Adriella menjalani hidup penuh luka dalam balutan kemewahan yang semu. Di rumah milik mendiang ibunya, ia hanya dianggap pembantu oleh ayah tiri dan ibu tirinya. Sementara itu, adik kandungnya yang sakit menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.
Demi menyelamatkan adiknya, Adriella butuh satu hal, warisan yang hanya bisa dicairkan jika ia menikah.
Putus asa, ia menikahi pria asing yang baru saja ia temui: Zehan, seorang pekerja konstruksi yang ternyata menyimpan rahasia besar.
"Ini pasti pernikahan paling sepi di dunia,” gumam Zehan.
Adriella menoleh pelan. “Dan paling sunyi.”
Pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Namun waktu, luka, dan kebersamaan menumbuhkan benih cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Saat kebenaran terungkap dan cinta diuji, masihkah hati memilih untuk bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4. Sah
Hujan rintik-rintik turun sejak pagi, seolah langit pun enggan merestui langkah-langkah tergesa dua orang asing yang berdiri kaku di depan Kantor Urusan Agama kecamatan. Sebuah bangunan sederhana berkanopi seng yang meneteskan air hujan di sela-sela kayu penyangganya. Tak ada bunga. Tak ada lagu. Hanya udara lembap dan bau tanah basah menyambut mereka.
Adriella mengenakan gamis putih sederhana yang dipinjam dari Bianca. Sebuah kerudung lembut menutupi kepalanya, membuat wajahnya tampak lebih tenang, meski dadanya berdegup keras. Di sampingnya, Zehan berdiri dalam balutan kemeja bersih dan jas pinjaman dari rekannya di proyek.
“Ini pasti pernikahan paling sepi di dunia,” gumam Zehan sambil menghembuskan napas ke udara yang dingin.
Adriella menoleh pelan. “Dan paling sunyi.”
Mereka berjalan masuk ke dalam KUA, melewati lorong kecil yang dindingnya dihiasi foto-foto pasangan yang pernah menikah di sana. Di salah satu ruangan, seorang penghulu sudah menunggu, bersama dua orang saksi yang dipanggil mendadak dari lingkungan sekitar kantor.
Penghulu mempersilakan mereka duduk. Semua dokumen telah Adriella siapkan semalam: fotokopi KTP, kartu keluarga, surat izin wali, dan surat pernyataan dari kelurahan. Ia bahkan sempat meminjam akta kelahiran Zehan diam-diam, memastikan tak ada yang tertinggal.
Setelah berkas diperiksa dan wali nikah Adriella diwakilkan secara sah, prosesi dimulai.
“Saya nikahkan dan kawinkan Engkau, Zehan Mikhael Batara bin Yusran Batara dengan Adriella Sanari binti Aditya Wiguna, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan uang tunai lima ratus ribu rupiah, dibayar tunai.”
Zehan menatap lurus ke depan. “Saya terima nikah dan kawinnya Adriella Sanari binti Aditya Wiguna dengan mas kawin tersebut, tunai.”
Lafaz ijab dan kabul berjalan lancar dalam satu tarikan napas. Dua saksi mengangguk mantap. Penghulu tersenyum tipis, lalu menutup dengan doa pendek yang dilafalkan pelan-pelan.
“Alhamdulillah. Dengan ini, kalian sah sebagai suami istri menurut syariat Islam dan tercatat oleh negara,” ucapnya sambil menyerahkan dua buku nikah berwarna hijau yang baru saja ditandatangani.
Adriella menerima buku itu dengan kedua tangan. Tangannya dingin. Zehan hanya mengangguk kecil.
Mereka berjalan keluar dari ruangan itu seperti dua aktor yang telah menyelesaikan adegan penting dalam sebuah drama yang tidak pernah mereka audisi. Tak ada pelukan. Tak ada senyum. Hanya suara hujan yang kembali menyelimuti langkah mereka dalam diam.
“Jadi, sekarang kita ke rumahmu?” tanya Zehan saat keduanya berada di dalam taksi.
