Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan Malam
“Tidak! Aku masih mual, nanti saja.” Rose berjalan menuju bangunan paling ujung, lalu masuk dengan sesuka hati.
Hose melirik Dimistri. “Apa kau tidak memberitahunya? Rumah yang mana?”
“Belum tuan, kami bahkan belum sempat ngobrol.” Jawab Dimitri menunjuk, merasa bersalah.
“Buat pendekatan yang lebih lagi, sepertinya nyonya Rose ini berbeda.”
Hose pergi untuk menyelesaikan pekerjaan nya yang lain. Dimitri dan Elano segera menuju , bangunan dimana nyonyanya sudah memilih.
---
Rose melangkah masuk. Ruangan itu luas, dengan langit-langit tinggi dan jendela besar yang membiarkan cahaya sore menari di lantai marmer.
Namun, di balik rasa kagum yang tak bisa ia pungkiri, hatinya berbisik pelan,
"Lucas Morreti, kau bisa membungkus sangkar ini dengan emas dan marmer, tapi burung yang kau tangkap , akan mencabik tanganmu suatu hari nanti."gumam nya, menghembuskan napas panjang. Menatap bangunan di arah barat.
“Elano!” panggil Rose.
Elano segera datang. “Saya datang Nyonya__”
“Itu bangunan apa? Kenapa di kelilingi pohon seram?”
“Itulah yang ingin saya tanyakan pada Nyonya, kenapa Nyonya memilih rumah ini. Bangunan ini menghadap langsung ke Gedung terlarang,” jawab Elano.
“Pertanyaanya itu bangunan apa, kau bodoh sekali. Jawabannya tidak nyambung,” ketus Rose.
Elano menelan ludah.
“Elano benar Nyonya. Yang kami tahu itu bangunan terlarang__tidak boleh ada satupun yang masuk kesana, atau dia tidak akan pernah Kembali,” campur Dimitri.
“Sebaiknya Nyonya menatap kepemandangan yang lain saja, atau jika ingin pindah. Akan saya sampaikan pada tuan Hose,” lanjut Dimitri.
Namun Rose justru menatap bangunan itu lebih dalam. “Jangan-jangan Lucas Morreti jelek itu, bersekutu dengan setan. Lalu menumbalkan istri-istrinya, jadi ternyata di Gedung itu aku bisa bertemu dengannya,” gumam Rose, mulai memutar otak agar bisa menysup dan masuk kesana.
**
Lampu gantung kristal di aula makan berpendar lembut, memantulkan cahaya ke meja panjang yang dipenuhi peralatan makan berlapis perak. Aroma sup krim jamur dan roti panggang memenuhi udara, namun entah kenapa ruangan itu terasa dingin.
Rose duduk di kursinya, memandangi deretan wajah-wajah cantik yang tampak seperti potret dari galeri bangsawan. Beberapa tersenyum sopan, beberapa lagi menunduk tanpa suara.
Seorang wanita berambut hitam panjang di sebelah Rose berbisik pelan sambil mengaduk supnya.
"Kau baru di sini, ya? Nikmati saja makan malammu… sebelum gilirannya datang."
Rose mengerutkan dahi. "Giliran apa?"
Wanita itu menatapnya sekilas, lalu menunduk lagi. "Lima orang… setiap minggu."
Sebelum Rose sempat bertanya, seorang istri lain di seberang meja__berpakaian gaun satin biru, menimpali dengan nada getir. "Mereka hilang. Tanpa pamit, tanpa jejak. Kadang tengah malam, kadang subuh. Pagi harinya, kursi mereka kosong seperti tidak pernah ada."
Rose berhenti mengangkat sendoknya. "Kenapa?"
Tak ada yang menjawab. Hanya bunyi denting sendok dan bisikan-bisikan kecil. Dari ujung meja, seorang wanita berwajah eksotis dengan mata hijau tajam tiba-tiba tertawa kecil.
"Tak ada gunanya kau bertanya. Lucas Morreti tidak akan memberitahumu. Dia bahkan tidak pernah mau bertemu kita."
