NovelToon NovelToon
Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Buddha Asura: Sang Pelindung Dharma

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Epik Petualangan / Fantasi Timur / Balas Dendam
Popularitas:11.2k
Nilai: 5
Nama Author: Kokop Gann

Di puncak Gunung Awan Putih, Liang Wu hanya mengenal dua hal: suara lonceng pagi dan senyum gurunya. Ia percaya bahwa setiap nyawa berharga, bahkan iblis sekalipun pantas diberi kesempatan kedua.

Namun, kenaifan itu dibayar mahal. Ketika gurunya memberikan tempat berlindung kepada seorang pembunuh demi 'welas asih', neraka datang mengetuk pintu. Dalam satu malam, Liang Wu kehilangan segalanya: saudara seperguruan dan gurunya yang dipenggal oleh mereka yang menyebut diri 'Aliansi Ortodoks'.

Terkubur hidup-hidup di bawah reruntuhan kuil yang terbakar, Liang Wu menyadari satu kebenaran pahit: Doa tidak menghentikan pedang, dan welas asih tanpa kekuatan adalah bunuh diri.

Ia bangkit dari abu, bukan sebagai iblis, melainkan sebagai mimpi buruk yang jauh lebih mengerikan. Ia tidak membunuh karena benci. Ia membunuh untuk 'menyelamatkan'.

"Amitabha. Biarkan aku mengantar kalian ke neraka, agar dunia ini menjadi sedikit lebih bersih."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kokop Gann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Guru yang Diam

Rumah Duka Barat bukanlah tempat untuk orang yang lemah hati.

Terletak di sudut paling kumuh Distrik Pinggiran, bangunan kayu tua itu berbau seperti campuran kapur barus, dupa murah, dan daging yang mulai membusuk. Tidak ada jendela kaca, hanya teralis kayu yang tertutup debu tebal. Di sinilah warga miskin Kota Yan mengantar kerabat mereka untuk perjalanan terakhir—seringkali hanya dibungkus tikar jerami karena peti mati terlalu mahal.

"Ingat aturannya, Nak," suara serak Pak Tua Ma memecah kesunyian ruang pemulasaran.

Pak Tua Ma sedang duduk di bangku kayu reot, menghisap pipa tembakau yang baunya lebih menyengat daripada mayat di sekelilingnya.

"Satu," katanya sambil menghembuskan asap. "Jangan pernah tanya nama mayat kalau tidak ada keluarga yang mengantar. Bagi kita, mereka cuma 'Tamu'."

"Dua," lanjutnya, menunjuk deretan meja batu dingin tempat tiga mayat terbaring kaku. "Bersihkan mereka sampai layak dilihat dewa kematian. Jahit luka yang menganga. Bedaki wajah yang biru. Jangan biarkan mereka terlihat jelek di akhirat."

"Tiga," Pak Tua Ma menatap tajam Liang Wu. "Kalau kau menemukan barang berharga di mayat orang kaya... hati-hati. Keluarganya pasti menghitung setiap cincin dan kalung. Tapi kalau kau menemukan sesuatu di mayat 'Tamu Tak Dikenal'..."

Pak Tua Ma menyeringai, memperlihatkan gigi kuningnya. "...itu rejeki pengurus mayat. Dewa tidak butuh uang."

Liang Wu mengangguk pelan. Dia sudah mengganti pakaian petaninya dengan jubah kerja kasar berwarna abu-abu yang diberikan Pak Tua Ma. Kain perban di wajah kirinya sudah diganti dengan yang baru, tapi dia tetap memakai caping jerami itu bahkan di dalam ruangan, dengan alasan matanya sensitif cahaya.

"Saya mengerti, Tuan Ma," jawab Liang Wu. Suaranya rendah dan tenang.

"Bagus. Mulailah dengan yang di ujung sana. Korban perkelahian geng semalam. Ususnya terburai. Jahit yang rapi."

Pak Tua Ma bangkit dan berjalan keluar, meninggalkan Liang Wu sendirian di ruangan dingin itu.

Liang Wu mendekati meja batu pertama.

Di sana terbaring seorang pria bertato naga cacing. Perutnya robek besar bekas sabetan golok. Matanya melotot kaget.

Liang Wu tidak merasa jijik. Sebaliknya, dia merasakan ketenangan yang aneh.

Dia mengambil jarum lengkung dan benang rami.

Mulai.

Liang Wu tidak menjahit sembarangan. Dia menggunakan pengetahuannya sebagai biksu—pengetahuan tentang Welas Asih yang dulu mengharuskannya merawat orang sakit—untuk memahami struktur tubuh di depannya. Tapi kali ini, tujuannya berbeda.

Saat jarumnya menembus kulit dingin itu, Liang Wu mempelajari ketebalan dermis manusia. Saat dia merapikan usus yang keluar, dia mempelajari letak organ vital.

Di sini hati, batinnya, menyentuh organ di balik rusuk kanan. Di sini limpa. Di sini ginjal.

Dia menjahit luka itu dengan presisi seorang ahli bedah, bukan kuli kasar. Setiap tusukan jarumnya stabil. Qi Emas mengalir tipis di ujung jarinya, membantunya merasakan tekstur daging dan tulang dengan lebih jelas.

Dia menyadari sesuatu.

Teknik Tapak Vajra miliknya selama ini bersifat "menghancurkan". Seperti palu godam. Efektif, tapi boros tenaga.

Tapi jika dia tahu persis di mana letak sambungan tulang rusuk ke-3 dan ke-4... dia tidak perlu menghancurkan seluruh dada. Dia cukup mengirim satu sentikan Qi ke celah itu untuk menghentikan jantung.

