Kirana berusaha menjaga keluarga, sementara Riana menyimpan rahasia. Cinta terlarang menguji mereka. Antara keluarga dan hati, pilihan sulit menanti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang Kembali Menganga
Keesokan harinya, Riana tiba di kafe tempat ia dan Bima telah sepakat untuk bertemu, dengan hati yang berdebar dan perasaan campur aduk antara penasaran, cemas, dan sedikit harapan. Ia memilih tempat duduk di sudut kafe yang tenang, di dekat jendela besar yang menghadap ke jalanan ramai. Ia berharap, kesibukan di luar sana bisa sedikit meredakan kegelisahan yang mencengkeram hatinya.
Tidak lama kemudian, Bima datang. Ia tampak jauh berbeda dari Bima yang dikenalnya dulu. Dulu, Bima selalu tampil rapi dan percaya diri, dengan senyum menawan yang bisa meluluhkan hati siapa saja. Sekarang, ia tampak lebih kurus dan pucat. Rambutnya berantakan, dan matanya terlihat sayu, seolah menyimpan beban yang sangat berat.
"Riana," sapa Bima dengan suara lirih, nyaris tak terdengar di tengah hiruk pikuk kafe. "Terima kasih sudah mau bertemu denganku."
Riana mengangguk singkat, tanpa membalas senyumnya. Ia mempersilakan Bima untuk duduk di hadapannya. Suasana di antara mereka terasa canggung dan tegang, seperti ada dinding tak kasat mata yang memisahkan mereka.
"Aku tahu kamu pasti marah dan kecewa padaku," kata Bima setelah beberapa saat hening, memecah kebekuan di antara mereka. "Aku tidak menyalahkanmu. Aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar yang tidak bisa dimaafkan."
Riana menatap Bima dengan tatapan dingin, menusuk. "Kesalahan? Kamu menyebutnya kesalahan? Kamu menghancurkan hatiku, Bima. Kamu mengkhianati kepercayaanku. Kamu merebut semua impianku. Kamu merenggut masa depanku," balas Riana dengan suara yang bergetar, menahan luapan emosi yang siap meledak.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Riana, membuat pandangannya sedikit kabur. Ia mencoba untuk menahan emosinya, menarik napas dalam-dalam, tetapi sulit rasanya. Luka lama itu kembali menganga, terasa perih dan menyakitkan seperti baru terjadi kemarin.
"Aku tahu, Riana. Aku tahu aku telah menyakitimu dengan sangat dalam. Aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya hatimu saat itu. Aku minta maaf, Riana. Aku benar-benar minta maaf," kata Bima dengan suara yang penuh penyesalan, terdengar tulus namun terasa hambar di telinga Riana.
Bima meraih tangan Riana yang tergeletak di atas meja, mencoba menggenggamnya, tetapi Riana menarik tangannya dengan cepat, seolah tersentuh bara api. Ia tidak ingin disentuh oleh Bima. Ia merasa jijik, marah, dan terluka secara bersamaan.
"Maafmu tidak akan mengembalikan apa pun, Bima. Maafmu tidak akan menghapus rasa sakitku. Maafmu tidak akan mengubah apa pun," kata Riana dengan nada sinis, menyembunyikan kerapuhan di balik kata-kata tajamnya.
"Aku tahu, Riana. Aku tidak mengharapkanmu untuk memaafkanku begitu saja. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku benar-benar menyesal. Aku telah melakukan kesalahan besar, dan aku akan hidup dengan penyesalan itu seumur hidupku," balas Bima, menundukkan kepalanya, seolah tak sanggup menatap mata Riana yang penuh dengan kekecewaan.
"Kenapa kamu menghubungiku sekarang? Kenapa setelah sekian lama? Kenapa baru sekarang kamu merasa menyesal?" tanya Riana, mencoba untuk mengendalikan emosinya, meskipun suaranya masih bergetar.
"Aku baru saja kembali dari luar negeri. Aku menghabiskan waktu untuk merenungkan semua yang telah terjadi. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa melanjutkan hidupku tanpa meminta maaf kepadamu. Aku ingin membersihkan hatiku dan meminta maaf kepada orang yang paling kusakiti dalam hidupku," jawab Bima, mengangkat kepalanya dan menatap Riana dengan tatapan yang memohon.
Riana terdiam sejenak, mencoba untuk membaca ketulusan di mata Bima. Apakah Bima benar-benar menyesal? Apakah ia benar-benar ingin meminta maaf? Atau apakah ini hanya sandiwara belaka? Apakah ia memiliki motif tersembunyi yang tidak ia ketahui?
"Kenapa kamu tidak menghubungi Sinta? Bukankah dia yang seharusnya kamu mintai maaf? Bukankah dia yang menjadi alasan kamu menghancurkan hubungan kita?" tanya Riana dengan nada sinis, mencoba memancing kejujuran dari Bima.
"Aku sudah menghubunginya. Aku sudah meminta maaf kepadanya. Tapi, aku tahu bahwa aku juga harus meminta maaf kepadamu. Kamu adalah orang yang paling kusakiti dalam hidupku. Kamu adalah orang yang paling berharga yang pernah kumiliki," jawab Bima, suaranya semakin lirih, hampir seperti bisikan.
Riana merasa semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sebagian dari dirinya ingin menolak Bima mentah-mentah dan melupakannya selamanya. Ia ingin bangkit dan pergi dari kafe itu, meninggalkan Bima dan semua kenangan pahit bersamanya. Tetapi, sebagian lainnya merasa penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya diinginkan Bima. Ia ingin tahu apa yang telah terjadi pada Bima selama ini, dan mengapa ia begitu menyesal sekarang.
