Sinopsis:
Tertidur itu enak dan nyaman hingga dapat menjadi kebiasaan yang menyenangkan bagi banyak orang, namun jika tertidur berhari-hari dan hanya sekali dalam sebulan terbangun apakah ini yang disebut menyenangkan atau mungkin penderitaan..
Sungguh diluar nalar dan hampir mustahil ada, tapi memang dialami sendiri oleh Tiara semenjak kecelakaan yang menewaskan Ibu dan Saudaranya itu terjadi. Tidak tanggung-tanggung sang ayah membawanya berobat ke segala penjuru Negeri demi kesembuhannya, namun tidak kunjung membuahkan hasil yang bagus. Lantas bagaimanakah ia dalam menjalani kehidupan sehari-harinya yang kini bahkan sudah menginjak usia 16 tahun.
Hingga pertemuannya dengan kedua teman misterius yang perlahan tanpa sadar membuatnya perlahan pulih. Selain itu, tidak disangka-sangkanya justru kedua teman misterius itu juga menyimpan teka-teki perihal kecelakaan yang menewaskan ibu dan saudaranya 3 tahun yang lalu.
Kira-kira rahasia apa yang tersimpan..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca4851c, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Fokusku yang tadinya pada alur dalam buku yang sedang Ku pegang ini pun kini teralihkan pada Sosok yang tengah berdiri di depan pintu itu.
Tante Amy menatapku dengan lembut sembari tersenyum manis.
"Honey, Teman pirangmu sudah sampai. Dia sekarang menunggumu di ruang tamu depan", jelas Tante Amy padaku.
"Ooh.. Andi", seru ku terkejut karena tidak menyangka secepat itu Dia sampai.
"Hmm, Apa boleh Ara keluar sekarang?" tanyaku agak menahan malu.
Tante Amy tiba-tiba saja terkekeh pelan melihat tingkah konyolku ini.
"Tentu saja Honey, Tante tidak akan melarangmu. Biarpun begini Tante juga pernah menjalani masa muda sepertimu", seru Tante Amy dengan wajah bersemu kemerahan.
Seketika diriku langsung teringat mendiang Suami Tante Amy, mungkin saja yang dimaksud Tante Amy adalah kenangan bersama mendiang Suaminya dulu.
"Yasudah, Sana segera bersiap-siap gih. Kasihan Temanmu nanti menunggu terlalu lama", seru Tante Amy yang membuatku sadar seketika dari lamunanku.
"Eeh, baik Tante", seru ku seraya melangkahkan kaki keluar dari ruang baca ini.
...***...
Sepoy-sepoy angin pagi menerpa wajahku hingga menyisiri setiap helai surai hazelku. Pagi ini cuaca begitu cerah dengan sinar mentari yang tak kunjung pergi dari atas sana.
Seperti biasanya, kali ini pun Andi membawaku berkelana menyusuri jalanan yang di sepanjang kanan kirinya ialah padang rerumputan ini menggunakan sepeda matic kesayangannya itu. Bahkan sesekali Kudapati beberapa hewan seperti sapi maupun domba sedang makan rerumputan.
Rencananya kali ini Andi akan mengajakku menyaksikan parade Chingay secara langsung. Kebetulan sekali Paradenya ada saat diriku sudah berada di sini sehingga dapat menghibur hari-hariku sementara di Negeri rantau selama masa pengobatan ini.
Debu-debu jalanan berterbangan di belakang kami, bercampur dengan aroma segar embun yang masih tersisa. Tiba-tiba saja tangan kiri Andi menarik kedua tanganku yang tadinya hanya sebatas memegang baju bagian belakangnya secara bergantian itu kini menjadi melingkar ke pinggangnya.
Belum sempat Ku bergeming, diriku kembali terhening sesaat tatkala Ku rasakan setiap deru napas Andi yang berpacu seiring dengan laju kecepatan motor ini.
Bagaikan terbangun dari hipnotis saat dari kejauhan samar-samar mulai terdengar alunan musik yang mengalun begitu indah.
"Sudah dekat, ya?", tanyaku berusaha mengalahkan bisingnya angin yang bertabrakan dengan deru motor ini.
"Sebentar lagi kita sampai", seru Andi seraya mengangguk mantap.
"Nona sudah tidak sabar ya ingin segera melihat Paradenya?", imbuhnya lagi dengan senyum manisnya yang dapat Ku lihat dari balik spion depan.
Aku tersenyum lebar. "Tentu saja! Aku penasaran sekali dengan parade Chingay ini, karena biasanya diriku hanya dapat melihatnya melalui siaran Televisi internasional saja, itupun hanya sekilas saja."
Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah lapangan luas yang sudah dipenuhi oleh lautan manusia. Warna-warni kostum dan hiasan tampak memeriahkan suasana. Andi memarkirkan motornya di tempat yang agak jauh dari kerumunan, lalu menggandeng tanganku erat.
"Ayo, kita cari tempat yang strategis," ujarnya, sambil menyusuri celah-celah di antara orang-orang.
Tiba-tiba saja Seseorang datang dari arah samping kiriku dan tanpa dapat terhindarkan lagi menabrakku dengan begitu keras hingga membuat tangan kananku yang tadinya ditarik Andi kini terlepas.