Adriella mengangguk. “Ya. Saya sudah siapkan kamar. Kita akan tinggal di sana untuk sementara waktu.”
Zehan mengangguk pelan. Ia menatap keluar jendela, menyadari bahwa hidupnya baru saja berubah drastis. Ia hanya berniat membantu seorang gadis yang terdesak, tapi kini dirinya masuk ke dalam keluarga kaya yang tampak lebih gelap dari yang ia bayangkan.
Langit mendung menaungi kedatangan Adriella bersama seorang pria asing ke halaman rumah mewah itu. Tangannya menggenggam tangan Zehan dengan erat, langkahnya pasti, namun jantungnya berdetak tak karuan. Di dalam tas kecilnya, surat nikah masih hangat dengan tinta tanda tangan. Hari ini ia telah mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya, menikah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun di rumah itu.
Pintu depan terbuka. Rika berdiri di ambang, mengenakan gaun santai, namun wajahnya langsung berubah saat melihat Adriella tak sendiri.
“Apa ini?” tanya Rika, tatapannya tajam, terhenti di tangan yang saling menggenggam. “Siapa dia?”
Adriella menelan ludah. “Namanya Zehan. Suami saya.”
Hening.
Suara langkah Bastian terdengar dari balik ruang tengah, diikuti dentingan kaca yang terjatuh. “Apa maksudmu suami?!”
“Kami baru saja menikah,” jawab Adriella mantap.
“Kau—” Bastian menghampiri dengan mata membelalak. “Kau pikir ini lucu?! Undangan dengan Pak Darsa sudah dicetak, Adriella! Kamu mempermalukan keluarga ini!”
“Saya tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan Pak Darsa,” ucap Adriella, suaranya tenang namun penuh luka. “Saya bukan barang dagangan.”
Wajah Bastian memerah. “Kau tahu berapa banyak yang dipertaruhkan dalam kerja sama itu?! Kau menghancurkan semuanya!”
Rika ikut melangkah maju. “Siapa sebenarnya laki-laki ini? Apa kau pikir kami akan tinggal diam membiarkan putri keluarga ini menikah dengan orang tak dikenal begitu saja?”
Zehan akhirnya angkat bicara, suaranya sopan namun tegas. “Nama saya Zehan. Saya bekerja sebagai pekerja konstruksi. Saya menikahi Adriella karena saya mencintainya dan ingin melindunginya.”
“Pekerja konstruksi?” Bara muncul dari balik pilar sambil menyeringai. “Jadi kamu cuma tukang bangunan? Astaga, Adriella... kau serius?”
Zehan menatap Bara dengan tenang. “Saya tidak malu dengan pekerjaan saya. Saya bekerja keras dan hidup jujur.”
Rika mencibir. “Jadi dia bahkan bukan siapa-siapa? Tak punya latar belakang yang jelas, hanya pekerja kasar, dan kamu rela menyerahkan hidupmu padanya?”
Adriella menggenggam tangan Zehan lebih erat. “Cukup. Dia bukan siapa-siapa bagi kalian, karena kalian juga bukan siapa-siapa dalam hidup kami sekarang.”
Bastian menatap Zehan tajam, seakan ingin menelanjangi identitas pria itu. “Kau pikir bisa menyelamatkan dia dari pernikahan yang kami atur? Kau pikir bisa membawa dia pergi dari rumah ini?”
“Kami tidak akan pergi,” jawab Adriella tenang. “Saya akan tetap tinggal di sini untuk Alessia.”
Suasana makin panas, tapi tak seorang pun melarang Adriella masuk ke rumah. Tak ada satu pun yang mengusirnya, tapi udara rumah itu kini jauh lebih dingin. Sejak pernikahan itu terungkap, setiap langkah Adriella di rumahnya sendiri menjadi lebih sunyi, lebih berat. Rasa asing yang dulu hanya samar, kini terasa nyata.
