Alana Xaviera merasa seperti sosok yang terasing ketika pacarnya, Zergan Alexander, selalu terjebak dalam kesibukan pekerjaan.
Kecewa dan lapar akan perhatian, dia membuat keputusan nekad yang akan mengubah segalanya - menjadikan Zen Regantara, pria berusia tiga tahun lebih muda yang dia temui karena insiden tidak sengaja sebagai pacar cadangan.
"Jadi, statusku ini apa?" tanya Zen.
"Pacar cadangan." jawab Alana, tegas.
Awalnya semua berjalan normal, hingga ketika konflik antara hati dan pikiran Alana memuncak, dia harus membuat pilihan sulit.
📍Membaca novel ini mampu meningkatkan imun dan menggoyahkan iman 😁 bukan area bocil, bijak-bijaklah dalam membaca 🫣
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red_Purple, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27 : TCB
Malam telah menyelimuti kota dengan kegelapan. Di atap gedung yang dulu Zen bawa dia kesana, Alana berdiri sendirian. Lampu-lampu kota menyala seperti bintang-bintang kecil di bawahnya, tapi cahaya itu tidak mampu menghangatkan hati yang sudah membeku karena kabar yang didengar tadi sore.
Kata-kata Karina yang mengatakan bahwa Kayla adalah anak kandung Zergan terus berputar di kepalanya. Setelah mengalami konflik batin yang membuatnya akhirnya tetap memilih Zergan dan mengakhiri hubungan dengan Zen, kini kabar yang menyakitkan justru datang menghampirinya saat acara pertunangannya bahkan sudah tinggal menunggu waktu sehari lagi.
Alana terkesiap saat seseorang tiba-tiba memakaikan jas untuk menutupi bahunya yang sedikit terekspos, menoleh kesamping dan melihat Zen sudah berdiri dibelakangnya dengan masih memakai kemeja kerjanya.
Alana mengarahkan kembali pandangannya lurus kedepan, terdiam untuk beberapa saat. "Aku pikir aku sudah membuat keputusan yang tepat, dengan tetap mempertahankan Zergan dan mengakhiri hubungan denganmu."
Perlahan dia memutar tubuhnya, dengan pandangan tertunduk Alana mengayunkan tas hobo-nya dan memukul-mukulkannya pada Zen.
"Kamu pikir kamu siapa?! Jika aku tahu sejak awal, aku pasti sudah mengambil keputusan sejak lama!"
"Dasar badjingan! Apa kamu pikir aku akan bahagia diatas penderitaan seorang anak kecil yang tidak berdosa, hah?! Sebenarnya apa yang ada di isi kepalamu itu, Zergan!!"
Zen hanya berdiri diam dan memperhatikan, membiarkan Alana melampiaskan kekesalannya dengan menganggap dia sebagai Zergan yang menjadi sumber kemarahannya, membiarkannya sebagai target sementara tanpa kebencian.
"Sudah puas memukulnya? Atau masih mau pukul lagi?" tanya Zen saat Alana berhenti memukulinya, menatap iba wajah Alana yang terlihat begitu lelah karena terus menangis.
Zen menggenggam lengan Alana dengan erat namun lembut, menariknya perlahan dan membawanya masuk kedalam pelukannya. Tangisan yang sudah menahan nafas itu kembali pecah, Alana memeluk erat, wajahnya menempel dibahu Zen.
Zen memeluknya lebih erat, wajahnya menempel di atas kepala wanita itu, bibirnya sedikit meringis seolah-olah dia ikut merasa sakit melihat Alana menangis.
"Bawa aku pergi dari sini, Zen. Aku ingin menghabiskan malam ini denganmu." Alana berbisik, melerai pelukannya secara perlahan.
Tatapan keduanya saling bertemu. Jari-jari Zen menyentuh wajah Alana dengan lembut, mengusap air mata yang tersisa disana. Tanpa kata-kata, tangan Zen mulai turun, menggenggam erat tangan Alana dan membawanya turun dari atap gedung.
-
-
Setelah menelfon orang untuk mengambil mobil Alana dan memintanya untuk membawanya ke kantornya, Zen mengajak Alana pergi dengan mobilnya. Mereka pergi mengunjungi villa yang beberapa waktu lalu pernah mereka datangi untuk menginap.
Jarak villa dari kota memang lumayan jauh, setiap kilometer yang dilewati mobil hanya membuat suasana semakin sunyi, jauh dari deru dan cahaya kota.
Di dalam mobil, Zen melihat wajah Alana yang masih pucat, dan dia yakin Alana bisa memenangkan diri di tempat yang tenang dan terpencil ini. Begitu mobil sudah terparkir di halaman villa, Zen langsung membuka pintu untuk Alana dan membimbingnya masuk kedalam kamarnya. Saat tangannya mau mencapai saklar lampu di dinding, seketika dia tertahan oleh genggaman Alana yang kuat di lengannya.
