NovelToon NovelToon
Bukit Takdir

Bukit Takdir

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia / Epik Petualangan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Trauma masa lalu
Popularitas:6.6k
Nilai: 5
Nama Author: PGR

Ada luka yang tak bisa sembuh oleh waktu. Ada perjalanan yang tak pernah direncanakan, tapi justru mengubah segalanya.
Ketika hidup menggiring Johan Suhadi ke dalam misteri yang tersembunyi di balik sunyinya Bukit Barisan, ia tak lagi sekadar mencari jawaban—ia mencari dirinya sendiri.

Bukit Takdir adalah kisah tentang kehilangan, keberanian, dan pilihan-pilihan sunyi yang menentukan arah hidup.
Karena terkadang, untuk menemukan cahaya, seseorang harus rela tersesat lebih dulu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

"Menjejak Kenangan, Menapak Harapan"

Pagi itu, matahari belum tinggi. Tapi cahayanya sudah lebih dulu menyentuh genting-genting rumah dan ranting pohon yang tak pernah menua. Di lapangan sekolah, anak-anak berdiri tegak dalam barisan. Seragam mereka berkibar pelan ditiup angin. Dari jauh, terdengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan nada-nada sumbang yang lucu tapi tulus.

Sementara itu, di sudut lain kota yang mulai menggeliat, dua sahabat lama sedang bersiap memulai sesuatu yang mereka tahu bukan perjalanan biasa.

Johan dan Kalmi.

Mereka bukan lagi anak muda. Tapi pagi itu, langkah mereka ringan seperti waktu masih usia dua puluh. Tujuan mereka satu: Bukit Barisan. Bukan tempat wisata. Bukan tempat ramai. Tapi tempat di mana cerita lama masih tertinggal dan janji-janji dulu belum sempat ditepati.

Udara masih segar. Embun masih betah menempel di ujung daun. Jalanan belum ramai. Dan di pinggir aspal yang sepi, mereka berdiri menunggu tebengan.

Iya, tebengan. Cara lama. Cara lama yang mereka pilih bukan karena tak mampu sewa mobil. Tapi karena kebebasan rasanya lebih nyata ketika datangnya dari hal-hal sederhana.

Tak ada jadwal. Tak ada itinerary.

Hanya ransel di punggung, sepatu yang sudah usang, dan hati yang percaya bahwa perjalanan ini akan membawa mereka ke tempat yang lebih dari sekadar lokasi.

Kalmi berdiri di pinggir jalan sambil celingak-celinguk, matanya nyari-nyari mobil lewat kayak nyari mantan di tengah keramaian. Begitu ada mobil pick-up tua datang pelan-pelan dari kejauhan, dia langsung angkat tangan tinggi-tinggi.

“Pak! Pak! Mau ke mana, Pak?” teriak Kalmi, gaya bak polisi lalu lintas, padahal cuma nyetop tebengan.

Sopirnya buka kaca jendela, nyengir, “Ke ladang di Bukit Barisan, Nak.”

Kalmi langsung senyum lebar kayak nemu diskon 90%, “Pas banget, Pak! Kami juga mau ke sana. Nebeng ya? Biar rezeki Bapak dilancarkan sampai tujuh turunan!”

Sopir cuma ketawa dan ngangguk, “Ayo naik. Tapi duduknya di bak, ya.”

“Bak pun bak lah, yang penting gak disuruh dorong mobil nanti,” celetuk Kalmi sambil manggil Johan, “Jo! Gas, Jo! Mobilnya dapet! Rejeki anak soleh nih!”

Johan jalan santai bawa tas, naik ke bak mobil tanpa banyak komentar. Dia senyum tipis, “Bismillah.”

Mobil mulai melaju, jalanan berdebu, angin menerpa wajah. Kalmi duduk selonjor sambil buka cemilan.

“Inget gak, Jo, dulu kita pernah nyasar di kaki Gunung Talang gara-gara ngikutin suara burung?”

Johan angguk, “Lo yang bilang itu burung ‘penunjuk jalan’.”

“Yaiyalah! Ternyata itu burung nyasar juga. Gak ada beda sama kita!”

Mereka berdua ketawa. Di belakang, deretan bukit mulai terlihat samar di kejauhan.

Udara makin sejuk, pohon-pohon makin rapat. Suara mesin mobil pelan-pelan melemah seiring lajunya yang menurun. Akhirnya, mobil tua itu berhenti di sebuah jalan setapak di kaki Bukit Barisan.

Sopir menoleh ke belakang, senyumnya lebar seperti panen perdana. “Sampai sini yaaa. Jalan ke dalam udah gak bisa mobil lewat.”

Johan langsung bangkit, menepuk sisi bak mobil, “Wah, makasih banyak, Pak.

Kalmi nyusul turun, sambil merapikan ranselnya. “Iya, Pak! Semoga Bapak panjang umur, sehat selalu, dan semoga mobil ini awet sampe cucu Bapak naik haj—eh, tanjakan!”

