Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cappuccino & Konspirasi Barista (Bagian 2)
Aku langsung jedotin dahi ke meja. Bukan karena syok…ya, oke sih, juga kerena syok. Tapi lebih kearah… “MENGAPA GUE BARU TAU?!”
“APA?!”
“IYA, BENERAN!”
“Jadi yang selama ini ngasih gue kopi gratisan bahkan sampai di antar ke kantor tuh…mantan altet nasional?!”
Mas Johan tetap berdiri di belakang mesin espresso, wajahnya datar kayak spreadsheet kosong sebelum closing akhir bulan. Dia cuma ngangkat alis sedikit dan berkata.
“Gak penting juga sih dibahas…”
Tentu saja temannya menolak membiarkan ini lewat begitu saja.
“Penting dong! Soalnya orang gak ada yang nyangka barista keren yang sering diem dan main Sudoku pake tatapan mata ini dulunya smashing bola 120 km/jam di panggung internasional.”
“Tapi sekarang kan udah enggak…” kata Mas Johan, nada suaranya mendadak lebih pelan, seperti volume lagu galau jam tiga pagi.
Mereka mulai cerita soal cidera parah yang dialami Mas Johan saat turnamen Asia Tenggara. Aku nahan nafas. Tapi bagian yang bikin aku merinding bukan cuma cidera—mereka nyebut satu istilah yang…wow.
“Johan juga kena Yips, Mei.”
“Yips…?”
“Semacam kondisi psikis. Tiba-tiba gak bisa ngelakuin gerakan dasar yang dulunya otomatis. Gak bisa loncat buat defense atau pun smash. Mentalnya drop banget waktu itu.”
Aku reflek noleh ke Mas Johan, yang sekarang sibuk ngelap meja berulang-ulang padahal mejanya udah bersih dari setengah jam yang lalu. Tapi tetap aja elspresinya…kayak gak ada apa-apa. Zen level 3000.
TAPI.
CERITA INI BELUM SELESAI.
Si gondrong tiba-tiba duduk lebih dekat ke arahku, melipat tangan di atas meja, dan dengan senyum tanpa dosa bertanya.
“Eh, tapi… Mei, lo tau gak siapa cinta pertama Johan waktu SMP?”
‘Mana gue tau, gue baru kenal dia dalam dua tahun ini’
Tapi aku tetap mempertahankan gaya tenangku dan berkata sambil bercanda.
“Jangan bilang… gue?”
“YA LO LAH.”
Clink.
Suara sendok jatuh ke lantai. Aku nggak tau apakah itu punyaku atau punya meja sebelah. Badanku membeku. Mataku terbelalak dan mulutku ternganga.
Belum selesai dengan BOM barusan, si kaos hitam menambahkan bumbu pedasnya.
“Lo itu… katanya pernah popular waktu jadi murid pindahan di sekolahnya Johan kala itu. Tapi lo juga nakal, suka manjat pagar belakang sekolah dan Johan saksi tindak criminal lo kaya itu. Sejak itu lo udah nyuri hati Johan bahkan sampai dia SMA!”
“BROOOO,” Mas Johan akhirnya bersuara. Keras, tapi bukan ke mereka—lebih ke…ruangan, Tuhan dan seluruh system pertemanan yang penuh pengkhianatan ini.
Mukanya langsung memerah kayak latte art gagal. Tangannya masih megang milk jug, tapi gak ada yang dia steam.
“Udah. Diam. Sekarang.”
Tapi bukan teman namanya kalau belum mempermalukan teman sendiri, keduanya bukannya berhenti, malah ngakak makin kenceng.
“Bro, come on. Dia harus tau.”
“Masa sampe sekarang masih nyembunyiin fakta lo dulu nyelipin surat cinta dengan amplop putih polos di bawah tas dia waktu dia kelas Sembilan?”
