Seorang wanita muda bernama Lydia dipaksa menikah dengan mafia kejam dan misterius, Luis Figo, setelah kakaknya menolak perjodohan itu. Semua orang mengira Lydia hanyalah gadis lemah lembut, penurut, dan polos, sehingga cocok dijadikan tumbal. Namun di balik wajah manis dan tutur katanya yang halus, Lydia menyimpan sisi gelap: ia adalah seorang ahli bela diri, peretas jenius, dan terbiasa memainkan senjata.
Di hari pernikahan, Luis Figo hanya menuntaskan akad lalu meninggalkan istrinya di sebuah rumah mewah, penuh pengawal dan pelayan. Tidak ada kasih sayang, hanya dinginnya status. Salah satu pelayan cantik yang terobsesi dengan Luis mulai menindas Lydia, menganggap sang nyonya hanyalah penghalang.
Namun, dunia tidak tahu siapa sebenarnya Lydia. Ia bisa menjadi wanita penurut di siang hari, tapi di malam hari menjelma sosok yang menakutkan. Saat rahasia itu perlahan terbongkar, hubungan antara Lydia dan luis yang bertopeng pun mulai berubah. Siapa sebenarnya pria di balik topeng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Pagi hari di Zurich masih diselimuti kabut dingin. Vila Moretti, meski tampak kokoh, tetap menyimpan bayang-bayang gelap pertempuran di dermaga.
Isabella terbaring di kamar utama. Tubuhnya menggigil meski sudah dibungkus selimut wol tebal. Wajahnya pucat, tapi matanya tetap hangat saat menatap Alessandro yang duduk di sisinya. Matteo, putra kandungnya, duduk di kursi samping dengan wajah tegang dan mata merah.
“Matteo…” suara Isabella parau, jemarinya bergetar saat meraih tangan anaknya. “Jangan biarkan kebencian menguasaimu. Kau harus menjaga Lydia, bukan hanya bertarung bersamanya.”
Matteo menunduk, mencium punggung tangan ibunya. “Mama, aku janji. Tapi aku tak akan diam jika mereka berani menyentuhmu lagi.”
Di ruang bawah, Lydia duduk di meja panjang bersama Luis dan Rafael. Di hadapan mereka, laporan setebal buku tersusun rapi. Rafael menunjuk halaman terakhir.
“Meski Don Riccardo sudah mati, Ventresca tidak bubar. Ada faksi yang masih setia—terutama mereka yang berhubungan dengan mafia Rusia. Mereka bersembunyi di pegunungan luar Zurich. Informan kita mengatakan, mereka membangun markas bawah tanah di bekas pabrik baja.”
Luis menyipitkan mata. “Berapa jumlah mereka?”
Rafael menelan ludah. “Sekitar seratus orang. Lengkap dengan persenjataan berat.”
Lydia menutup laporan itu. Tatapannya dingin, meski hatinya penuh gejolak. “Jika kita biarkan, mereka akan bangkit lagi. Mereka akan menyerang kita, menyerang kota, menyerang siapa pun yang kita cintai.”
Luis menggenggam tangannya. “Maka kita serang duluan.”
Lydia menoleh, menatapnya lama. Senyum tipis terbentuk di bibirnya. “Bersama.”
----
Ruang bawah tanah vila Moretti berubah menjadi pusat strategi. Peta pegunungan terbentang di meja, penuh tanda merah. Matteo datang dengan wajah penuh amarah, namun kali ini tekadnya lebih jernih.
“Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Mama lagi. Aku ikut.”
Rafael menepuk bahunya. “Kau akan memimpin pasukan depan. Aku dan anak buahku jadi sayap kanan.”
Luis menambahkan, “Aku akan berada di samping Lydia. Menjaganya, agar ia tidak melangkah terlalu jauh.”
Alessandro masuk dengan langkah berat. Rambutnya yang mulai memutih tampak kusut, wajahnya penuh keriput lelah. “Aku sudah melihat terlalu banyak perang. Tapi kali ini… aku tidak akan melarang kalian. Selesaikan ini, demi masa depan kita.”
Lydia menatap ayah angkatnya, lalu menunduk hormat. “Aku berjanji, Papa. Ini akan menjadi akhir dari semuanya.”
Malam itu, halaman vila dipenuhi suara persiapan. Senjata diperiksa, peluru diisi, kendaraan lapis baja dipanaskan. Pasukan Moretti mengenakan pakaian gelap, wajah mereka serius.
Dari jendela lantai dua, Isabella yang sudah bisa duduk memandang keluar. Air matanya mengalir pelan. “Lydia… hati-hati, sayangku.”
Lydia menoleh, memberi senyum singkat ke arah mamanya. “Aku akan kembali.”
-----
Konvoi mobil hitam melaju menembus kabut, meninggalkan Zurich yang tertidur. Jalanan semakin menanjak, pepohonan cemara berdiri kaku di kedua sisi.
Di dalam mobil depan, Lydia duduk di samping Luis. Tangannya memegang pistol, namun pikirannya melayang jauh.
“Kau masih memikirkan kata-kata Riccardo?” tanya Luis pelan.
Lydia menoleh. “Dia benar tentang satu hal. Dunia ini tidak pernah memberi kita kedamaian. Tapi aku tidak akan membiarkan dunia mengatur hidupku lagi. Aku yang menentukan akhir cerita ini.”
Luis tersenyum tipis, lalu mencium punggung tangannya. “Dan aku akan memastikan kau tetap jadi dirimu, bukan monster.”
Mata Lydia melembut. Untuk sesaat, rasa dingin di hatinya mereda.