Sopir tertawa, lalu melambaikan tangan.

Mereka berdua mengangguk sopan, dan begitu mobil itu melaju pelan menjauh, menyisakan debu tipis dan suara knalpot yang mirip kentut terpendam, hening pun turun.

Johan menatap ke lebatnya hutan, matanya redup seperti langit sebelum hujan. Lalu berbisik, “Keysha pasti senang kalau tahu kita sampai sini.”

Kalmi berdiri di sampingnya, sambil menarik napas panjang, “Dia pasti ngintip dari balik pohon, terus bisik, ‘cie, akhirnya nyampe juga, Pak Janji.’”

Johan tersenyum, penuh kenangan. Kalmi menepuk pundaknya.

“Ayo, Jo. Kita lanjut. Tapi inget ya, kalau ketemu monyet, jangan tatap matanya. Lo mirip dia soalnya, takut dia minder.”

“Kalmi.”

“Iya?”

“Diam dulu lima menit aja bisa gak?”

“Bisa. Tapi hitungannya pake detik ya.”

Mereka tertawa sambil melangkahkan kaki kedalam hutan.

Langkah mereka mulai menyusuri jalur kecil, menembus hutan yang semakin rapat. Pohon-pohon tinggi menjulang bak penjaga sunyi, akar-akar besar melintang di tanah, dedaunan menari tertiup angin. Semuanya terasa sakral, seolah setiap jengkal tanah di sana menyimpan cerita yang belum selesai diceritakan.

Beberapa jam kemudian, mereka tiba di lokasi yang telah mereka rencanakan. Tempat itu tenang, dinaungi pepohonan rindang yang seolah menjadi atap alami. Mereka mendirikan tenda tanpa banyak bicara, tubuh lelah tapi hati lapang.

Setelah beristirahat sejenak, mereka menjelajah sekitar. Suara gemericik air dari kejauhan memandu mereka menuju sebuah kejutan kecil: air terjun tersembunyi, mengalir deras di balik semak belukar dan semilir angin. Mereka berdiri di sana, membasuh wajah, membiarkan alam menyentuh mereka dengan kelembutannya. Burung-burung berkicau, angin bersiul, dan waktu berjalan lebih lambat.

“Kita akan selesaikan apa yang belum sempat Keysha mulai,” ucap Johan. Suaranya tenang, tapi tegas. Di matanya, ada semangat yang tak padam meski diterpa luka.

Kalmi menepuk bahunya. “Setiap langkah ini... untuk dia.”

Di hati mereka, Keysha memang telah tiada. Tapi di hutan ini, dalam perjalanan ini, dalam desir angin dan nyanyian burung, ia hidup kembali.

Senja datang perlahan, menutup langit dengan jingga lembut. Mereka kembali ke tenda, menyalakan api unggun kecil. Cahaya api menari di wajah mereka, menghangatkan tubuh dan kenangan.

Johan menatap nyala itu dalam-dalam. “Perjalanan ini, Mi... bukan cuma soal janji gue ke Keysha. Ini juga soal hidup gue. Gue... harus mulai melangkah lagi.”

Kalmi tak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya menatap sahabatnya dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.

Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, mereka tertidur dalam keheningan yang hangat. Tak banyak bicara, tapi hati mereka tahu: esok akan jadi awal dari segalanya. Apa pun yang menanti di Bukit Barisan, mereka siap menghadapinya. Karena di setiap langkah, impian Keysha berjalan bersama mereka.

~

Pagi itu datang tanpa tergesa. Angin lembut menyentuh kulit seperti tangan ibu membangunkan anaknya dari tidur panjang. Aroma embun yang masih menggantung di ujung daun menyapa perlahan, menenangkan dada, seolah alam tahu bahwa hari ini bukan hari biasa. Johan dan Kalmi terbangun dengan semangat yang tak bisa dijelaskan. Ada desir halus di dada mereka, seperti suara samar yang memanggil dari dalam hutan: mari melangkah, mari lanjutkan kisah.

Sarapan mereka sederhana—nasi yang masih hangat, segelas kopi hitam, dan diam yang nyaman. Mereka membereskan tenda dengan cekatan. Tidak ada yang perlu dikatakan. Hati mereka sudah tahu arah. Petualangan hari itu baru saja dimulai, menembus hutan Bukit Barisan, menuju ruang-ruang sunyi yang menyimpan ribuan rahasia, janji, dan kerinduan.

Langit biru membentang tanpa cela. Matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menembus celah-celah daun, menari di antara ranting, seolah membuka jalan bagi dua pengelana itu. Udara begitu bersih, setiap tarikan napas seperti hadiah dari alam. Aroma tanah basah, dedaunan yang jatuh, dan angin yang menyusup diam-diam, semuanya membentuk simfoni pagi yang tak bisa dituliskan dengan kata-kata biasa.

