NovelToon NovelToon
Cinta Dan Rahasia

Cinta Dan Rahasia

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Pengantin Pengganti / Percintaan Konglomerat / Pengantin Pengganti Konglomerat / Romansa / Roman-Angst Mafia
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Mapple_Aurora

Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.

Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.

Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?

.

Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.

follow ig: @aca_0325

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13

Helena duduk di ruang tamu rumah besar itu, cahaya lampu temaram hanya menerangi sebagian wajahnya. Jam dinding berdetak pelan, seolah mengejek setiap detik yang terasa terlalu panjang. Sejak sore ia sudah kembali ke rumah, tapi bayangan Lucian yang pergi bersama Clara terus menyesakkan dadanya.

Tangannya tak henti meremas ujung dress, napasnya pendek-pendek. Sesekali ia berjalan mondar-mandir di ruang keluarga, lalu kembali duduk, mencoba menenangkan diri dengan secangkir teh yang kini sudah dingin.

"Kenapa lama sekali…" bisiknya lirih, matanya sesekali menoleh ke arah pintu depan.

Helena tahu betul ia tidak seharusnya membiarkan pikirannya dipenuhi prasangka, tapi bayangan Clara yang menatap Lucian dengan penuh keberanian membuatnya sulit berpikir jernih. Malam semakin larut, udara semakin dingin, tapi Lucian belum juga pulang.

Ia akhirnya menyalakan lampu di lantai satu, sekadar agar rumah itu tidak terasa terlalu kosong. Dalam hatinya, Helena hanya ingin satu hal, mendengar suara pintu terbuka, langkah berat Lucian memasuki rumah, dan kepastian bahwa ia tidak sendirian dalam pernikahan yang semakin dingin itu.

Helena akhirnya berdiri, menatap dapur yang sejak tadi gelap pembantu rumah tangga sedang cuti. Ia menyalakan lampu, lalu membuka lemari es. Tangan mungilnya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena gelisah yang tak kunjung reda.

“Aku… harus menyiapkan sesuatu. Setidaknya dia pulang dalam keadaan ada yang menunggu, barangkali dia akan sedikit luluh,” gumamnya, mencoba meyakinkan diri.

Helena mulai memotong bawang, menumis sayuran, dan menanak nasi kembali. Aroma masakan perlahan memenuhi rumah, menyingkirkan hawa dingin dan sepi. Ia sengaja membuat masakan sederhana seperti sup ayam hangat dengan sedikit jahe, lauk tumis sayur, dan ikan goreng kesukaan Lucian.

Sesekali, ia berhenti, menatap panci yang mendidih, lalu menghela napas panjang. Apakah Lucian akan menyentuh makanan ini? Atau hanya sekadar melirik lalu mengabaikan, seperti biasanya?

Helena mengatur meja makan dengan rapi, menaruh piring dan gelas, lalu menuangkan sup ke mangkuk besar. Ia bahkan menyalakan lilin kecil di meja, meski sederhana, hanya untuk memberi suasana hangat.

Jam sudah menunjukkan hampir tengah malam. Helena duduk di kursinya, menatap hidangan yang masih mengepulkan uap tipis. Matanya sesekali melirik ke arah pintu depan, berharap setiap suara kendaraan yang lewat adalah Lucian.

Jantungnya berdegup lebih cepat ketika akhirnya terdengar suara mobil berhenti di halaman.

Pintu depan akhirnya terbuka. Helena segera berdiri, wajahnya yang semula lelah seketika berubah penuh harap. Di ambang pintu, Lucian muncul dengan jas yang masih rapi, wajahnya tenang namun dingin.

“Lucian…” suara Helena bergetar, tapi senyumnya mengembang. “Kau pulang. Aku... aku sudah menyiapkan makan malam. Kau pasti lapar, kan?”

Ia melangkah cepat ke arah Lucian, seakan ingin menghapus jarak yang tercipta sejak dulu. Tangannya menunjuk ke meja makan yang tertata rapi, aroma sup ayam masih menguar hangat.

“Ayo, makan dulu sebelum dingin. Aku sengaja menunggumu.” Helena berkata dengan nada penuh semangat, matanya berkilat penuh harapan.

Lucian berhenti sejenak, menatap meja makan, lalu beralih pada wajah Helena. Ada jeda hening, lalu ia melepas jasnya perlahan.