Rose memandangnya. "Tidak pernah?"
Beberapa kepala mengangguk pelan, mata mereka menghindari tatapan Rose.
Wanita bermata hijau itu menegakkan punggungnya, lalu tersenyum sinis. "Kecuali aku."
Ia meletakkan garpu dengan suara nyaring di piring.
"Aku Valentina. Dan aku satu-satunya yang pernah tidur dengan Lucas Morreti."
Ruangan seketika hening. Beberapa istri menunduk lebih dalam, seakan nama itu sendiri adalah kutukan. Rose bisa merasakan denyut aneh di dadanya__antara penasaran, curiga, dan… rasa ingin tahu yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan dari Valentina.
Bibirnya sedikit meringis, “Dia kenapa begitu merasa bangga, tidur dengan pria tua jelek yang banyak istri. Meskipun dia memang suamiku juga sekarang, tetap saja aku tidak sudi__” celoteh batin Rose, Kembali melanjutkan makan malamnya.
Satu hal pasti, Pallazo delle Spose tidak hanya indah, tapi juga menyimpan rahasia yang berlapis-lapis, dan setiap lapisnya berbau bahaya, pikir Rose. Mata bulatnya melihat ke sekitar. Mungkin saja ada camera tersembunyi yang mengawasi mereka.
**
Rose tidak bisa tidur. Kata-kata Valentina saat makan malam tadi terus terngiang di kepalanya.
“Lima orang… setiap minggu.”
Jam di kamarnya berdetak pelan. Pukul sebelas lewat.
Dari balkon kamarnya, ia bisa melihat sebagian halaman Pallazo delle Spose yang diterangi lampu taman. Indah… tapi terasa seperti kurungan emas.
Pintu kamarnya diketuk tiga kali, pelan dan cepat. Rose bergegas membukanya.
Di luar, berdiri Elano, pelayan termuda yang setia padanya, wajahnya pucat tapi matanya penuh tekad.
"Nyonya… kalau ingin tahu kebenarannya, ikut saya sekarang. Tapi kita harus hati-hati."
Rose mengangguk. Ia mengenakan jubah tipis, lalu mengikuti Elano melewati lorong-lorong panjang istana yang sepi. Hanya bunyi langkah mereka yang terdengar, teredam karpet merah tebal di bawah kaki.
Mereka sampai di ujung sayap timur bangunan, tempat pintu besi tinggi berdiri. Elano mengeluarkan kunci kecil dari saku celemeknya. "Pintu ini biasanya terkunci. Tapi malam ini… sepertinya mereka lupa."
Begitu pintu dibuka, aroma logam dan udara dingin langsung menyergap. Tangga spiral batu menurun ke bawah tanah.
"Ke mana ini?" bisik Rose.
Mira menelan ludah. "Tempat terakhir para istri yang… hilang."
Langkah mereka semakin hati-hati saat cahaya redup dari lampu minyak di dinding menyinari jalan. Di bawah sana, lorong bercabang. Dari salah satu cabang, Rose mendengar suara__suara roda berderit, lalu bisikan laki-laki.
Elano menariknya bersembunyi di balik pilar batu.
Dua pria bertubuh besar lewat, mendorong kereta tertutup kain hitam. Ada sesuatu di bawah kain itu kotak besar, yang entah apa isinya.
Rose menahan napas. Jantungnya berdentum begitu keras, ia takut suara itu akan terdengar.
Begitu langkah para pria menjauh, Elano berbisik, "Nyonya, sekarang mengerti? Mereka tidak pergi. Mereka… dibawa."
Rose menatap lorong yang menelan bayangan kereta itu, lalu kembali pada Elano.
"Mulai malam ini, kita akan cari tahu… siapa yang memerintahkannya." Ucap Rose.
Elano membelalak, melihat keberanian Rose. “Itu berbahaya Nyonya!”
Rose melirik, “Biar aku saja sendiri.” Ucapnya, Kembali ke tangga dimana tadi mereka turun.
Bersambung!