NovelToon NovelToon
Cinta Di Atas Abu

Cinta Di Atas Abu

Status: sedang berlangsung
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: RizkaAube

Hidup Nara berubah dalam satu malam. Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu terjebak dalam badai takdir ketika pertemuannya dengan Zean Anggara Pratama. Seorang pria tampan yang hancur oleh pengkhianatan. Menggiringnya pada tragedi yang tak pernah ia bayangkan. Di antara air mata, luka, dan kehancuran, lahirlah sebuah perjanjian dingin. Pernikahan tanpa cinta, hanya untuk menutup aib dan mengikat tanggung jawab. Namun, bisakah hati yang terluka benar-benar mati? Atau justru di balik kebencian, takdir menyiapkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka? Dan diantara benci dan cinta, antara luka dan harapan. Mampukah keduanya menemukan cahaya dari abu yang membakar hati mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaAube, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter : 4

“Ya ampun, ke mana sih anak ini?” keluh Melisa sambil mondar-mandir di ruang tamu. Wajahnya penuh cemas. “Ditelepon dari tadi malam tidak diangkat-angkat. Sudah hampir tengah malam sekarang, tetap saja tidak ada kabar. Sesibuk itukah dia?”

Baru saja Melisa akan mencoba menelepon lagi, ponselnya berdering. Matanya membulat, buru-buru mengangkat panggilan masuk itu. “Akhirnya nelpon juga, dasar anak!” gumamnya lega.

“Halo, Ma. Ada apa?” suara Zean terdengar di seberang.

“Ada apa kamu bilang?! Sudah hampir dua puluh empat jam kamu menghilang, tak ada kabar sama sekali!” bentak Melisa geram. “Benar-benar ya kamu, Zean… anak durhaka!”

“Maaf, Ma. Aku sedang sibuk dengan rekan bisnis baru,” jawab Zean beralasan.

“Rekan bisnis baru?” cecar Melisa. “Atau kamu masih sibuk meratapi patah hati karena wanita nggak jelas itu… siapa namanya? Lusi, ya? Perempuan nggak tahu diri itu!”

“Ma, aku—”

“Aku apa? Kamu itu nggak pernah dengar nasihat Mama, padahal semua Mama lakukan demi kebaikanmu!” suara Melisa mulai bergetar menahan marah. “Pokoknya Mama nggak peduli! Malam ini kamu harus pulang. Kalau sampai kamu nggak pulang, biarkan saja Mama tidur di sofa ini!”

Zean menghela napas panjang. “Baik, Ma. Aku memang sedang dalam perjalanan pulang. Ada hal penting yang harus aku bicarakan dengan Mama dan Papa.”

Melisa terdiam. Nada suara Zean terdengar serius, bahkan membuat kekesalannya sedikit mereda.

“Ada apa, Zean?” tanyanya, kali ini dengan suara lebih tenang. “Kamu punya masalah?”

“Nanti akan aku jelaskan kalau sudah di rumah,” jawab Zean, lalu menutup sambungan telepon.

“Ada apa, Ma?” tanya Cika, adik Zean yang masih berusia lima belas tahun. Ia keluar dari kamarnya, merasa heran melihat ekspresi cemas ibunya.

Melisa tak menjawab. Hendrik, suaminya yang duduk membaca majalah, ikut mengernyitkan dahi. Ia melipat majalahnya, meletakkannya di atas meja kaca.

“Zean menelepon,” ujar Melisa akhirnya. “Dia bilang ingin bicara sesuatu… Mama merasa ini bukan hal sepele.”

Belum sempat Hendrik merespons, suara mobil berhenti di depan rumah. Tak lama, pintu rumah terbuka dan Zean masuk dengan langkah pelan. Wajahnya terlihat tegang.

Melisa segera berdiri dan menarik tangan putranya untuk duduk di sofa. “Cepat katakan, Zean! Apa yang sebenarnya terjadi? Perusahaanmu bermasalah? Atau kamu patah hati karena Lusi?”

“Sayang, beri dia waktu sebentar,” Hendrik mencoba menenangkan istrinya. “Anak kita baru pulang, beri dia ruang untuk bernapas.”

“Ih,Papa diam dulu!” Potong Melisa cepat,menatap hendrik kesal. Ia kembali menatap Zean dengan tatapan mendesak “Zean, jawab Mama sekarang!”

Zean menarik napas panjang, menunduk sejenak sebelum akhirnya berbicara, “Cika, kamu ke kamar dulu ya!”ucapnya pada sang adik, rasanya tidak pantas jika harus berbicara hal seperti ini di depan adiknya

Cika hanya mengangguk patuh. Setelah kepergian cika, zean mulai buka suara.

“Aku minta maaf, Ma, Pa… Aku tahu kalian pasti kecewa. Mungkin bahkan membenciku. Tapi ini benar-benar di luar kendaliku,” ucapnya pelan, dengan suara bergetar.

Melisa dan Hendrik saling berpandangan, tak menyangka pembukaan itu terdengar begitu serius.

“Apa maksudmu?” tanya Melisa curiga.

“Aku… aku telah melakukan kesalahan besar. Aku merusak kesucian seorang gadis. Dia masih sangat muda… jauh lebih muda dariku.”

Suasana di ruang tamu mendadak hening. Melisa terdiam, matanya membelalak. Tangannya otomatis menutup mulut. Hendrik hanya bisa menunduk dan memijat pelipisnya pelan.