“Aku sudah makan di luar,” jawabnya singkat, suaranya datar.

Senyum di bibir Helena perlahan pudar. “Tapi… aku sudah menyiapkan ini untukmu. Hanya sebentar saja, Lucian. Makan bersamaku malam ini.”

Lucian menoleh padanya, sorot matanya tajam namun dingin, seolah tidak tersentuh oleh nada memohon Helena. “Helena, jangan memaksakan sesuatu yang tidak perlu. Aku lelah. Aku hanya ingin beristirahat.”

Helena terdiam, dadanya terasa sesak. Ia menunduk, menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. Lilin kecil di meja makan terus menyala, seakan mengejek usahanya yang sia-sia.

Lucian berjalan melewatinya tanpa menoleh, menuju kamar dengan langkah mantap. Hanya suara pintu yang tertutup perlahan menjadi tanda kepergiannya dari ruang makan.

Helena berdiri kaku di ruang itu, sendirian bersama hidangan yang tak tersentuh.

Helena mendengar langkah berat Lucian menaiki tangga. Ada dorongan kuat dalam dirinya, ia tidak bisa lagi hanya diam. Dengan cepat ia menyusul, langkahnya terburu-buru meski penuh ragu.

“Lucian!” panggilnya, suaranya bergetar.

Lucian berhenti di pertengahan tangga, menoleh dengan tatapan lelah. “Ada apa lagi, Helena?”

Helena menggenggam pagar tangga erat-erat, berusaha mengatur napas. “Aku… aku tidak bisa diam saja. Tadi… aku melihatmu bersama Clara di restoran.”

Alis Lucian sedikit berkerut, tapi wajahnya tetap datar. “Lalu?” tanyanya dingin.

Helena menelan ludah, suaranya pecah. “Kenapa kau bersamanya, Lucian? Kemana kalian pergi setelah itu? Dan kenapa… kenapa Clara tiba-tiba muncul sekarang, tepat ketika Amara menghilang?”

Kata-kata itu keluar begitu saja, bercampur antara kecemasan dan rasa takut. Matanya berkaca-kaca, menatap Lucian seolah mencari celah kebenaran.

Lucian menurunkan tangannya yang semula bertengger di pembatas tangga, kini menatap Helena dalam diam. Sorot matanya tajam, tapi sulit ditebak apakah itu marah atau hanya upaya menahan emosi.

Tangga rumah itu terasa begitu sunyi, hanya detak jam dinding yang terdengar.

Helena berdiri di bawah, tubuhnya gemetar. Ia tahu pertanyaan itu bisa membuat jarak mereka semakin renggang, tapi rasa penasaran dan ketakutan tentang Amara terlalu besar untuk ditahan.

Lucian menatap Helena cukup lama dari tangga, seakan menimbang sesuatu. Namun akhirnya, wajahnya kembali mengeras.

“Helena,” ucapnya dingin, suaranya rendah namun menusuk. “Kau sebaiknya tidak ikut campur. Ada hal-hal yang bukan urusanmu.”

Helena terdiam, bibirnya bergetar. “Bukan urusanku? Lucian, ini tentang Amara! Tentang...”

Lucian langsung memotong, nadanya tegas. “Cukup!”

Suara itu menggema di koridor sempit. Tatapan matanya tajam, tanpa sedikit pun keraguan. “Kau tidak perlu tahu. Jangan tanyakan lagi.”

Helena berdiri kaku, tubuhnya semakin gemetar. Ia ingin membalas, ingin memaksa Lucian bicara, tapi kata-kata itu seolah membungkamnya.

Tanpa memberi kesempatan lagi, Lucian berbalik, naik ke atas kemudian membuka pintu kamar, lalu menutupnya dengan keras. Suara pintu menghantam kusen bergema, membuat Helena terlonjak kecil.

Sekarang hanya keheningan yang tersisa, ditambah perih menusuk di dada Helena. Ia berdiri sendirian di tangga, menatap pintu yang tertutup rapat, seolah menjadi tembok tebal antara dirinya dan pria yang ia panggil suami.

Helena menuruni tangga perlahan, setiap langkah terasa berat seakan kakinya tak lagi kuat menahan tubuh. Saat tiba di ruang makan, ia melihat meja yang masih tertata rapi, makanan yang ia buat dengan penuh harap kini hanya tergeletak, dingin dan tak tersentuh.

