NovelToon NovelToon
SAYAP PATAH MARIPOSA

SAYAP PATAH MARIPOSA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Lari Saat Hamil
Popularitas:274
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Seharusnya di bulan Juni, Arum tidak menampakkan dirinya demi mendapatkan kebahagiaan bersama seseorang yang di yakini bisa mengubah segala hidupnya menjadi lebih baik lagi. Nyatanya, sebelah sayapnya patah. Bukan lagi karena hujan yang terus mengguyurnya.

Sungguh, ia begitu tinggi untuk terbang, begitu jauh untuk menyentuhnya. Dan, begitu rapuh untuk memilikinya...

Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PENOLAKAN LAURA

Malam akhirnya benar-benar tiba. Lampu-lampu jalan berpendar samar, memantul di kaca mobil saat kendaraan Langit melaju dengan kecepatan stabil, membelah lengang kota yang mulai sepi. Di balik kemudi, rahang Langit mengeras. Tatapannya lurus ke depan, namun pikirannya sedikit kacau.

Sungguh, kekhawatiran itu belum juga luruh sejak percakapan di telepon tadi. Nada Laura—terdengar mendesak, nyaris tergesa—terus terngiang di kepalanya. Bukan marah, bukan pula dingin, justru itu yang membuat Langit gelisah. Akankah Laura bisa menerima Arum, nanti?

Sementara itu, Arum tampak tak mampu menyembunyikan kegugupannya. Kedua jemarinya saling bertaut di pangkuan, kuku jempolnya berulang kali menggesek punggung ibu jari—gerakan kecil yang lahir dari kegelisahan yang ia telan dalam-dalam. Tenggorokannya terasa kering, napasnya sedikit tertahan, seolah setiap detik berjalan lebih lambat dari biasanya. Wajahnya menunduk, namun sorot matanya penuh cemas, berkelindan dengan kekhawatiran yang terus berputar di benaknya.

Tak lama kemudian, sebelah tangan Langit terlepas dari setir. Dengan gerakan hati-hati, ia meraih punggung jemari kekasihnya. Ia bisa merasakan kegugupan kekasihnya untuk melewati malam ini. Sentuhan itu hangat dan menenangkan, seakan berkata tanpa kata bahwa Arum tidak sendiri. Genggamannya lembut namun pasti, cukup kuat untuk menenangkan, cukup halus untuk membuat Arum bernapas sedikit lebih lega.

Setengah jam perjalanan akhirnya terlewati. Mobil yang ditumpangi Arum melambat, lalu berbelok masuk ke sebuah kawasan yang tenang dan tertata rapi. Gerbang tinggi terbuka perlahan, menyambut mereka menuju halaman luas yang diterangi lampu taman berwarna keemasan.

Di hadapan Arum, berdiri rumah minimalis milik Langit—megah dalam kesederhanaannya. Bangunannya didominasi garis-garis tegas dan bersih, dengan dinding berwarna abu terang yang berpadu elegan dengan aksen kayu gelap. Jendela-jendela kaca besar menjulang dari lantai hingga hampir ke langit-langit, memantulkan cahaya malam dan menghadirkan kesan hangat sekaligus berkelas. Di sisi halaman, taman kecil tertata rapi, dengan rumput hijau dan tanaman hias yang dipilih dengan selera tinggi.

Lampu-lampu eksterior menyala lembut, menyoroti fasad rumah tanpa berlebihan, justru menegaskan kemewahan yang tak perlu dipamerkan. Rumah itu berdiri kokoh dan tenang, seolah menjadi saksi banyak cerita di dalamnya.

Arum menelan ludah, dadanya terasa berdebar—bukan hanya karena tempat yang kini ia datangi, tetapi karena langkah hidup yang akan segera ia masuki bersama Langit.

Mesin di matikan. Langit melepaskan seat belt nya lalu bergerak turun dan berlari melewati kap mobilnya. Ia membukakan pintu mobilnya di kursi penumpang, namun Arum tak segera turun. Ada jeda yang membuatnya khawatir.

"Sayang..." Lirih Langit, dengan nada menenangkan. "Aku tahu kamu gugup, tapi kegugupan kamu itu tidak akan bertahan lama setelah bertemu dengan Ibuku. Percayalah."

"Aku tahu, Mas." Angguk Arum sambil membenarkan tali dress yang hampir melorot di bahu mulusnya itu. "Tapi satu hal yang buat aku takut. Apa Ibu kamu bisa nerima aku, Mas?"