Liang Wu menyelesaikan jahitannya. Mayat preman itu kini terlihat seperti sedang tidur, lukanya tertutup rapi.

Liang Wu beralih ke mayat kedua.

Ini adalah mayat seorang pengemis tua yang mati kedinginan. Tidak ada luka luar. Tapi saat Liang Wu memandikan tubuh kurus itu, tangannya berhenti di bagian dada.

Dia meraba tulang dada pengemis itu. Keras. Terlalu keras untuk orang tua yang kurang gizi.

Liang Wu menyalurkan sedikit Qi untuk memeriksa.

Tulang pengemis ini... telah ditempa.

Kultivator?

Liang Wu memeriksa lebih teliti. Di balik rambut kusam pengemis itu, dia menemukan bekas luka bakar berbentuk simbol matahari di tengkuknya.

Ini bukan pengemis biasa. Ini adalah kultivator liar atau mungkin murid buangan yang menyembunyikan identitasnya sampai mati.

Liang Wu memeriksa pakaian compang-camping mayat itu. Di dalam lapisan ganda sol sepatu kirinya yang sudah jebol, jari Liang Wu menyentuh sesuatu yang keras.

Dia merobek sol sepatu itu.

Sebuah kepingan giok kecil, seukuran kuku jari, jatuh ke telapak tangannya.

Warna giok itu hijau keruh. Benda murahan. Tapi bagi kultivator, ini adalah Jade Slip—benda penyimpan informasi.

Liang Wu menempelkan giok itu ke dahinya dan mengalirkan sedikit Qi.

Sebuah teknik sederhana muncul di benaknya: [Langkah Bayangan Tikus] Teknik Gerakan Tingkat Rendah. Memungkinkan pengguna bergerak tanpa suara dan meledakkan kecepatan pendek dalam jarak tiga langkah.

Liang Wu membuka matanya. Bibirnya melengkung tipis di balik perban.

Teknik tingkat rendah. Teknik sampah bagi sekte besar. Tapi bagi Liang Wu yang hanya bermodal kekuatan kasar, teknik gerakan adalah hal yang paling dia butuhkan sekarang.

"Terima kasih, Guru," bisik Liang Wu pada mayat pengemis itu.

Dia menyeka tubuh mayat itu dengan hormat, lalu menyisir rambutnya. Dia memperlakukan mayat tak dikenal ini lebih baik daripada Aliansi memperlakukan pahlawan mereka.

Malam itu, setelah Pak Tua Ma pulang mabuk ke kamarnya, Liang Wu tidak tidur.

Dia tinggal di ruang mayat. Dia mematikan semua lampion kecuali satu lilin kecil.

Dia berdiri di tengah ruangan, dikelilingi oleh "Guru-gurunya" yang diam.

Liang Wu mulai bergerak.

Satu langkah. Hening. Dua langkah. Hening. Tiga langkah. Wush.

Dia mempraktikkan Langkah Bayangan Tikus. Gerakannya kaku awalnya, tapi Qi Emasnya yang padat memaksanya belajar cepat. Dia bergerak di antara meja-meja mayat, berputar, menghindar, dan menyerang bayangan imajiner.

Setiap kali dia berhenti, dia akan meletakkan tangannya di atas mayat yang berbeda, mempelajari struktur tulang yang berbeda. Pria, wanita, tua, muda, gemuk, kurus.

Dia mulai mengerti bahwa setiap manusia memiliki titik lemah yang sama, tak peduli seberapa kaya atau miskin mereka saat hidup.

Leher. Jantung. Dan ketakutan.

Saat fajar menyingsing, Liang Wu duduk bersila di atas meja batu kosong. Keringat membasahi tubuhnya, bercampur dengan bau kematian ruangan itu.

Dia merasa lebih hidup daripada sebelumnya.

Di luar, lonceng kota berbunyi, menandakan hari baru. Hari di mana Aliansi Ortodoks masih berkuasa, di mana Duan mungkin sedang tertawa di atas penderitaannya, dan di mana rakyat Kota Yan masih hidup dalam ketakutan.

Tapi di dalam Rumah Duka Barat, seekor hantu sedang belajar cara menjadi pembunuh yang sempurna.

Liang Wu mengambil parang karatannya. Dia mengasahnya pelan pada batu meja mayat.

Srek... Srek...

Kota Yan tidak tahu monster apa yang sedang mereka beri makan.

1
azizan zizan
jadi kuat kalau boleh kekuatan yang ia perolehi biar sampai tahap yang melampaui batas dunia yang ia berada baru keluar untuk balas semuanya ..
azizan zizan
murid yang naif apa gurunya yang naif Nih... kok kayak tolol gitu si gurunya... harap2 si murid bakal keluar dari tempat bodoh itu,, baik yaa itu bagus tapi jika tolol apa gunanya... keluar dari tempat itu...
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yeaaah 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Waooow 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Misi dimulai 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Cerita bagus...
Alurnya stabil...
Variatif
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sukses 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Sapu bersih 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Hancurken 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Yup yup yup 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Jlebz 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Rencana brilian 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Dicor langsung 🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Bertambah kuat🦀🍄
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Semangat 🦀🍄
Wiji Lestari
busyet🤭
pembaca budiman
saking welas asihnya ampe bodoh wkwkwm ciri kas aliran putih di novel yuik liang ambil alih kuil jadiin aliran abu² di dunia🤭
syarif ibrahim
sudah mengenal jam kah, kenapa nggak pake... 🤔😁
Wiji Lestari
mhantap
@ᴛᴇᴘᴀsᴀʟɪʀᴀ ✿◉●•◦
Keadilan yg tidak adil🦀🍄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!