NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rasa sakit Vincent

Vincent kembali menunduk. Matanya berair, rahangnya mengeras.

“Sekarang… dia merasakan apa yang aku rasakan.”

Mahawira mengernyit, kaget sekaligus bingung.

“Bagaimana bisa anaknya Suryo jadi penyebab? Bukannya anakmu meninggal karena kecelakaan?”

Vincent mengembuskan napas berat, suara bergetar.

“Memang kecelakaan… tapi itu ulah anak Suryo. Dia sengaja menabrak mobil yang dikendarai anakku. Hanya karena seorang wanita—wanita yang mencintai anakku, bukan dia.”

Air matanya jatuh. “Hanya karena itu… dia tega membunuh anakku.”

Mahawira menahan napas, terkejut.

“Astaga… apa Suryo tahu?”

Vincent menatapnya dengan senyum pahit.

“Menurutmu? Apa yang tidak diketahui Suryo tentang kegilaan anaknya? Dia selalu menutup mata. Selalu.”

Nada suaranya berubah dingin. “Memang aku tak bisa membalas kematian anakku. Tapi setidaknya, anak Atha sudah membunuhnya. Kau tahu… aku bahkan ingin tertawa melihat jasad anak Suryo itu. Benar-benar mengenaskan. Tubuh terpisah-pisah.”

Ia terkekeh lirih, sementara air mata terus mengalir. Mahawira menatap sahabatnya itu, merasakan iba menusuk.

“Kau tidak pernah cerita…” gumam Mahawira pelan. “Memang Suryo itu kurang ajar. Dia selalu tutup mata. Aku ingin dia tahu anaknya mati dibunuh… aku ingin dia perang dengan Dirgantara. Kalau itu terjadi, aku yakin dia hancur.”

Vincent mengusap wajahnya.

“Sebaiknya kita diam dulu. Jangan bergerak. Aku yakin anak Atha masih akan balas dendam. Kita pergi keluar kota saja, buka bisnis baru. Anggap sekalian kabur. Tidak akan ada yang curiga. Dan biarkan mereka semakin panas satu sama lain.”

Mahawira mengangguk perlahan.

“Kau benar. Lebih aman kita pergi. Kita mulai usaha baru.”

Mereka terus berbincang santai, seolah tidak sedang merencanakan pelarian.

Dua minggu kemudian — Rumah Sakit

Di ruang Mawar, Epi sudah bersiap pulang. Keadaannya jauh lebih baik. Di ruangan itu sudah ada Rami, Rora, Kei, Alfin, dan Fandi.

“Terima kasih sudah menolong,” ucap Rami tulus.

“Apa kalian akan balik ke kontrakan?” tanya Kei.

“Iya, Kak. Kami kembali ke sana. Terima kasih sudah bantu kami semua…”

Rami menunduk. Epi hanya menatap lantai, diam.

Tiba-tiba Fandi angkat bicara.

“Sebaiknya kalian ikut aku dulu. Situasi belum aman. Mereka sudah tahu tempat tinggal kalian.”

Ketiga gadis itu saling pandang.

“Kami cari kontrakan atau kos baru saja nanti…” jawab Epi pelan.

Fandi menghela napas panjang.

“Kau masih jadi incaran. Mereka belum puas sebelum memastikan kau mati. Kau saksi pembunuhan. Hari itu kau selamat karena belum ajal. Tapi ke depan? Tidak ada yang tahu.”kata alfin lalu melanjutkan blak-blakan,

“Kalau mau ikut ya ikut. Kalau nggak ya terserah.”

“Mulutmu itu, Fin…” tegur Kei.

“Ya mereka mau ditolong tapi nggak mau!” bantah Alfin santai.

“Bukan begitu! Mereka segan, Fin! Kita saja baru kenal!”

Kei menoleh ke para gadis itu. Suaranya lebih tenang.

“Menurutku, untuk sementara ikut kami dulu. Rumah kalian sekarang sudah tidak aman.”

Gadis-gadis itu kembali saling pandang. Terdiam. Berpikir keras.

“Tapi kami kerja, Kak. Jaraknya jauh dari rumah kalian,” kata Epi.

Alfin mendecak keras.

“Mampus-lah. Nyawa dipikir belakangan? Gila.”

“Fin!” bentak Kei.

“Ya serius! Dalam keadaan begini masih mikir duit dan kerjaan!” ujar Alfin.

Rora langsung menatapnya sinis.

“Kak, jelas kami mikirin pekerjaan. Kami ini orang susah. Kalau nggak kerja, makan pakai apa? Ngontrak pakai apa? Semua pakai uang. Memangnya ada yang gratis?”

“Sudahlah, Kak.” Rami ikut bicara dengan nada dingin.

“Kalian pergi saja. Kalau kami mati… mungkin memang takdir. Terima kasih sebelumnya.”

Kei menunduk, mendesis ke Alfin,

“Kau ini mulut nggak bisa dijaga…”

Ketiga gadis itu mendekat.

Epi menyodorkan uang pada Fandi.

“Ini… aku ganti uangnya. Terima kasih banyak sudah menolong.”

Fandi tak mengambilnya.

“Ikut dengan aku. Kau belum aman.”

“Tidak usah, Kak. Terima kasih,” kata Rora cepat.

“Kalau begitu kami antar pulang,” ucap Kei.

“Kami sudah pesan taksi, Kak. Kami permisi.” Rami membungkuk sebentar.

Epi kembali menyodorkan uang itu pada Fandi.

“Ini… ambil saja.”

“Tetap tidak usah,” jawab Fandi tenang. “Untuk kamu saja. Tapi kalau ada apa-apa… hubungi aku. Mengerti?”

Epi bingung menatap Fandi, lalu teman-temannya.

Tiba-tiba—

Notifikasi pesan berbunyi serentak di ponsel Rora, Rami…

…dan di saku Fandi.

Tangan Rami bergetar saat membuka pesan itu.

Mata mereka bertiga langsung terbelalak.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!