NovelToon NovelToon
Duda Perjaka Dan Cegilnya

Duda Perjaka Dan Cegilnya

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Cinta setelah menikah
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Damian, duda muda yang masih perjaka, dikenal dingin dan sulit didekati. Hidupnya tenang… sampai seorang cewek cantik, centil, dan jahil hadir kembali mengusik kesehariannya. Dengan senyum manis dan tingkah 'cegil'-nya, ia terus menguji batas kesabaran Damian.
Tapi, sampai kapan pria itu bisa bertahan tanpa jatuh ke dalam pesonanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan

[Hotel Amarta – Suite 1203]

Damian berdiri di depan pintu kamar suite 1203, ragu untuk mengetuk. Tangannya mengepal, pikirannya berkecamuk. Seharusnya dia tidak datang. Seharusnya dia membiarkan masa lalu tetap menjadi masa lalu.

Namun, di sinilah dia, dan sudah terlambat untuk pergi saat hatinya mulai penasaran dengan apa yang akan terjadi.

Dengan helaan napas panjang, Damian akhirnya mengetuk pintu.

'Tok tok tok'

Tak butuh waktu lama, pintu akhirnya terbuka, menampilkan sosok Bella yang berdiri di ambang pintu. Wanita itu masih secantik dulu—rambut blonde panjangnya tergerai sempurna, tubuhnya dibalut gaun sutra berwarna merah yang membingkai lekuk tubuhnya dengan anggun.

"Damian," ucap Bella pelan, senyum tipis terukir di bibirnya.

Tatapan mereka bertemu. Damian menelan ludah, berusaha tetap tenang meskipun sesuatu bergejolak dalam dirinya ketika melihat Bella tampil seksi di hadapannya. Penampilan itu bahkan tak pernah Bella tunjukkan padanya saat mereka masih suami istri.

"Masuklah," Bella membuka pintu lebih lebar, memberi jalan untuk Damian.

Tanpa banyak kata, Damian melangkah masuk. Suasana kamar hotel terasa hangat, dengan cahaya lampu yang temaram dan aroma mawar samar-samar tercium di udara. Damian melirik ke sekeliling, mencoba membaca situasi. Kamar itu tampak seperti kamar pengantin baru yang siap untuk menghabiskan malam pertama.

Bella menutup pintu, lalu berjalan ke arah minibar, menuangkan segelas wine.

"Kamu mau minum?" tawarnya.

"Langsung ke intinya, Bella," Damian menolak dengan nada datar. "Aku gak mau basa basi, aku cukup sibuk."

Bella tersenyum kecil, lalu membawa gelasnya dan duduk di sofa. "Sekarang inginnya to the point, ya?" gumamnya, lalu menyesap wine-nya. "Kamu sedikit berubah."

Damian tetap berdiri, kedua tangannya ia selipkan ke saku celana. "Kenapa kamu memanggilku ke sini?" tanyanya tanpa basa-basi. "Apakah ada sesuatu yang penting yang perlu kita bahas?"

Bella meletakkan gelasnya di meja kaca di hadapannya, lalu menatap Damian dalam. "Aku ingin mencoba lagi, Dami."

Damian menyipitkan mata. "Mencoba apa?"

Bella bangkit dari sofa dan berjalan mendekat. "Aku ingin mencoba menjadi istrimu... yang sebenarnya."

Damian menegang saat Bella berdiri tepat di depannya, jemarinya mulai membuka tali gaun sutranya. Dalam hitungan detik, gaun itu meluncur ke lantai, memperlihatkan lingerie tipis yang dikenakannya.

"Aku ingin tahu bagaimana rasanya bersama seorang pria, Dami," bisik Bella, tangannya menyentuh dada bidang Damian. "Aku ingin mencoba... denganmu. Mungkin rasanya berbeda dan aku ingin merasakan itu agar aku bisa mempertimbangkan untuk melanjutkan hubungan denganmu."

Damian menahan napas. Matanya menatap Bella, melihat bagaimana wanita itu kini berdiri nyaris tanpa sehelai benang pun dengan lingerie tipis yang bahkan menunjukkan jelas tubuh indahnya (transparan). Godaan begitu nyata di hadapannya, terlebih karena ini adalah Bella—wanita yang dulu menjadi istrinya, wanita yang pernah ia cintai begitu dalam, atau mungkin masih ia cintai hingga detik ini.

Bella mengusap halus wajah Damian, membelai bibirnya dengan jari telunjuk, dan juga mengusap lembut dada Damian. Hasrat Damian bangkit, pria normal sepertinya tak mungkin tak merasakan apapun ketika wanita seksi menyentuh tubuhnya.