🍁🍁🍁
Malam turun perlahan, membungkus perumahan mewah itu dalam keheningan yang tidak nyaman. Rumah besar itu sunyi, namun bukan karena damai, melainkan karena rasa tidak terima yang masih menggumpal di dada semua penghuninya. Rika tak mengucap sepatah kata pun setelah mengetahui Adriella diam-diam menikah. Bastian mengunci diri di ruang kerjanya, sementara Bara pergi entah kemana
Zehan mengikuti langkah Adriella menuju lantai atas. Ia sudah melihat banyak rumah mewah, tapi tidak pernah menyangka akan masuk ke rumah sekelas istana hanya untuk dibawa ke ruangan sempit dan lusuh di ujung lorong.
“Ini kamarku,” kata Adriella pelan sambil mendorong pintu yang sedikit berderit.
Zehan melangkah masuk. Ruangan itu berukuran kecil, hanya muat satu ranjang sempit dengan kasur tipis, lemari tua dengan engsel hampir lepas, dan jendela kecil yang diselimuti tirai robek. Tidak ada hiasan. Tidak ada cermin. Bahkan cat dindingnya mulai mengelupas di beberapa sisi.
Zehan menatap sekeliling, lalu menoleh ke Adriella. “Kamu tinggal di sini?”
Adriella mengangguk sambil meletakkan tasnya. “Mereka memberiku kamar ini setelah ibu kandungku meninggal. Sebelumnya, aku tinggal di kamar Mama.”
“Dan kamu tetap tinggal di sini? Bahkan setelah semua perlakuan mereka?” Zehan bertanya, tak mampu menyembunyikan nada geram dalam suaranya.
“Selama Alessia ada di rumah ini, saya tidak bisa pergi.” Suaranya pelan. “Dia satu-satunya alasan saya bertahan.”
Zehan diam. Rasanya ada yang mencengkeram dadanya saat ia melihat betapa sempit dan tak layaknya tempat itu untuk seorang perempuan sekuat Adriella.
“Maaf, sata tidak punya tempat lebih baik buat kamu tidur malam ini,” kata Adriella, mencoba tersenyum. “Kau bisa tidur di lantai kalau nggak keberatan. Saya punya selimut cadangan.”
Zehan tertawa kecil. “Saya pernah tidur di bangku halte. Lantai ini masih lebih baik.”
Mereka duduk bersisian di tepi ranjang. Sunyi merayap masuk, tapi itu bukan sunyi yang membuat kikuk. Ini adalah jenis keheningan yang muncul ketika dua orang asing mencoba memahami peran masing-masing dalam kisah yang mereka reka sendiri.
“Terima kasih, Zehan,” bisik Adriella.
Zehan menoleh. “Untuk apa?”
“Untuk mau pura-pura jadi suamiku. Untuk tidak bertanya hal yang aneh-aneh. Dan untuk malam ini karena telah menemaniku.”
Zehan hanya tersenyum samar. Dalam hatinya, ia tahu pernikahan ini hanya sebuah sandiwara. Tapi ada sesuatu dalam mata Adriella, ketabahan yang menyakitkan untuk dilihat, dan ketulusan yang membuatnya tidak bisa berpaling.
“Mulai malam ini, kamu tidak sendiri,” katanya pelan. “Kita mungkin cuma pura-pura menikah, tapi saya janji akan jaga peran ini sebaik mungkin.”
Adriella menunduk, menyembunyikan sedikit air mata yang menggenang di matanya. Malam itu, dalam kamar sempit dan dingin itu, keduanya tahu bahwa ini bukan permulaan kisah cinta yang indah. Tapi mungkin, hanya mungkin ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang tidak mereka duga.
menyelidiki tentang menantunya
yg blm mendapat restu...
pasti bakal kaget...
lanjut thor ceritanya
sama" gak tahu malu...
padahal mereka cuma numpang hidup...
yg punya kendali & peran penting adalah pemilik sah nya...
lanjut thor ceritanya
semoga Pak Bastian
menendang kamu...
setelah melihat bukti...
murka terhadap Bara
setelah menerima buktinya...
lanjut thor ceritanya di tunggu up nya
aku sudah mampir...
dan baca sampai part ini...