Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 30~ Dunia kita berbeda
Amar membawa Sekar memutari pelataran samping dan kini berujung mereka yang berada di area paling depan kompleks keraton.
Dua gapura kokoh masih menjulang gagah meski hanya berwujud batu bata, teksturnya itu sudah tergerus zaman, dengan lumut yang tumbuh di sebagiannya.
Ada papan informasi tepat di sisi kirinya, dan Sekar membaca itu.
"Ngga usah baca, semuanya ada disini..." Amar menunjuk kepalanya sendiri.
"Uhhh sombongnya. Kapan lagi saya kesini, kan? Anggap saja di hari terakhir saya disini, dan mungkin pertemuan kita ini....saya bisa benar-benar mengingat dan menyentuh semua yang ada disini."
Amar sudah menatap Sekar kecut, sebegitu tak maunya ia bertemu dengannya lagi?
Kembali Amar mengulurkan tangannya saat di depan mereka ada undakan tangga yang menyambut.
Kali ini, Sekar refleks meraih tangan itu, dan menaikan ujung jariknya dengan satu tangan lainnya.
"Hati-hati Gusti Raden Nganten Sekar Taji." Ucap Amar ditertawai Sekar, "kok ngga cocok ya?"
"Cocok sekali justru." Ucap Amar memancing gelengan lemah Sekar, "jangan begitu den, ucapan adalah do'a."
Amar mengangguk setuju, "ya...ucapan adalah do'a."
Sekar sempat terdiam dan melepas tautan tangannya, lalu ia berdehem dan lebih memilih menyentuh gapura kembar itu, menelitinya begitu seksama, apakah Sekar tau, jika sedang begitu cantiknya berlipat-lipat.
Amar berdehem, "gapura kembar ini diberi nama gapura benteng."
Lalu Amar menunjuk susunan batu dimana batu Lingga yang berbentuk lonjong mirip seperti milik lelaki dan batu Yoni berbentuk milik perempuan, "kedua batu itu, disimbolkan sebagai bentuk kesuburan."
Sekar menganggukkan kepalanya paham, matanya memendar menyapu seluruh area kompleks pertama bagian keraton ini.
Jujur saja, tentram menyeruak membuai Sekar, sebab suasana disini begitu membuat nyaman, dengan pohon-pohon rindangnya, dengan tanah yang ditumbuhi rerumputan dan bangunan adem.
"Ada 5 Mande di kompleks ini, yang itu...Mande Semar Tinandu yang berfungsi sebagai tempat duduk penasehat raja." Amar menggiring Sekar ke arah Mande paling depan yang memiliki 2 buah tiang ukuran di setiap sisinya, dan memiliki makna dua kalimat syahadat.
"Yang kedua ada Mande Malang Semirang, berfungsi sebagai tempat duduk keluarga sultan." kini telunjuknya terarah pada Mande yang paling besar dan disanggah oleh 20 tiang bercat coklat gosong, sementara tembok dan lantainya masih menawarkan kesan asli susunan tembok bata merah.
"Kamu tau Kar, kenapa tiang disini ada 20?" tanya Amar digelengi Sekar.
"Melambangkan 20 sifat Allah."
Sekar tersenyum dan mengangguk, ia kini meminta ijin pada Amar, "boleh saya coba duduk disini?"
"Boleh..."
Sekar melepas sandalnya lalu duduk melipat lututnya, memejamkan matanya sambil tersenyum, sementara Amar berada di sampingnya, "ini saya lagi bayangin, waktu jaman dulu gimana ya orang-orang bangun dan nyusun tembok bata merahnya, sudah jaman adukan dan cetakan semen kah?"
Pertanyaannya itu selalu diluar nalar, dan Amar tertawa renyah.
"Bisa Aden jelaskan kah?" tanya Sekar membuat Amar cukup kewalahan menjawabnya, "hanya dijelaskan memakai bahan alami dan cara tradisional, Raden Nganten." jawabnya memantik tatapan memicing Sekar, "jangan begitu. Didengar orang, aku yang kena masalah." Ujar Sekar menyudahi acara membayangkannya.
"Lalu yang itu," tunjuk Sekar ke arah bangunan Mande lain.
"Mande Pandawa Lima, tempat duduk panglima kerajaan. Ada 5 tiang, melambangkan rukun Islam."
Tingkah lucu Sekar yang berlari kecil membuat kepangan rambutnya bergerak kesana kemari kini duduk disana lagi, "aku sedang membayangkan rasanya jadi Gajah Mada."
Jakun Amar kembali naik turun. Selama Sekar memejamkan matanya, ia memetik bunga cempaka kuning yang kebetulan pohonnya tumbuh di area ini sana, bersama pohon tanjung dimana bunga tanjung tumbuh dari ketiak daun, sepasang dengan kelopak berbentuk bintang.
Sementara bunga cempaka segar yang ia petik itu begitu indah wangi semerbak. Tanpa permisi atau aba-aba, lelaki itu sudah mengambil posisi berada di depan Sekar, menyematkan bunga diantara telinga dan rambut gadis itu.
Sekar praktis membuka matanya, cukup terkesiap menatap wajah tampan itu di depan mata, namun badannya seolah kaku, tangan yang biasa ia pakai untuk menepis atau menggeplak kini mendadak beku, membiarkan Amar melakukan kehendaknya.
"Cantik." Pujinya tak tanggung-tanggung, Sekar refleks ingin memegang bunga yang telah tersemat di telinganya namun Amar menahan tangan Sekar, "jangan dipegang lagi, nanti jatuh. Biarkan saja disitu...kamu cantik."
