Riris Ayumi Putri seorang gadis yang haus akan kasih sayang dan cinta dari keluarganya. Dan sialnya ia malah jatuh cinta pada kakak temannya sendiri yang umurnya terpaut jauh dengannya. Bukanya balasan cinta, justru malah luka yang selalu ia dapat.
Alkantara Adinata, malah mencintai wanita lain dan akan menikah. Ketika Riris ingin menyerah mengejarnya tiba-tiba Aira, adik dari Alkan menyuruhnya untuk menjadi pengantin pengganti kakaknya karena suatu hal. Riris pun akhirnya menikah dengan pria yang di cintainya dengan terpaksa. Ia pikir pernikahannya akan membawa kebahagiaan dengan saling mencintai. Nyatanya malah luka yang kembali ia dapat.
Orang selalu bilang cinta itu membuat bahagia. Namun, mengapa ia tidak bisa merasakannya? Apa sebenarnya cinta itu? Apakah cinta memiliki bentuk, aroma, atau warna? Ataukah cinta hanya perasaan yang sulit di jelaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon risma ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3
Hari demi hari kian berlalu. Entah kenapa Riris selalu memimpikan Alkan, membuatnya semakin hari semakin menyukai pria itu. Awalnya ia kira hanya sekedar mengaguminya, ternyata sudah jatuh cinta. Di tambah Aira yang selalu menjodohkannya membuat perasaannya semakin dalam.
Setiap hari lelaki itu selalu menghantui pikirannya. Hidupnya yang hampa, selalu sedih. Kini semenjak kehadirannya, membuatnya sedikit berwarna.
Riris sengaja selalu bermain atau menginap di rumah Aira. Selain karena merasa kesepian di rumah, ia juga ingin bertemu dengan Alkan. Entah kenapa dengan melihatnya saja bisa membuatnya tersenyum dan semua masalah hilang sejenak.
Seperti saat ini, Riris sedang berada di rumah Aira. Dirinya sedang berada di dapur, menemani ibunya Aira memasak.
"Aira, lihat Riris tuh. Masih muda pinter masak, kamu kerjaannya tidur terus," ujar Shanaz, yang membuat Aira memanyunkan bibirnya.
Riris hanya tersenyum malu karena di puji. Lalu menoleh melirik Aira yang cemberut, ia terkekeh kecil melihat temannya itu.
Keduanya kembali fokus pada masakannya. Sedangkan Aira hanya duduk diam memainkan ponselnya.
"Tante sini biar Riris aja," ucap Riris melihat Shanaz ingin mencuci perabotan kotor bekas memasak.
"Kamu rajin banget sih, pasti orang tua kamu bangga punya anak baik kayak kamu," ucap Shanaz karena setiap main ke rumah, Riris selalu tidak bisa diam mengerjakan pekerjaan rumah.
Mendengar ucapan ibu temannya itu, membuat Riris sontak terdiam. Namun, tak lama ia mencoba tersenyum manis.
Kini mereka sedang menata masakannya di meja makan. Saat ini sudah waktunya makan malam dan tepat sekali Alkan baru saja pulang kerja.
Lelaki itu sudah keterima kerja di sebuah perusahaan, sebagai translator bahasa jepang. Riris tau itu karena Aira selalu memberitahunya semua tentang Alkan.
"Assalamualaikum," ucap Alkan sambil menyalami ibunya.
"Waalaikumsalam."
Aira dan Riris juga ikut menyalaminya. Tanpa sadar senyuman tipis mengembang di sudut bibirnya. Riris sedang membayangkan jika ia menjadi istrinya mungkin akan seperti itu.
Ia baru selesai memasak dan menyambut suaminya pulang kerja. Gila, Riris benar-benar sudah gila karena om-om itu.
Aira menyenggol pelan lengannya membuat Riris tersadar dan langsung menoleh ke samping. Terlihat tatapan Aira yang sedang tersenyum menggodanya, membuatnya merasa sangat malu.
"Bersih-bersih dulu gih, nanti kita makan malam bersama," ucap Shanaz yang di angguki putra pertamanya.
Sedari tadi Riris terus memperhatikan Alkan, wajah lelahnya tak membuat ketampanannya hilang. Sebelum masuk ke kamarnya, lelaki itu melirik sekilas ke arah Riris yang terus memperhatikannya.
Riris menundukkan kepalanya, jantungnya berdegup kencang setiap kali ia bertemu dengannya. Apalagi jika pandangannya bertemu, wajahnya selalu merah merasa malu.
"Ra, panggil ayahmu," titah ibunya yang hanya di angguki oleh Aira.
Memang ayahnya sudah pulang bekerja tadi sore dan sekarang sedang istirahat di kamarnya.
Beberapa saat setelah selesai memanggil ayahnya, Aira kembali duduk di tempatnya. Tak lama seorang lelaki paruh baya berjalan menghampiri mereka. Tepat sekali di belakangnya terdapat Alkan yang baru selesai mandi.
Riris terus mencuri pandang, menatap Alkan yang memakai piyama hitam polos dengan rambut yang basah. Wajahnya terlihat lebih segar dari sebelumnya.
"Selamat malam," sapa Doni, ayah Aira dan Alkan.
"Malam Ayah."
Doni melirik Riris lalu tersenyum hangat. "Malam, Nak."
"Malam juga, Om," balasnya canggung.
Semuanya sudah duduk rapi dan mulai menyantap makanannya. Sedari tadi Riris hanya terdiam, melihat kumpul begini ia jadi teringat dengan orang tuanya. Kapan ia bisa merasakan kumpul seperti ini lagi, suasana hangat inilah yang dari dulu ia inginkan.