"Dami, aku menyesal kita bercerai. Jujur saja aku selalu ingin kembali padamu, tapi aku selalu merasa malu dan ragu karena aku berbeda dengan wanita lainnya. Aku selalu berusaha mencoba untuk menyukai pria, tapi itu sangat sulit, tak mudah bagiku keluar dari zona nyaman menyukai sesamaku," tutur Bella dengan suara halus, bibirnya kini mulai menyentuh leher Damian, membuat pria itu terbuai.

"Dami, bisakah kita mencobanya? Mungkin saja aku bisa setelah mencobanya dan kita bisa memulai dari awal," tambah Bella yang semakin memperliar sentuhannya pada Damian.

Damian tidak merespon, ia menikmati sentuhan demi sentuhan dari mantan istrinya itu, sebagian dari dirinya tenggelam dalam godaan itu. Nafsu mengalir dalam darahnya, mengaburkan logikanya. Namun, tepat ketika Bella meraih tangannya dan meletakkannya di atas dadanya yang membusung, akal sehatnya mulai bicara.

"Lakukanlah, Dami. Aku mungkin akan menyukai apa yang akan kamu lakukan," ucap Bella dengan suara menggoda.

Damian tiba-tiba menarik tangannya dan mundur. "Tidak."

Bella menatapnya dengan kening berkerut. "Kenapa? Bukankah dulu kamu sangat ingin malam seperti ini denganku?"

"Ya, aku memang selalu ingin, tapi itu dulu."

"Memangnya kenapa kalau sekarang? Aku masih sama, Dami. Aku belum pernah melakukannya dengan laki-laki, aku pastikan kamu lelaki pertama untukku."

Damian menutup matanya sejenak, lalu menarik napas panjang sebelum menatap Bella dengan serius. "Aku nggak bisa, Bella. Aku nggak mau menjadi bahan eksperimenmu."

"Aku bukan menganggap ini eksperimen, Dami," Bella membela diri, suaranya mengandung frustrasi. "Aku ingin mencoba berubah untukmu, aku sedang berusaha."

Damian menggeleng pelan. "Ini bukan tentang aku, Bella. Ini tentang siapa dirimu sebenarnya. Kamu tetaplah kamu, aku bahkan pernah memberikan kesempatan seperti ini saat kita masih menjalin hubungan, tapi kamu gak bisa berubah. Aku yakin, saat ini pun sama, kamu gak akan bisa berubah dengan mudah dan hanya akan menjadikan aku sebagai bahan eksperimen."

Bella menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca. "Kamu benar. Tapi, aku hanya ingin tahu apakah aku bisa mencintai seorang pria..."

"Tapi bukan begini caranya." Damian melangkah mundur, menatap Bella dengan sorot mata penuh pemahaman. "Aku nggK mau melakukan ini hanya untuk membuktikan sesuatu. Aku nggak mau kita berakhir lebih hancur dari sebelumnya. Aku memang mencintai kamu, tapi aku bukan lelaki penganut s*ks bebas, dan aku gak akan mau melakukannya dengan wanita yang bukan istriku."

Damian menambahkan, "Dengar, Bella. Aku datang kemari karena kamu bilang ingin bicara, bukan melakukan hal semacam ini. Kamu sudah cukup membohongi aku, dan aku pikir sebaiknya kamu pikirkan matang-matang sebelum mengajakku bertemu jika akhirnya gak akan sesuai dengan apa yang kamu sampaikan. Aku yakin, kamu begini karena kamu sedang ada masalah dengan pacar sejenis kamu itu kan?"

Hening menyelimuti ruangan. Bella terdiam, dan Damian tahu bahwa apa pun yang ia katakan telah menghantam realitas Bella dengan keras.

Bella mengangguk, "Kamu benar... Dia selingkuh, dan aku pikir kamu bisa kembali padaku seperti dulu supaya aku gak terlalu sedih."

Damian menghela napas, ia sudah dapat menebaknya. "Dan, aku yakin kamu akan mencampakkan aku seperti dulu setelah kamu dapat kembali dengannya. Iya, kan?"

Bella tidak menjawab, hanya menunduk sedih seolah apa yang Julian katakan benar adanya.

Akhirnya, Damian mengambil jaketnya yang sudah dilepas oleh Bella dan berjalan ke pintu. "Maaf, Bella. Aku nggak bisa, aku bukan pelarian."