Mereka menyusuri aliran sungai kecil yang jernih, suara gemericiknya mengalun seperti nyanyian lama. Semak belukar merapat di kiri kanan, menjaga keheningan, menjaga rahasia. Burung-burung berwarna-warni terbang bebas di atas kepala, kupu-kupu menari di antara bunga liar, sementara di kejauhan, suara alam bergema—nyaring tapi menenangkan, ramai tapi damai.

Setelah perjalanan panjang yang tak diukur waktu, mereka sampai di sebuah bukit kecil. Dari puncaknya, terlihat hamparan hutan Bukit Barisan sejauh mata memandang—lautan hijau yang bertemu dengan langit, tanpa batas, tanpa ujung.

“Subhanallah... megah sekali,” bisik Kalmi. Matanya berkaca, bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang terlalu penuh, sampai-sampai tak muat lagi di dadanya.

Johan berdiri di sampingnya, diam. Lalu pelan-pelan, ia berkata, “Keysha... kau lihat ini, kan?” Suaranya nyaris tenggelam dalam angin yang berembus pelan. Tapi ia tahu, alam mendengar. Dan Keysha mungkin juga.

Mereka duduk di puncak bukit itu. Tak buru-buru. Tak ingin waktu berjalan cepat. Langit biru dan angin dingin menyelimuti mereka seperti selimut kenangan. Lalu, seperti pintu lama yang terbuka, ingatan-ingatan lama keluar satu per satu.

“Ingat gak waktu kita ketangkap Satpam kampus gara-gara kamu mau ngempesin ban mobil dosen?” tanya Kalmi, tawanya meledak tiba-tiba, jernih dan lepas.

Johan tertawa keras. “Ya Allah, gua sakit hati banget waktu itu! Dosen itu bilang, ‘Apa orang tua kamu gak ngajarin sopan santun?’ Panas dong gue! Gue jawab, ‘Pak, yang salah saya, jangan bawa-bawa orang tua saya.’ Eh, malah gue diusir keluar kelas!”

“Dan kita ketangkap karena lu juga, Mi! Gua suruh lu jaga sekitar, tapi lu malah ngelamun liatin cewek lewat! Satpam nyulik kita berdua!” Kalmi ikut tertawa, perutnya sampai sakit.

“Waktu itu ayam kampus lewat, bro! Fokus gua buyar!” Kalmi tertawa semakin keras, suara mereka menyatu dengan suara hutan. Sejenak, dunia terasa seperti dulu—sederhana dan penuh tawa.

Tapi sebagaimana hidup, tawa akan selalu disusul oleh hening. Dan dalam hening itulah, kalimat Johan muncul.

“Lu inget demo besar-besaran dulu, Mi?”

Kalmi mengangguk pelan. Senyumnya memudar jadi kesungguhan. “Tentu. Itu momen paling berarti. Kita berteriak untuk suara mahasiswa. Kita ditangkap, ditahan, dianggap biang kerok. Tapi itu hari di mana gue merasa kita benar-benar hidup.”

“Gue kadang rindu masa itu. Masa ketika kita bisa tertawa dan berjuang dalam waktu yang sama.”

Langit mulai berubah warna. Matahari perlahan tenggelam, menciptakan semburat jingga yang begitu indah, seakan mengucapkan selamat malam dengan cara yang paling elegan. Di puncak bukit itu, mereka terdiam. Tapi dalam diam itu, banyak hal yang disampaikan. Masa lalu, kehilangan, harapan, dan keteguhan hati yang tersisa.

Ketika matahari benar-benar tenggelam, mereka kembali ke tenda. Malam turun perlahan. Cahaya bulan menyusup di sela daun, menyorot lembut pada wajah-wajah yang telah letih, tapi damai. Johan memandang ke langit, lama.

Tak ada kata. Hanya doa tanpa suara. Sebuah pesan yang dikirim jauh ke angkasa—mungkin sampai.

1
Mika
kejar kejaran yang dag Dig dug serr
Lara12
makin seru aja ceritanya nih/Scream/
Aline1234
lanjutkan sob
Aline1234
lanjut sob
Lara12
🥲
Like_you
alur yang menarik 😄
Like_you
/Whimper/
Like_you
/Brokenheart/
Lara12
❤️❤️
Mika
akhirnya janji dihutan dulu akhirnya terpenuhi /Chuckle/
Mika
Janji yang menyelamatkan johan/Heart/
Lara12
recommended banget sih, cerita nya penuh misteri, aku suka😆
Mika
ga sabar nunggu kelanjutannya, hehe
Pandu Gusti: Makasih ya, ditunggu ya setiap pukul 8 pagi 🙃
total 1 replies
Mika
sidang terepik yang pernah aku baca
Mika
mudah banget baikan nya/Tongue/
Mika
🤣🤣
Mika
kok yang nama nya Mulyono pada gitu ya orang nya/Curse/
Mika
jangan lapor polisi, lapor damkar aja/Smirk/
Mika
kemana ya keluarganya?/Brokenheart/
Mika
upss /Rose/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!