"Nak Riris, ayo di makan. Jangan malu-malu," ucap Doni yang melihat Riris hanya diam melamun sambil mengaduk-aduk nasinya.
"Ah iya Om, terimakasih," jawabnya sambil tersenyum.
Mereka pun kembali fokus pada makananya, Doni dan Alkan sangat lahap menyantap hidangannya. Suasana kembali hening, hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu.
"Ayah tau ga yang masak ini siapa?" tanya Shanaz memecahkan keheningan.
Doni mengerutkan keningnya, jika istrinya bertanya seperti itu berarti bukan dia yang memasak. Dan tidak mungkin juga Aira, anak gadisnya itu sangat pemalas sudah pasti tidak bisa memasak.
"Riris yang masak, enak kan," ucap Shanaz yang membuat kedua lelaki itu langsung menoleh menatap Riris.
"Iya sangat enakk, kamu masih kecil udah jago masak ya," pujinya.
"Terimakasih, Om. Aku cuman bantuin aja kok, yang masak Tante," ucapnya merasa malu.
"Tuh Aira masa kalah sama Riris," ledek Doni pada anak gadisnya.
"Ih Ayah!" Aira mengerucutkan bibirnya merasa kesal di bandingin.
Alkan yang kebetulan duduk di samping adiknya merasa gemas. Tangannya terangkat mengacak-acak rambutnya sambil tersenyum tipis.
Riris terdiam melihat perlakuan lembut Alkan pada adiknya. Baru pertama kalinya ia melihat pria itu tersenyum, sangat manis.
Entah kenapa dadanya terasa sangat sesak, apakah ia cemburu? Riris merasa sangat iri melihat Aira di perlakukan begitu hangat oleh mas nya dan juga orang tuanya. Ia juga ingin merasakannya.
Riris hanya tersenyum tipis mencoba menyembunyikan rasa sedihnya. Bohong jika ia tidak ingin menangis sekarang juga. Ia merasa terharu bisa merasakan kehangatan keluarga temannya.
Rasa rindunya pada keluarganya semakin besar. Apakah ia bisa merasakan kehangatan keluarganya lagi?
Kadang ia selalu merasa tuhan itu tidak adil. Dirinya tidak pernah mendapatkan kebahagiaan, sedangkan orang lain hidupnya terlihat sangat indah. Tapi ia sadar mungkin suatu saat akan ada kebahagiaan di depan sana. Dirinya hanya bisa sabar, sabar dan terus bersabar.
Pepatah mengatakan jika ada hujan, akan ada pelangi. Dan jika jatuh adalah hujan, bangkit adalah matahari. Maka kita butuh keduanya untuk melihat pelangi.
Setelah selesai makan malam, Riris membantu Shanaz membereskan semua piring dan gelas bekas.
Waktu menunjukkan pukul 20.30 malam, Riris memilih pamit pulang. Ia tidak ingin menginap karena merasa tidak enak selalu merepotkan, terlebih besok harus sekolah juga. Ia takut orang tuanya akan mencarinya, mungkin.
Riris dan Aira berjalan menghampiri orang tuanya yang sedang berada di ruang keluarga, kebetulan ada Alkan juga di sana.
"Om, Tante, Riris pamit pulang ya. Terimakasih untuk hari ini, maaf selalu ngerepotin," pamitnya.
"Kenapa tidak nginep aja, ini udah malam,"titah Shanaz.
"Gapapa Tante Riris pulang aja, takut mama papa nyariin," alasannya.
"Yaudah, di anterin aja sama Alkan ya?" tawarnya lagi.
Riris melirik Alkan yang duduk tidak jauh dari mereka, masih asyik dengan ponselnya.
"Tidak usah, Riris bawa motor. Sekali lagi terimakasih Om, Tante, Riris pamit ya," ucapnya sambil menyalami keduanya.
"Hati-hati ya, kalau ada apa-apa kabarin kita aja," ucap yang di balas anggukan pelan dengan senyuman manisnya.
Dengan berani Riris berjalan menghampiri Alkan, dan menjulurkan tangannya.
"Mas, pamit ya," ucapnya lembut.
Alkan mendongak dan menerima uluran tangan gadis di hadapannya. Ia hanya mengangguk pelan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Riris mencium tangan halus pria itu dengan lembut. Jantungnya berdebar sangat kencang, posisi mereka saat ini sangat dekat sekali.
Setelah selesai berpamitan dengan mereka. Riris pun mulai melangkahkan kakinya menuju keluar, masih di temani oleh Aira.
"Ra aku pulang ya, makasi untuk hari ini," ucapnya yang di balas anggukan oleh temannya.
"Hati-hati ya, kalau udah sampe kabarin aku."
"Siap, dadah. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," Aira masih setia menatap kepergian temannya, sampai gadis itu benar-benar pergi.
Riris menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Suasana malam ini sangat sepi, terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan. Angin malam berhembus kencang, membuat tubuhnya merasa sangat dingin.
Ckitt!
Riris mengerem motornya secara mendadak saat kedua pria dengan memakai pakaian serba hitam dengan penutup kepala tiba-tiba muncul dari semak-semak. Kebetulan jalan yang ia lewati terdapat banyak pohon di pinggir jalan dan suasana malam ini sangat sepi. Tidak ada kendaraan yang berlalu lalang. Padahal waktu belum terlalu malam.
Riris ketakutan saat salah satu dari mereka menodongkan sebuah pisau ke arahnya. tubuhnya bergetar hebat, ia memejamkan matanya mencoba mengatur nafasnya.
***
...Bertemu denganmu adalah takdir, menyukaimu adalah pilihanku, dan memilikimu adalah keinginanku....
...-Riris...
baru pub chap 6 penulisan makin bagus, aku suka>< pertahankan! cemangattttt🫶