Saat tangannya meraih gagang pintu, suara Bella yang lirih menghentikannya.

"Kalau aku bilang aku ingin mencoba mencintaimu lagi... apa kamu akan percaya?"

Damian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku percaya... tapi itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan dalam semalam. Dan aku gak percaya kalau kamu bilang mencintaiku, sejak dulu kamu hanya menjadikan aku sebagai topeng untuk menyembunyikan siapa kamu sebenarnya, bukan karena kamu benar-benar mencintai aku."

Dengan itu, ia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Bella yang berdiri diam di tengah kamar, menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu

__________________

Damian duduk sendirian di bangku taman setelah pergi dari hotel, menatap kosong ke depan. Udara malam cukup dingin, tetapi pikirannya jauh lebih dingin dari itu.

Bella.

Ia mengembuskan napas panjang, kepalanya bersandar ke belakang, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. Pertemuan tadi membuat pikirannya kacau. Semua emosi yang dulu ia pendam kembali bergejolak. Luka yang ia kira sudah sembuh ternyata masih ada.

Apa Bella benar-benar ingin berubah? Atau hanya sekadar ingin menjadikan dirinya pelarian?

Damian memijat pelipisnya, mencoba menyingkirkan pertanyaan yang hanya akan membuatnya semakin frustrasi.

Lalu, tiba-tiba, suara familiar mengusik ketenangannya.

"Kamu di sini? Ngapain? Lagi galau?"

Damian tidak menoleh. Ia mengenali suara itu—dan sejujurnya, ia sedang tidak ingin berurusan dengannya.

Aletha.

Gadis itu dengan santai menjatuhkan dirinya di bangku yang sama, menyilangkan kakinya, lalu menatap Damian dengan penuh selidik. "Tumben, biasanya kalau aku datang, kamu langsung memasang ekspresi sebal. Sekarang malah diam saja."

Damian tetap tidak merespons. Ia hanya menghela napas pelan, seolah keberadaan Aletha tidak ada artinya.

Aletha menyipitkan mata, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. "Jangan bilang kamu lagi galau karena Bella?" tanyanya, setengah mengejek. "Atau jangan-jangan, kamu ketemu dia dan mendadak pengen balikan lagi sama dia karena dia makin seksi."

Damian mengusap wajahnya dengan satu tangan, masih tidak menggubris Aletha.

"Astaga, kamu kenapa, sih?" Aletha mencubit pipi Damian gemas.

Damian akhirnya mengalihkan tatapannya padanya, namun sorot matanya datar. "Kenapa kamu selalu muncul di waktu yang salah sih?"

Aletha terdiam sejenak, keningnya mengekerut. "Maksudnya?"

"Masih tanya maksudnya? Harusnya kamu tahu kalau kamu memang selalu datang di waktu yang salah, artinya selalu bikin aku tambah kesal."

Aletha bukannya tersinggung, tapi malah menyeringai. "Atau mungkin... aku selalu muncul di waktu yang tepat?"

Damian mendengus, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke depan. "Jangan sok penting, Aletha. Kamu sama sekali gak penting, cuma nambah beban pikiran aku."

Aletha terkekeh kecil, lalu mengeluarkan sebatang permen dari sakunya dan mulai mengulumnya dengan santai. "Oke, aku memang gak penting buat kamu. Tapi lihat diri kamu deh. Duduk sendirian di taman malam-malam, menatap kosong seperti orang kehilangan tujuan hidup. Ini bukan Damian yang biasanya, lho. Kamu udah kayak Damian yang lagi banyak beban hidup, padahal hidup kamu gak kekurangan sama sekali. Kurang bersyukur sih!"

Damian menatapnya sinis, "Aku bilang juga apa, kamu cuma bikin aku tambah kesal. Mending pergi deh, aku malas debat."

"Dih, emangnya kamu yang punya taman ini, hah? Seenaknya ngusir aku!"

"Keberadaan kamu di sini malah bikin aku tambah kesal, kalau kamu pergi itu bisa bikin aku lebih tenang."

"Ogah! Aku pengen tetap di sini!" jawab Aletha, tetap anteng mengemut permennya.

Damian tetap diam, tak mengusir Aletha yang sudah jelas selalu bersikap seenaknya.

Aletha menghela napas, lalu menendang kerikil kecil di depannya. "Hei, kalau kamu memang ada masalah, kamu kan bisa cerita sama aku, Dam. Aku ini sepupu kamu, aku juga cewek yang jadiin kamu crush. Jadi kalau kamu butuh teman cerita bisa cerita ke aku, jangan sungkan."