Wajah Sekar memerah, hawa panas menjalari seluruh aliran da rahnya hingga membuat Sekar merasa dirinya demam sebadan-badan.
"Yang keempat, disana...Mande pengiring." Amar hanya menunjuk Mande lainnya, begitupun Sekar yang masih betah disana enggan beranjak.
"8 tiangnya terbuat dari bahan kayu jati, 4 tiang di bagian dalam dan 4 sebagai penyanggah di setiap sudutnya."
"Melambangkan apa?" tanya Sekar dengan pandangan yang sudah mendongak sebab kini jarak mereka benar-benar berhadapan dengan postur tubuh berbeda, nada suaranya itu sedikit melemah dari sebelumnya, tanda jika ia sedang berusaha keras mengontrol diri dan degupan kencang di hatinya, meski begitu ia seperti terlihat nyaman.
"Melambangkan 4 unsur, yakni air, tanah, api dan udara. Dan 4 arah mata angin." Jawab Amar sudah menatap Sekar lekat sekaligus mengunci pandangan gadis itu. Ada jeda waktu lama untuk keduanya saling menatap. Hingga refleks tangan Amar terulur, punggung telunjuknya mengusap garis wajah Sekar yang licin hingga ke dagu.
Sekar memutus kontak mata diantara keduanya itu dan menunduk, tanpa bicara ia memilih beranjak dari duduknya, "pegal kaki saya, den."
Amar kembali terkekeh, mengambil gestur yang sama dengan Bahureksa, menggendong tuyul...
"Yang terakhir Mande yang akan kamu sukai, Mande karesmen fungsinya sebagai tempat untuk melakukan pementasan kesenian gamelan sekaten yang sudah ada sejak abad ke 15 dan dimainkan setiap idul Fitri 1 Syawal dan idul Adha di bulan Dzulhijjah." Tunjuk Amar yang kini tepat berada di belakang badan Sekar. Bukan---bukan, ia bukan lagi berdiri namun sudah menaruh dagunya di pundak Sekar. Ada hembusan nafas kasar dan dalam dari Sekar saat Amar mendaratkan dagunya itu, menunjuk Mande karesmen yang berada di belakang Mande pengiring melewati bahu Sekar.
Sekar segera menarik diri dan berjalan ke arah yang ditunjuk Amar.
Dan disinilah memang tempatnya. Sebagai penghibur bukan keluarga sultan.
Namun di luar dugaannya, Amar sudah menarik selendang yang sejak tadi tersampir di tengkuk Sekar dan mengalungkannya di tengkuknya, "mau ngibing sama akang, neng?"
Sekar tertawa, lantas mengambil sikap dengan awal ngibing, tangan-tangan lentiknya terangkat dan meliuk.
"Bangunan kompleks ini dibangun pada tahun 1529 Masehi era sunan Gunung Jati, bangunan asli dan masih dipertahankan. Dengan arsitektur yang mengadaptasi gaya kerajaan Majapahit, dan struktur bangunan Hindu."
Sekar memutar badannya namun saat tepat ia berbalik kembali ke arah Amar, lelaki itu sudah berlutut membuat Sekar tersentak kaget dan praktis menghentikan tariannya.
"Sekar, pertama kali saya melihat kamu saat kamu sedang memarahi seorang anak lelaki, dimana kamu begitu murka sebab anak itu berburu saweran. Dari sana saya tau, jika kamu adalah gadis yang mampu membuat saya terus berpikir kenapa kamu begitu berbeda..."
Sekar dibuat tak bisa berkata-kata dan hanya menatap Amar nyalang seraya menelan salivanya beberapa kali.
"Kedua kali, saya melihat kamu di pabrik. Dan akhirnya saya paham, kamu begitu menjaga harga diri. Kamu memiliki harga diri tidak ternilai....sikap judes dan tak tersentuhmu membuat saya semakin penasaran dan mengingatmu setiap hari."
Kembali Sekar hanya bisa menatap Amar nyalang.
"Semakin kesini, intensitas pertemuan kita jadi sering. Dan saya semakin kepincut sama kamu. Saya mengagumi, saya memuja, dan saya selalu merindu. Saya tidak mau mengakhiri pertemuan kita ini."
Apa yang terjadi? Sekar menurunkan bunga dari telinganya, "den bagus tau, jika ini tidak mungkin."
Bunga cempaka itu ia tatap dengan gamang, "dunia saya dan dunia den bagus berbeda. Saya begitu jauh di bawah sementara den Amar, di atas langit." Ada saliva yang sulit Sekar telan sekarang saat mengatakan itu, iyaa....ia memiliki perasaan kagum dan memuja yang sama terhadap Amar.
"Saya hanya rakyat kecil biasa. Dan maaf, saya tidak berminat seandainya den Amar menawarkan status selir..."
Sekar memberikan bunga cempaka itu pada Amar, "senang mengenal den bagus sebagai teman. Tapi sepertinya memang benar....saya harus bisa menjaga jarak. Menempatkan dan sadar posisi saya. Tidak mampu saya, bagai pungguk merindukan bulan." Sekar tersenyum bersama mata yang telah berkaca-kaca, ia menarik selendangnya di leher Amar sesaat setelah lelaki itu menerima bunga cempaka yang masih menguarkan wanginya.
.
.
.
.
" jembar kisruh" aja si teh🤭🤭🤭😂😂😂🙏