenang namun sarat tekad.
Pertarungan pun dimulai — bukan dengan senjata atau strategi militer, melainkan dengan tatapan dan kata-kata. Dua sosok keras kepala, sama-sama ingin menang. Aresa menyadari, ini bukan sekadar takdir. Ini adalah awal dari sebuah pertarungan... pertarungan yang harus ia menangkan.
ahhh... sepertinya cocok dengan Jonathan yang keras kepala.
kalau dia punya pilihan