Aletha mendekatkan wajahnya ke wajah Damian dari samping, "Apa jangan-jangan, kamu lagi jatuh cinta ke seorang cowok ganteng, tapi dia nolak kamu? Makanya bikin kamu seperti ini."

Damian menutup matanya sejenak, lalu berkata pelan, "Bukan urusan kamu."

Aletha tersenyum miring. "Memang bukan. Tapi tetap aja, aku penasaran."

Mereka terdiam sejenak. Aletha mengayunkan kakinya santai, sementara Damian tetap tenggelam dalam pikirannya sendiri. Aletha bersenandung kecil di samping Damian, permen itu masih berada di mulutnya, dikulum dengan lembut seolah sengaja tak membiarkannya habis dengan cepat.

"Kamu tahu?" ujar Aletha tiba-tiba, suaranya lebih lembut dari tadi. "Kadang-kadang, berbicara dengan orang asing bisa lebih melegakan daripada berbicara dengan seseorang yang kamu kenal."

Damian meliriknya sekilas, lalu menggeleng. "Kamu bukan orang asing. Kamu hanya seseorang yang terlalu sering muncul di hidupku tanpa alasan jelas."

Aletha tertawa kecil. "Wajar, kan aku asisten pribadi kamu di kantor. Mau gak mau, kamu akan terus ketemu aku setiap hari."

"Iya, dan itu musibah buat aku," timpal Damian datar.

Aletha malah tertawa, merasa Damian sedang bercanda dengannya walaupun ekspresi Damian tetap datar.

Damian hanya mendengus pelan. Entah bagaimana, meski Aletha menyebalkan, keberadaannya sedikit mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang baru saja ia alami.

"Ngopi, yuk!" ajak Aletha sambil bangkit dan berdiri di hadapan Damian.

Damian mendongak menatap Aletha, "Lagi gak mood."

"Ayolah... Kamu jangan sendirian di sini ngelamun, nanti kesambet terus gila. Kan sayang banget, gantengnya aku malah gila," Aletha setengah memaksa dengan bibir cemberut.

Damian tiba-tiba mengulas senyum kecil di bibirnya mendengar kata-kata Aletha. Entah mengapa, namun gadis itu bisa menghiburnya.

Damian berdiri dan berkata. "Oke, tapi kamu yang traktir."

"Bayar masing-masing lah... lagian aku belum gajian, gak ada duit!" jawab Aletha berpura-pura tak punya uang.

"Kamu yang ngajak, berarti kamu yang harus bayar, titik," kata Damian yang langsung pergi sebelum menunggu Aletha menolak mentraktirnya.

"Eh, hei, hei, tunggu! Gak mau! Bayar masing-masing!" Aletha dengan cepat mengejar Damian.

"Gak ada traktir, kamu bayar punya kamu juga!" ujar Aletha.

"No. Kamu traktir aku," jawab Damian santai sambil berjalan menjauh dari taman.

Alethan mendecih, "Nyebelin! Padahal kamu bos aku, tapi kere!" ejeknya.

Damian tidak menjawab, hanya terus berjalan bersamanya dengan suasana hati yang mulai membaik. Aletha tetap di sampingnya, menemani Damian dengan ocehan-ocehannya yang bagi Damian cukup menghibur malam ini. Damian mulai menyadari, kehadiran Aletha tak selalu buruk jika dirinya bisa merasakannya dengan hati.

"Gadis yang unik."

BERSAMBUNG...

1
amilia amel
duhhhh gedeg banget sama si Bella, masih merasa sok karena dia pikir Damian masih begitu mencintainya
padahal Damian sudah menemukan pelabuhannya
amilia amel
nanti kalo ketemu Bella lagi kamu berubah pikiran lagi....
selesaikan dulu masa lalumu dam
amilia amel
tenangkan dirimu ale.... pergilah untuk mengobati hatimu dulu
amilia amel
sabar ya Aletha, kalo Bella pake cara licik untuk mendapatkan damian kembali
kamu harus menggunakannya cara yang lebih licik tapi elegan untuk menjaga Damian yang sudah jadi milikmu
amilia amel
duh sweet banget Damian, walaupun belum sepenuhnya mengakui perasaannya pada Aletha
amilia amel
pasti sebagai perempuan apalagi istri, sedih sekali dengan kalimat seperti itu apalagi yang mengucapkannya sang suami
amilia amel
awas ketagihan lho Dam....
amilia amel
gak sabar saat Aletha tau kalo Damian laki-laki normal
amilia amel
ceritanya bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!