‘HAH? MAS JOHAN SATU SMP DENGAN GUE? DAN SURAT YANG GUE BUANG KE TONG SAMPAH KARENA ITU SURAT TEGURAN OSIS SEBENARNYA SURAT CINTA?’
“Oh my god.”
Aku mengacak rambutku. Tidak tau harus bereaksi apa. Aku ingin menghentikan kedua mahluk bermulut ember ini tapi disisi lain aku juga penasaran dengan kelanjutan ceritanya.
Siapa yang menyangka bahwa pria yang selama ini, tidak berani aku tanya soal pribadinya. Pria yang di suruh Rahma untuk aku goda supaya mamaku tidak mengatur kencan buta lagi. Ternyata adalah kakak kelasku waktu SMP? Dan aku cinta pertamanya?
‘Tuhan, plot twis macam apa ini?’
Aku berdiri saat ingat surat itu. “Surat cinta?? ASTAGA. GUE KIRAIN ITU SURAT TEGURAN OSIS KARENA GUE SERING MANJAT PAGER, orang gila mana yang ngirim surat cinta pakai amplop merpati polos?”
Kedua temannya tertawa makin keras. Mereka berdua kompak menunjuk Mas Johan. Dan Mas Johan tampaknya udah pasrah sekarang. Dia duduk pelan. Nunduk dan menghela nafas panjang seperti seseorang yang sadar kalau hidupnya tidak akan sama lagi setelah siang ini.
“Gue nyesel undang kalian ke sini.” Dengusnya.
Aku sendiri gak bisa berhenti… campur aduk. Rasanya kayak abis minum kopi susu tapi ternyata susunya asin dan kopinya decaf.
Malu? Iya.
Kikuk? Banget.
Canggung? Sudah pasti.
Senang? Entah kenapa…iya juga.
Gemes? Masak sih dia segitunya?
Tapi sebelum aku bisa menyusun ulang system emosi di otakku, si gondrong menyimpulkan semua dengan elegan.
“Intinya sih, Meisya. Lo tuh living legend di hidup Johan. Lo kayak latte pertamanya. Dan kopi pertama tuh…gak bisa dilupain.”
Aku…
Aku cuma bisa tatap Mas Johan yang sekarang ngeliatin gelas kosong di depannya.
Dan dalam hati aku hanya bisa bilang…
‘Kopi ini harus ganti nama. Bukan lagi ‘Kopi Ketahuan Ada ang Baper’, tapi… ‘Kopi Ketahuan Pernah Jadi Cinta Pertama’.’
Aku tidak benar-benar berlari dari coffee shop Mas Johan. Tapi langkah kakiku…lebih cepat dari niat nikah tante Wira ke sepupu pejabat. Dengan nafas ngos-ngosan seperti habis lari ke stasiun di kejar deadline dan masa lalu, aku menelpon satu-satunya manusia yang masih bisa menampung absurditas hidupku tanpa menyuruh puasa bicara. Rahma.
Tapi sayangnya, telpon itu di alihkan ke pesan suara. Sepertinya Rahma makin sibuk dengan pernikahannya yang semakin dekat.
Aku mengambil bantal dan berteriak keras yang teredam.
“UWAAAAAAA.”
“Semesta memang selalu punya kejutan bahkan yang tidak terduga seperti Mas Johan. TAPI KENAPA NGGAK DARI KEMAREN??”
Aku kembali berbaring menelantang.
Satu sisi aku tidak tau bagaimana menghadapi Mas Johan jika bertemu besok, dan disisi lain ada ruang di sudut hatiku yang menginginkan Felix untuk menghubungiku.
Walaupun aku bilang aku baik-baik saja dengan perubahan Felix, tapi jujur saja aku cukup terluka. Mungkin karena aku sudah mulai terbiasa dengannya? Entahlah.
Bahkan rahasia Mas Johan yang baru aku dengar saja tidak mampu mengusik hatiku layaknya Felix yang hilang tanpa bilang. **