Tubuhku yang kurang seimbang akibat benturan barusan langsung terhuyung dan Kuduga pasti akan terjatuh di tanah lapang ini dengan begitu keras, mau tak mau Aku harus siap menerima rasa sakit yang bakal Ku rasakan nanti.
Sesaat sebelum mataku nyaris terpejam, sayup-sayup dapat Kudengar teriakan seorang Laki-laki yang berada di depanku yang Kuduga adalah Andi.
"Nonaaa... "
Satu menit
Dua menit
Tiga menit
Empat menit
Lima menit
Kurasa sudah lima menit berlangsung, namun tidak juga Ku rasakan sakit walau sedikitpun.
'Jangan-jangan Aku tidak merasakan rasa sakit sama sekali karena diriku langsung pindah alam?'
Untuk memastikan dugaanku itu, segera Ku buka mataku lebar-lebar. Dan astaga, pemandangan yang Ku lihat sungguh-sungguh mengejutkan.
Seorang Pemuda tampan dengan kulit agak pucat berperawakan tinggi di depanku ini menatapku dengan begitu intens. Dari jarak yang lumayan dekat dapat Ku lihat lebih jelas struktur wajahnya itu, dengan rahang yang kokoh, bibir yang ranum semerah mawar, hidung mancung dan manik mata sebiru lautan itu yang hampir saja menenggelamkanku dalam tatapan sendunya.
"Ekhemm"
Deheman Seseorang di sebelahku barusan menyadarkanku dari tatapan Pemuda yang Kurasa usianya hanya selisih beberapa tahun di atasku itu. Sekilas tampak wajahnya yang segera berpaling dariku.
"Ekhem, Nona. Saya dapat membantu Anda berdiri dengan benar sekarang", tawar orang yang berada di sampingku itu, yang tak lain adalah Andi.
Secara spontan pandanganku beralih ke tubuhku yang ternyata sedari tadi ditopang oleh kedua tangan kekar Pemuda itu.
'Astaga... Memalukan sekali posisi ini, entah seberapa lama ini berlangsung tadi. Dan ya, kenapa Pemuda itu juga tidak menyadarkanku. Alih-alih menyadarkan, walau sekedar bersuara pun tidak'
Segera Ku perbaiki posisi berdiriku dengan dibantu oleh uluran tangan Andi yang selalu siap sedia ini.
"MAAF"
Sekali lagi tanpa sengaja diriku bersama pemuda itu mengucapkan hal yang sama diwaktu yang bersamaan pula.
"Ah tidak apa-apa, Nonaku pasti memaafkanmu karena kelembutan hatinya. Tapi, permisi Kami sedang terburu-buru", sela Andi yang tiba-tiba saja menarik tangan kananku pergi menjauh dari tempat Pemuda itu berdiri.
Aku yang masih tercengang pun tidak dapat berbuat apa-apa selain terus berjalan mengekor di belakang Andi. Tak berselang lama, Kami pun berhasil menemukan tempat yang cukup baik, meski harus sedikit berjinjit untuk melihat pertunjukan dengan jelas di depan sana.
Selang beberapa menit kemudian, nampak beberapa peserta memasuki halaman depan sana yang menandakan bahwa Parade Chingay akan segera dimulai. Berbagai kelompok seni budaya menampilkan atraksi yang memukau. Ada barongsai yang lincah melompat-lompat, bahkan reog Ponorogo yang gagah perkasa, dan berbagai tarian daerah lainnya yang mempesona pun juga di tampilkan di sana.
Namun, ada yang berbeda dari parade Chingay yang biasa aku lihat di televisi. Kali ini, parade ini diadakan di Singapura. Andi memang sengaja mengajakku ke sini untuk merasakan langsung kemeriahan Chingay yang lebih megah dan beragam.
Matahari Singapura bersinar terik, namun semangat para peserta parade tidak luntur sedikit pun. Mereka menampilkan berbagai atraksi yang memukau, mulai dari tarian naga yang panjangnya mencapai puluhan meter, hingga aksi akrobatik yang membuat jantungku berdebar kencang.
Aku terpukau dengan kostum-kostum yang dikenakan para peserta. Warna-warni cerah dan desain yang unik membuat mereka tampak seperti makhluk-makhluk dari dunia fantasi. Andi menjelaskan bahwa setiap kostum memiliki makna dan filosofi tersendiri, yang berkaitan dengan budaya dan sejarah Singapura.
Di tengah parade, tiba-tiba ada seorang peserta yang menghampiriku dan memberikan sebuah bunga. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Andi pun ikut tersenyum menyaksikannya.
"Kamu suka parade ini?", tanyanya.
Aku mengangguk antusias. "Suka banget! Ini adalah pengalaman yang tak akan pernah aku lupakan", seruku riang.
"Aku senang bisa membuatmu bahagia", ujar Andi dengan senyum manisnya yang memperlihatkan kedua lesung pipinya itu.
Parade Chingay terus berlanjut hingga sore hari. Aku dan Andi menyaksikan setiap atraksi dengan penuh semangat. Hingga tanpa sadar Kami tertawa, berteriak, dan bertepuk tangan bersama.