“Hei.” Langit menangkap kedua bahu Arum, membuat gadis itu menatapnya. Telapak tangannya mengusap lembut bahu itu, seolah berusaha memindahkan sebagian kegelisahan Arum ke dirinya. “Kamu kenapa bisa bicara seperti itu?” Ucapnya pelan namun tegas. “Percaya sama aku... Ibuku pasti nerima kamu. Kamu gadis yang baik, cantik, dan tulus.”

Nada suara Langit terdengar meyakinkan—terlalu meyakinkan, bahkan. Ia menenangkan Arum dengan kata-kata yang tersusun rapi, senyum yang dipaksakan tetap hangat. Namun jauh dalam lubuk hatinya, keyakinan itu goyah. Sejak awal, Langit tahu betul bagaimana Laura. Ibunya tak pernah benar-benar memberi ruang bagi siapa pun selain Viona. Bagi Laura, seolah hanya ada satu nama yang pantas berdiri di sisi putranya.

Tapi meski begitu, Langit memilih menyimpan keraguan itu rapat-rapat. Ia tak ingin Arum menanggung beban yang bahkan belum terjadi. Dalam diam, ia menaruh harap, keinginan yang sederhana namun besar—bahwa malam ini, saat Laura benar-benar bertatap muka dengan Arum, hati dan pikiran ibunya akan berubah. Bahwa ketulusan Arum akan terlihat, dan tembok Laura yang selama ini berdiri kokoh perlahan akan retak.

"Yuk." Ajak Langit mulai menuntun Arum keluar dari mobilnya.

Mereka mulai berjalan menuju teras. Begitu pintu rumah terbuka, tercium aroma antara parfum ruangan dan bunga segar yang membuat Arum sedikit lebih tenang. Langkahnya berusaha menyeimbangi dengan Langit yang perlahan membawanya menuju ruang makan.

Disana, tampak Laura. seorang wanita cantik berparas awet muda yang seolah menantang usia. Rambutnya hitam pekat, tersisir rapi hingga jatuh anggun melewati bahu, berkilau di bawah cahaya lampu ruang tamu. Wajahnya tegas namun terawat, dengan garis rahang yang sempurna dan tulang pipi tinggi yang menegaskan wibawanya. Sepasang matanya tajam, berwarna cokelat gelap, memandang lurus penuh penilaian—mata seorang wanita yang terbiasa memegang kendali.

Busana yang dikenakannya sederhana namun mahal. Gaun berpotongan elegan membalut tubuhnya dengan pas, menonjolkan postur ramping dan sikap tubuh yang tegap. Arum menelan saliva sesaat wanita itu mulai beranjak dengan mata yang begitu kuat, memandanginya dari atas kepala hingga ujung kaki.

“Ma. Ini Arum,” Kata Langit. Suaranya terdengar tenang, meski sekilas ia melirik Arum yang masih berdiri kaku di sisinya.

Arum menarik napas, lalu melempar senyum sebaik yang ia bisa. “Arum, Tante,” Ucapnya sopan, suaranya lembut meski jantungnya berdegup tak karuan.

“Laura,” Sahut wanita itu singkat. Hampir tanpa ekspresi. Tatapannya hanya singgah sepersekian detik di wajah Arum, lalu beralih begitu saja. Tanpa basa-basi, Laura kembali duduk di kursi makan berlapis kulit berwarna gelap, sikapnya tegak dan anggun, seolah kehadiran Arum hanyalah formalitas yang harus dilalui.

Langit kemudian menarik kursi untuk Arum, mempersilakannya untuk duduk. Arum menurut, jemarinya kembali saling menggenggam di atas pangkuan. Langit lalu duduk di sampingnya, tepat berseberangan dengan Laura. Meja makan panjang itu mendadak terasa seperti jarak yang tak kasatmata—dingin dan membentang di antara mereka.

Lampu gantung di atas meja memancarkan cahaya hangat, namun suasana justru terasa kaku. Laura lalu menyilangkan kedua tangannya di atas meja, sorot matanya tenang namun penuh penilaian. Sementara Arum menunduk sesaat, berusaha mengendalikan gugup yang kembali menyeruak.

"Jadi Arum..." Kata Laura kemudian. "Apa keluargamu tahu kamu di undang kemari?"

Langit menoleh ke arah Arum.

"Ke-Keluarga..." Ulang Arum.

Laura mengangguk, "Iya, keluarga!"

"Ma-Maaf Tante. Ibuku sudah meninggal."

"Ayahmu?"