Zean mengangkat wajah, menatap ibunya. “Dia bukan gadis sembarangan, Ma. Dia bahkan menolak saat aku tawarkan uang. Dia bukan perempuan murahan…”

Plakkk!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Zean, membuat kepalanya sedikit menoleh. Namun, ia tidak membalas. Ia hanya memejamkan mata, menerima amarah ibunya.

“Kamu… kamu bilang dia gadis baik? Lalu kenapa kamu perlakukan dia seperti itu?! Apa selama ini kami pernah mengajarkan kamu jadi laki-laki tak bertanggung jawab?” bentak Melisa dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Kamu pikir ini bisa selesai dengan uang?!” lanjutnya, berdiri di depan Zean yang tertunduk.

“Tidak, Ma. Karena itu aku akan bertanggung jawab. Aku sudah memintanya menikah denganku,” ucap Zean mantap.

Melisa menoleh cepat, hampir tak percaya dengan apa yang ia dengar. “Menikah? Kamu pikir pernikahan itu mainan?! Rumah tangga bukan solusi instan, Zean!”

“Kami sudah membicarakannya. Dan dia menyetujui,” ucap Zean. Ia memilih untuk tidak memberitahu perjanjian dua bulan yang telah dibuatnya bersama Nara.

Hendrik akhirnya ikut bicara. “Apa dia tahu kamu serius?”

“Ya, Pa. Aku akan menikahinya.”

“Apa dia punya orang tua? Kita harus bicara dengan keluarganya,” tambah Hendrik, mencoba mengambil sikap dewasa.

Zean menunduk. “Dia hidup sendiri, Pa. Tak punya keluarga.”

Ucapan itu membuat Melisa menjerit pelan, nyaris histeris. “Ya Tuhan, Zean… kamu menghancurkan masa depan anak gadis yang hidup sebatang kara!”

Ia jatuh terduduk di sofa, tubuhnya bergetar menahan tangis.

“Bawa dia ke rumah,” ucap Hendrik akhirnya. “Perkenalkan dia pada kami. Kami perlu mengenalnya sebelum langkah selanjutnya.”

Zean mengangguk pelan. Matanya masih memerah, pipinya masih panas oleh tamparan sang ibu.

Di malam itu, dalam rumah yang biasanya hangat, kini hanya tersisa keheningan dan getir. Sebuah keputusan besar telah dibuat.dengan beban yang masih menggantung di hati semua orang.

...\~⭑ ⭑ ⭑ ⭑ ⭑\~...

Hari itu, langit mendung seperti menyimpan rahasia. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat seberat beban hati Zean.

Setelah perbincangan penuh tekanan semalam dengan kedua orang tuanya, Zean memulai hari ini dengan kepala penuh pikiran. Tapi seperti biasa, ia tetap tampil profesional di ruang rapat, menyelesaikan negosiasi penting dengan investor asing bersama timnya.

Selesai rapat, Ray menghampiri Zean. “Tuan, apa Anda akan segera pulang?” tanyanya, menunggu perintah.

Zean menutup laptopnya, matanya terlihat lelah. “Kita ke restoran Jack. Papa sudah menunggu di sana. Sekalian makan siang.”

Mobil hitam milik Zean melaju tenang di tengah lalu lintas kota yang padat.

Setibanya di restoran Jack, Zean langsung menuju ruangan VVIP yang sudah dipesan oleh ayahnya.

“Siang, Pa,” ucapnya singkat sambil menyalami dan memeluk ayahnya.

Hendrik tersenyum tipis. “Duduklah. Kita makan dulu.”

Selama makan, keduanya tak banyak berbicara. Namun, setelah makanan hampir habis, Hendrik mulai membuka pembicaraan serius.

“Kamu yakin akan menikahi gadis itu, Zean?” tanyanya, langsung pada inti.

Zean mengangguk pelan. “Aku yakin. Meskipun kami tidak saling mencintai… aku harus bertanggung jawab, Pa.”

Hendrik memandang putranya dalam-dalam. “Papa tahu kamu pria yang bertanggung jawab. Tapi Papa juga tahu kamu bukan orang yang akan menyerah pada tekanan, kecuali kamu merasa bersalah.”

Zean terdiam.

“Jadi, kamu bersalah?” desak Hendrik.

Zean menghela napas. “Aku tidak bisa menjelaskan semuanya, Pa. Tapi ya… aku memang melakukan kesalahan. Dan aku tidak ingin gadis itu menanggungnya sendiri.”

Hendrik mengangguk. Ia sebenarnya sudah tahu sebagian besar kisahnya, berkat penyelidikan diam-diam yang ia lakukan. Ia hanya ingin mendengar langsung dari mulut putranya.

“Apa kalian berencana untuk tinggal bersama setelah menikah?” tanya Hendrik.

“Kami sepakat akan bersikap selayaknya pasangan suami-istri di depan umum. Tapi…” Zean ragu sejenak. “kami tidak akan benar-benar hidup seperti pasangan suami istri. Ini hanya… bentuk tanggung jawab.”

Hendrik menyipitkan mata. “Pernikahan bukan kontrak dagang, Zean. Kamu tidak bisa sekadar menjalankannya setengah hati.”

“Ini yang terbaik untuk saat ini,” jawab Zean cepat.

Hendrik menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. “Kamu pikir kamu bisa menjalani ini tanpa perasaan?”

Zean menggeleng. “Tidak. Aku tidak mencintainya.”

Hendrik menaikkan alis. “Tapi kamu penasaran, kan? Tentang dia. Tentang setelah apa yang kamu lakukan padanya.”

1
Bintang
Smgt 🌷
Etit Rostifah
lanjut ...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!