"Apa yang kamu inginkan dariku, Bima?" tanya Riana dengan suara yang lirih, hampir tak terdengar. Ia menatap Bima.dengan tatapan yang penuh dengan pertanyaan, keraguan, dan sedikit harapan yang tersisa, berharap Bima akan memberikan jawaban yang jujur dan memuaskan hatinya.
Riana menatap Bima dengan tatapan yang penuh dengan pertanyaan, keraguan, dan sedikit harapan yang tersisa, berharap Bima akan memberikan jawaban yang jujur dan memuaskan hatinya.
Bima menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu yang sulit. "Aku... aku masih mencintaimu, Riana," kata Bima dengan suara yang lirih, namun terdengar jelas di telinga Riana.
Pengakuan Bima itu bagaikan petir yang menyambar di siang bolong. Riana terkejut, bingung, dan tidak tahu harus berkata apa. Ia tidak pernah menyangka bahwa Bima masih memiliki perasaan terhadapnya setelah semua yang terjadi.
"Apa?" tanya Riana dengan suara yang tercekat, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Aku tahu ini mungkin sulit untuk kamu dengar, setelah semua yang kulakukan padamu. Tapi, aku harus mengatakannya. Aku tidak bisa memendamnya lebih lama lagi," kata Bima, menatap Riana dengan tatapan yang penuh dengan penyesalan dan kerinduan.
"Kamu... mencintaiku? Setelah kamu mengkhianati ku? Setelah kamu meninggalkanku demi Sinta?" tanya Riana dengan nada sinis, mencoba menyembunyikan keterkejutannya.
"Aku tahu, aku tahu. Aku melakukan kesalahan besar. Aku bodoh, aku menyesal. Aku tahu aku tidak pantas mendapatkan mu, tapi aku tidak bisa berhenti mencintaimu," jawab Bima, suaranya bergetar karena emosi yang meluap-luap.
Riana terdiam sejenak, mencoba mencerna pengakuan Bima. Ia merasa bingung, marah, dan terluka secara bersamaan. Bagaimana bisa Bima masih mencintainya setelah semua yang terjadi? Apakah ini hanya cara Bima untuk membuatnya merasa bersalah? Atau apakah Bima benar-benar tulus dengan perasaannya?
"Kenapa kamu mengatakan ini padaku sekarang? Kenapa setelah sekian lama? Kenapa setelah aku bertunangan dengan Andre?" tanya Riana dengan nada yang lebih tenang, mencoba untuk mengendalikan emosinya.
"Aku tahu ini bukan waktu yang tepat. Aku tahu kamu sudah bahagia dengan Andre. Tapi, aku tidak bisa menahannya lagi. Aku harus jujur padamu, dan jujur pada diriku sendiri. Aku tidak bisa hidup dengan kebohongan ini lebih lama lagi," jawab Bima, menundukkan kepalanya, seolah merasa malu dengan pengakuannya.
"Kamu tahu bahwa aku tidak bisa membalas perasaanmu, Bima. Aku mencintai Andre. Aku akan menikah dengannya," kata Riana dengan tegas, mencoba untuk mengakhiri percakapan ini.
"Aku tahu, Riana. Aku tidak mengharapkan mu untuk membalas perasaanku. Aku hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu, meskipun aku tahu kita tidak bisa bersama," balas Bima, mengangkat kepalanya dan menatap Riana dengan tatapan yang penuh dengan kesedihan.
Riana merasa kasihan pada Bima. Ia bisa melihat penyesalan dan kesedihan yang terpancar dari matanya. Ia tahu bahwa Bima benar-benar menderita karena kesalahan yang telah ia lakukan.
"Aku tidak tahu harus berkata apa, Bima. Aku menghargai kejujuranmu, tapi aku tidak bisa memberikanmu apa yang kamu inginkan. Aku minta maaf," kata Riana dengan tulus.
"Tidak apa-apa, Riana. Aku mengerti. Aku tidak mengharapkan apa pun darimu. Aku hanya ingin kamu tahu yang sebenarnya," balas Bima dengan senyum pahit.
Suasana di antara mereka kembali hening. Riana merasa canggung dan tidak nyaman. Ia ingin segera mengakhiri pertemuan ini dan melupakan semua yang baru saja terjadi.
"Baiklah, Bima. Aku rasa aku harus pergi sekarang," kata Riana, berdiri dari tempat duduknya.
"Tunggu, Riana," kata Bima, meraih tangan Riana. "Bisakah kita tetap berteman? Aku ingin tetap berada di dekatmu, meskipun hanya sebagai teman."
Riana terdiam sejenak, mempertimbangkan permintaan Bima. Apakah ia bisa berteman dengan orang yang pernah menghancurkan hatinya? Apakah ia bisa mempercayai Bima lagi?
"Aku tidak tahu, Bima. Aku butuh waktu untuk memikirkannya," jawab Riana dengan jujur.
"Baiklah, aku mengerti. Aku akan memberikanmu waktu. Tapi, tolong jangan lupakan aku sepenuhnya," kata Bima, melepaskan tangan Riana.
Riana mengangguk singkat dan berbalik pergi, meninggalkan Bima sendirian di kafe itu. Ia berjalan dengan cepat, mencoba melarikan diri dari semua emosi yang berkecamuk di dalam hatinya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah pengakuan Bima itu.
*******