"Aku hanya ingin menyalakan lampu, aku tidak akan---"
"Biarkan saja gelap." Alana memotongnya cepat, dia memegang lengannya lebih erat, "Temani aku disini, Zen. Jangan tinggalkan aku sendirian."
Di dalam kegelapan yang pekat, suara degupan jantung mereka mulai terdengar. Zen memutar tubuhnya agar menghadap Alana, tangannya perlahan merangkul pinggangnya yang ramping.
Saat wajah mereka semakin dekat, Alana bisa merasakan nafas Zen yang hangat menyentuh wajahnya, jarak antara mereka semakin menyempit. Zen menurunkan wajahnya dan mencium bibir Alana dengan lembut.
Alana sedikit terkesiap, lalu dia membalas ciuman itu, tangannya menggenggam kerah kemeja yang Zen kenakan. Tangan Alana turun seiring dengan ciuman mereka yang semakin memanas, membuka kancing kemeja Zen satu persatu.
"Zen..." suara Alana seperti hembusan angin, tangannya menyentuh wajah Zen begitu ciuman mereka terlepas. Napas keduanya tersenggal-senggal akibat ciuman panas mereka sebelumnya.
Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela sedikit menyinari wajah mereka, kedua mata mereka saling menatap dalam diam dan tatapan penuh damba. Alana kembali terkesiap saat bibir Zen menyentuh bibirnya kembali, memagutnya dengan lembut dan penuh perasaan.
Di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Tanpa melepaskan ciuman, langkah kaki mereka saling membimbing menuju ke sisi ranjang. Saat kancing kemeja Zen sudah terbuka semua, dia langsung melepaskan dari tubuhnya dan menjatuhkannya ke lantai. Perlahan dia membimbing tubuh Alana untuk berbaring di atas ranjang.
Zen mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Alana, menggeser tubuhnya sedikit kesamping supaya tidak terlalu menindih tubuh wanitanya.
"Masih ada waktu untuk berfikir, sebelum aku membawamu terlalu jauh," ucap Zen, menatap lekat manik mata Alana.
Tangan Alana bergerak lembut menyentuh wajah Zen, dia bisa melihat mata Zen yang sudah berkabut gairah. "Tidak ada yang ingin aku pikirkan lagi selain kamu, Zen. Setidaknya untuk saat ini."
Senyuman tipis terukir di wajah Zen, dia mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Alana kembali. Kali ini tangannya tak tinggal diam, tangannya mulai bergerak nakal menyentuh dada Alana yang masih terbalut oleh dress yang dikenakan dan mengusapnya dengan lembut dari luar.
"Ahh, Zen..."
Alana menggigit bibir bawahnya saat ciuman Zen turun ke leher jenjangnya, memberikan gigitan-gigitan kecil disana. Sementara tangan Zen mulai menurunkan resleting belakang dress Alana dan menurunkan dress itu sampai ke perut.
Zen menelan salivanya kasar, menatap pemandangan indah yang kini terpampang di depan matanya. Dia menahan tangan Alana yang hendak menutupi dadanya. Jika lampu kamar itu menyala, mungkin Zen bisa melihat dengan jelas wajah Alana yang bersemu merah karena malu.
"Ahhh..." Alana mendesah saat Zen sudah berhasil membuka pengait bra yang dikenakannya dan membenamkan wajahnya di dadanya.
-
-
-
"Apa?? Alana belum pulang?"
Zergan terkejut saat mendengar cerita dari Amara jika Alana belum kembali sejak pamit pergi tadi pagi. Saat ini mereka sedang berdiri di teras rumah.
"Tante pikir dia masih sama kamu," ujar Amara, setelah Alana pergi dia memang sempat menelfon Zergan untuk memastikan Alana benar-benar pergi menemuinya.
"Alana memang datang ke kantor dan kami sempat ngobrol lama, tapi sorenya dia pamit pulang dan harusnya sudah sampai dirumah." Zergan mulai tampak cemas, dia mengusap wajahnya kasar.
Ingatannya terbang ke kejadian tadi siang saat Alana menceritakan tentang pacar cadangannya. Apa mungkin malam ini Alana kembali menemui pacar cadangannya itu? Tapi siapa pria yang menjadi pacar cadangan Alana?
"Sial! Kenapa tadi aku tidak menanyakan siapa orangnya supaya aku bisa memberinya pelajaran!" umpat Zergan, tangannya mengepal kuat dan sorot matanya menatap tajam.
-
-
-
Bersambung....
mo komen di paragrap gak bisa,, lagi repisi katanya🤧🤧
gonjang-ganjing hubungan
selamat berpusing ria ya lana 😂
Kalo zergan, Dateng lagi Jan diterima ya rin.dia ngebuang kelean sebegitu enaknya