----
Konvoi berhenti satu kilometer dari bekas pabrik baja. Bangunan tua itu berdiri di tengah lembah, dikelilingi menara penjaga. Lampu sorot menyapu area, suara anjing penjaga menggema.
Rafael memberi instruksi cepat. “Pasukan depan masuk lewat sisi barat, aku dan timku lewat kanan, Lydia dan Luis memimpin tengah.”
Matteo mengangkat senapan, matanya menyala. “Kita akhiri ini.”
Dengan isyarat tangan, pasukan bergerak. Senyap, namun penuh ketegangan.
Beberapa menit pertama berjalan lancar, sampai salah satu penjaga melihat bayangan Matteo. Teriakan keras terdengar. “Intruder!”
Sirene meraung. Tembakan pertama pecah, lalu berubah jadi hujan peluru.
Pertempuran meledak. Ledakan granat menggetarkan tanah. Asap mengepul, darah membasahi salju.
Lydia berlari cepat, tubuhnya lentur meski peluru beterbangan. Ia menusuk dua penjaga dengan pisau, lalu meraih senapan. Luis menembak tepat di belakangnya, melindungi setiap langkah.
“Terus maju!” teriak Lydia.
Rafael dan timnya meledakkan sisi kanan gedung, menciptakan celah. Matteo memimpin pasukan depan, menghajar siapa pun yang menghadang.
Namun Ventresca mengeluarkan kendaraan bersenjata. Suara mesin berat menggelegar, peluru besar menghujani.
“Luis, granat asap!” seru Lydia.
Luis melemparnya. Kabut tebal menutupi pandangan. Dalam kekacauan itu, Lydia memimpin serangan balik.
-----
Mereka akhirnya masuk ke gedung utama. Lorong sempit dipenuhi jejak darah. Bau mesiu menusuk.
Di ruang bawah tanah, pintu baja tebal menghalangi jalan. Matteo menendang, namun sia-sia. Rafael menempelkan bahan peledak.
“Ledakkan,” perintah Lydia.
Boom! Pintu hancur.
Puluhan pria bersenjata menunggu. Pertempuran jarak dekat pecah. Lydia bergerak seperti bayangan, menusuk, menembak, menendang. Luis menutup punggungnya. Matteo meraung seperti singa, Rafael memimpin dengan dingin.
Setelah menit-menit panjang, ruangan itu sunyi. Tubuh Ventresca bergelimpangan.
Namun di ujung ruangan, seorang pria besar masih berdiri. Luka menutup wajahnya, tapi matanya menyala penuh kebencian—Vladislav, jenderal Rusia.
“Kau pikir ini akhir, Lydia? Ventresca tidak akan pernah mati!”
Ia menodongkan senapan mesin.
Namun Lydia lebih cepat. Tembakannya menembus dada pria itu. Vladislav terhuyung, darah muncrat dari mulutnya. “Perempuan… iblis…”
Tubuhnya jatuh dengan dentuman berat.
-----
Lydia berdiri di tengah ruangan, napasnya terengah. Luis menahan bahunya. “Kau berhasil.”
Namun Lydia menatap sekeliling. “Kita belum selesai. Hancurkan semuanya.”
Rafael memberi aba-aba. Pasukan mulai menanam bahan peledak. Matteo membantu dengan wajah penuh amarah.
Dalam hitungan menit, mereka keluar.
Ledakan besar mengguncang lembah. Api menjalar, menghancurkan markas Ventresca.
Luis merangkul Lydia erat. “Ini akhir. Mereka tidak akan bangkit lagi.”
Lydia menutup mata sejenak, membiarkan hangat tubuh suaminya mengalahkan dingin salju.
----
Konvoi kembali ke vila menjelang fajar.
Isabella berlari keluar begitu melihat mereka kembali. Meski masih lemah, ia memeluk Matteo, lalu Lydia. “Kalian kembali… syukurlah.”
Alessandro menatap putrinya lama sekali. “Kau benar, Lydia. Kau bukan lagi anak kecil. Kau pemimpin keluarga ini.”
Lydia menunduk, menahan emosi. “Aku hanya ingin melindungi kita semua, Papa.”
Luis menggenggam tangannya erat. “Dan kau sudah melakukannya.”
----
Malam itu, Lydia berdiri di balkon, menatap Zurich yang tenang. Luis datang membawa dua gelas anggur.
“Untuk kemenangan?” tanya Luis.
Lydia menatapnya, lalu menggeleng. “Untuk kedamaian. Meski aku tahu… kedamaian di dunia ini hanyalah sementara.”
Luis tersenyum, lalu mengecup bibirnya. “Selama aku ada, kedamaianmu akan abadi.”
Mata Lydia melembut. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar pulang.
Salju terus turun, menutupi sisa darah, seolah dunia berusaha memberi mereka lembaran baru.
Keluarga Moretti akhirnya bisa tidur malam itu tanpa bayangan Ventresca. Perang sudah berakhir.
Namun jauh di hati Lydia, ia tahu: kehidupan mafia tidak pernah benar-benar tenang. Akan selalu ada musuh baru, selalu ada ancaman baru.
Tapi kali ini, ia tidak takut lagi. Karena ia punya sesuatu yang tidak pernah ia miliki sebelumnya
Cinta yang menguatkannya.
Bersambung
btw,nysek y kl prpisahn sm kluarga....brsa berat...😭😭😭
tp kl bnrn,aku orng prtma yg bkln kabooorrrr.....😁😁😁
bingung eike 🤔🤔🤔😁
lope2 sekebon buat author /Determined//Determined//Kiss//Kiss//Rose//Rose/
Smngtttt...😘😘😘