Ia duduk kembali di kursi, menatap sup yang sudah kehilangan uap hangatnya. Matanya berair, dan tanpa sadar setetes jatuh ke atas meja.

Lucian menolaknya lagi…

Helena mengusap pipinya dengan cepat, mencoba menahan isak. Namun pikirannya segera kembali pada satu nama yang sejak awal mengusik: Amara.

Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Jari-jarinya sempat ragu, lalu membuka daftar kontak. Di antara banyak nama, matanya berhenti pada satu: Rafael.

Sahabat masa kecil Amara. Orang yang, mungkin, lebih mengenal Amara daripada siapa pun.

Helena juga mengenalnya, namun tidak dekat. Rafael adalah tetangga mereka dulu di rumah lama semasa Amara SMP dan SMA. Meski banyak anak-anak komplek yang ingin dekat dengan Rafael, dia hanya dekat dengan Amara.

Mungkin saja Rafael menyukai Amara. Itu wajar, banyak pria mengejar Amara karena kakaknya itu memang idaman setiap pria. Sementara Helena... Ia hanya cahaya pudar yang tidak akan menarik minat siapapun.

Helena menggelengkan kepalanya, lalu menggulirkan nama itu berulang kali, seakan hanya dengan menatapnya ia bisa mendapat jawaban. Tapi ada keraguan besar yang menahannya.

"Jika aku menghubungi Rafael… apakah itu langkah benar? Bagaimana jika Lucian tahu?"

Nafasnya tersengal, ia menggigit bibir. Namun bayangan wajah Amara, senyumnya, dan misteri kehilangannya membuat hati Helena semakin gelisah.

Dengan tangan gemetar, Helena menekan layar ponselnya, jarinya berhenti tepat di atas tombol panggil.

Helena menatap lama nama Rafael di layar ponselnya. Jari telunjuknya gemetar di atas tombol panggil, tapi akhirnya ia menarik napas dalam-dalam dan menggeser ke opsi pesan.

"Jika aku menelpon sekarang, suaraku pasti bergetar. Lebih baik aku menulis saja."

Dengan hati-hati, ia mulai mengetik:

> Rafael, ini Helena. Kita perlu bicara. Tentang Amara. Bisa kita bertemu?

Helena menatap kalimat itu lama, berkali-kali membaca ulang. Rasanya terlalu mendesak, terlalu terbuka. Ia menghapus beberapa kata, lalu menulis lagi.

> Rafael, aku ingin bertemu denganmu. Ada hal penting soal Amara yang harus kita bicarakan.

Tangannya berhenti di situ. Jantungnya berdetak kencang, seperti menolak keputusan yang baru saja ia buat.

Akhirnya, dengan satu tarikan napas, Helena menekan tombol kirim.

Pesan terkirim. Layar ponsel kembali redup, meninggalkan dirinya dalam keheningan. Ia menggenggam ponsel erat-erat, seakan menunggu balasan bisa menjadi satu-satunya pegangan.

Di luar jendela, malam semakin larut. Sementara di lantai atas, Lucian terkurung dalam dunianya sendiri.

Helena menatap makanan di depannya sekali lagi, lalu berbisik lirih, “Amara… semoga Rafael tahu sesuatu.”

...***...

...Like, komen dan vote....

...💙💙💙...

1
kalea rizuky
skip males cwk nya oon
kalea rizuky
males bgt muter aja ne cerita
kalea rizuky
Helena ngapain ngemis ngemis pergi jauh aja bodohh bgt benci MC lemah
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
nonoyy
siapa yaa laki2 itu? smg sgr terungkap yaa misteri soal amara
nonoyy
kamu tau harapan mu ttg lucian sangat menyakitkan, tapi kenapa kamu masi saja berharap lucian akan menoleh ke kamu helena, berhentilah karena itu semua menurut mu tidak mungkin..
nonoyy
masih misteri dan teka teki.. dibuat gemusshh dgn ceritanya
Nda
luar biasa
Lunaire astrum
lanjut kak
Nyx
Jangan-jangan hilangnya Amara ada hubungannya dengan Rafael😌
olyv
nexttt thorrr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!