Arum menelan saliva. Dadanya mengencang, seolah udara mendadak menipis. Inilah bagian yang paling ia takuti—rentetan pertanyaan yang selalu membuatnya merasa kecil dan tak pantas. Jarinya mencengkeram ujung gaunnya, kepalanya tertunduk sedikit. Ada luka lama yang kembali terbuka, kenangan yang belum sepenuhnya sembuh namun dipaksa hadir di meja makan yang begitu formal.

"Ma..." Sela Langit. "Gimana kalau kita makan dulu, perihal Mama mau ngobrol—"

"Mama ingin dengar jawaban itu sekarang." Tandas Laura. Matanya kembali tertuju pada Arum. "Apa jangan-jangan kamu gak punya Ayah?" Tebaknya. "Ibu kamu pasti bukan wanita yang baik-baik."

Arum terkejut, ia seperti tersambar. Tubuhnya menegang, napasnya tertahan di dada. Kata-kata itu menghantam tanpa ampun, tepat pada luka yang selama ini ia sembunyikan rapat-rapat. Wajahnya seketika pucat, matanya berkaca-kaca namun tak satu pun air mata yang jatuh. Ia kemudian menunduk, bukan karena bersalah—melainkan karena rasa perih yang terlalu dalam untuk dilawan.

"Ma..." Langit menoleh menatap Laura yang begitu tajam menatap lurus kekasihnya.

"Bagaimana dengan pendidikanmu?" Lanjut Laura.

"A-Aku... Aku lulusan SMA, Tante."

Laura mendesis pahit, menatap Langit. "Sudah Mama duga," Gumamnya.

Laura kemudian menatap Arum lagi sambil beranjak dari kursinya, sebelum akhirnya ia kembali menatap Arum penuh penilaian yang tak terlewatkan satupun. Mulai dari riasan Arum hingga penampilannya malam ini terkesan dipaksakan setara.

"Bagaimana dengan keseharianmu?" Tanya Laura lagi. "Kau hanya karyawan toko bunga, bukan? Saya bisa membayangkan seperti apa penampilanmu sehari-hari yang..."

Kalimat Laura menggantung di udara, seketika Langit ikut beranjak dari kursi makannya. "Ma, cukup." Katanya. "Kalau tujuan Mama untuk mempermalukan Arum malam ini, aku sangat menyesal."

Laura mendesis. "Mama justru yang menyesal, Langit. Menyesal kalau Mama punya calon mantu seperti dia!"

"Ma..."

Kalimat itu jatuh telak, tanpa peringatan, tanpa belas kasih.

Arum tertegun. Dunia seolah berhenti berputar. Dadanya terasa sesak, napasnya tercekat di tenggorokan. Matanya berkabut, lalu bening itu pecah—air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, satu per satu, membasahi pipinya. Bibirnya bergetar, namun tak satu pun kata mampu keluar.

Ia menunduk, bahunya gemetar pelan. Bukan karena ia lemah, melainkan karena hatinya terluka terlalu dalam. Harga diri yang ia jaga, kenangan tentang ibunya yang ia muliakan, semuanya seakan diinjak tanpa sisa. Rasa malu, sedih, dan perih bercampur menjadi satu.

Arum kemudian beranjak dari kursinya. Gerakannya pelan, namun sarat dengan beban yang tak terucap. Kursi itu bergeser sedikit, menimbulkan suara lirih yang terasa begitu keras di tengah keheningan.

“Maaf, semuanya. Sa-saya permisi…” Ucapnya lirih. Suaranya nyaris tenggelam, pecah oleh tangis yang ia tahan sekuat tenaga.

Ia tak berani menatap siapa pun. Kepalanya tertunduk, langkahnya gontai, sementara air mata masih jatuh tanpa bisa ia cegah.

"Arum, tunggu!" Ucap Langit mengejar, ketika langkah Arum begitu cepat meninggalkan ruangan. Suaranya terdengar panik, dipenuhi rasa khawatir yang tak lagi ia sembunyikan.

Sementara itu, Laura tak diam. Ia ikut mengejar Langit. Tumit sepatunya berdetak pelan di lantai, mengiringi ketegangan yang semakin menebal, seakan malam itu belum selesai menumpahkan luka.

Di luar, Langit berhasil menangkap lengan Arum ketik nyaris wanita itu melangkah lebih jauh.

Di luar, Langit akhirnya berhasil menangkap lengan Arum tepat ketika wanita itu nyaris melangkah lebih jauh. Sentuhannya lembut namun menahan, seolah takut Arum benar-benar pergi dan tak menoleh lagi.

“Arum…” Panggil Langit, lirih.

Arum langsung runtuh. Tangisnya pecah tanpa bisa ia kendalikan. Bahunya bergetar hebat, air matanya mengalir deras. “Mas…” Suaranya parau, penuh luka. “Ternyata apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Ibu kamu gak bisa nerima aku.” Ia menggeleng pelan, dadanya sesak. “Dia bahkan merendahkan aku. Dan itu… itu bikin aku sadar kalau hubungan kita memang gak pantas, Mas.”

Kata-kata itu keluar dengan getir, seolah Arum sedang memaksa dirinya menerima kenyataan yang paling menyakitkan. Ia menunduk, tak sanggup menatap Langit, karena hatinya terlalu perih—bukan hanya oleh penghinaan Laura, tapi oleh rasa takut kehilangan Langit yang kini terasa begitu nyata.

Langit menangkap kedua bahu Arum dan merengkuhnya, seakan menahan wanita itu untuk pergi. "Aku sudah katakan padamu, apapun sayang... apapun yang terjadi, aku akan selalu bersama kamu."

Arum terisak. "Aku cinta sama kamu, Mas. Tapi..."

"Apalagi aku, Arum." Sela Langit segera dengan kekhawatirannya. "Aku cinta sama kamu dan aku gak mau kehilangan kamu." Jelasnya, penuh penekanan. "Kita bisa lewati ini sama-sama. Apalagi setelah apa yang telah kita lakukan, aku telah membuktikan bahwa aku akan bertanggungjawab untuk apapun konsekuensinya dan akan tetap bersama kamu."

"Apa maksud kamu?!" Tukas suara itu memekik dari kejauhan.

Laura dengan melipatkan kedua lengannya di bawah dada segera datang mendekati mereka. Matanya yang semula penuh terhadap Arum, kini tajam memandang Langit, menagih penjelasan atas apa yang baru saja ia dengar. "Kamu tidur sama dia?!" Tanyanya, langsung ke intinya.

Langit membisu.

"Jawab Langit?!" Desak Laura.

Sesaat, Langit tertegun. Matanya yang kosong, perlahan memandang Laura yang sedari tadi mengunci geraknya. Detik berikutnya, ia mengangguk. "Tapi aku melakukannya dengan sadar bahwa aku mencintai Arum, Ma."

Laura menggeleng, tak habis pikir... tak percaya dengan apa yang dilakukan anaknya yang selama ini ia didik sempurna, kini ia merasa gagal dan lemah. Namun ia tahu, tak ada asap kalau tidak ada api. Matanya kembali memandang tajam Arum. "Kamu sudah menggoda Langit, dasar perempuan jalang!"

Arum yang terisak, semakin jatuh.

"Ma!" Nada Langit tak sengaja membentak. Menarik, mata sang Ibu tertuju padanya. "Mama yah keterlaluan!"

"Keterlaluan?" Ulang Laura. "Kamu yang keterlaluan!" Tandasnya. Suaranya tak kalah tinggi dari anaknya. Jemarinya menunjuk ke arah Arum, sementara matanya tajam mengunci Langit. "Kamu itu sudah tergoda oleh rayuan dia! Kamu lihat ketika Mama menanyakan Ayahnya dimana, apa dia bisa jawab?! Enggak, kan? Itu artinya... dia lahir dari keluarga yang gak beres! Ibunya adalah cerminan dia saat ini!"

Arum tak kuasa lagi bertahan. Ia menghapus air matanya sekilas. Tubuhnya sempat berbalik, ingin benar-benar pergi dan mengakhiri semua rasa perih itu. Namun langkahnya tertahan. Hatinya bergejolak, antara ingin menyelamatkan diri dari luka yang kian dalam, dan ketakutan terbesar yang menghantui, yakni kehilangan Langit.

Terlalu besar cintanya, terlalu dalam perasaannya, hingga rasa sakit itu justru menjadi sesuatu yang tak sanggup ia lepaskan. Dadanya sesak, isaknya tertahan, sementara matanya memerah menahan tangis yang belum juga usai.

Di sisi lain, Laura memandang mereka sekilas dengan tatapan dingin. Tak ada lagi yang ingin ia dengar. Dengan rahang mengeras dan sikap angkuh yang kembali ia kenakan, ia justru yang memilih pergi. Langkahnya tegas menjauh, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara, seolah kehadirannya barusan hanya untuk menegaskan satu hal, penolakannya tak akan mudah berubah.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!